Menuju konten utama
19 Juli 1985

Liku Jalan Sjuman Djaya, Dari Senen hingga Uni Soviet

Pada 1958, Syuman berangkat ke Moskow untuk belajar film.

Ilustrasi Mozaik Sjumandjaja. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Ketika produksi film Opera Jakarta belum separuh jalan, penyakit lever Sjuman Djaya kambuh. Dokter dan para produser dari Gramedia Film menyarankan agar sang sutradara beristirahat dari kegiatan syuting. Seolah tidak ada yang salah dari kesehatannya, Sjuman nekat melanjutkan pekerjaannya.

Pada hari Senin 15 Juli 1985, Sjuman berhasil menyelesaikan sekitar 90 persen dari keseluruhan film sebelum akhirnya tumbang. Sjuman pun terpaksa berpisah dari kamera dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat. Empat hari kemudian, Sjuman tutup usia pada tanggal 19 Juli 1985, tepat hari ini 34 tahun silam.

Sejak 1978, kondisi kesehatan Sjuman memang tidak begitu baik. Dia sudah bolak-balik dirawat di rumah sakit akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Namun, Sjuman tidak pernah kapok dan terus bekerja menulis skenario sembari memimpin proses pengambilan gambar.

Para produser dan kru film sudah berulang kali menasehati Sjuman yang semakin membandel. Pada akhirnya, kabar duka itu tidak mengagetkan lagi buat mereka.

“Saya tidak terkejut. Sjuman Djaya sebenarnya sudah meninggal beberapa hari sebelumnya: cuma semangatnya saja yang menunda ajalnya,” kata Sutomo Gandasubrata, juru kamera film Opera Jakarta, seperti dikutip dari obituari Sjuman yang ditulis Salim Said dalam Pantulan Layar Putih (1991: 246).

Opera Jakarta menjadi film terakhir sekaligus peninggalan berharga dari Sjuman Djaya. Konon kisahnya dihidupkan berdasarkan perjalanan hidup dan kisah percintaan Sjuman dengan istri terakhirnya, Soraya Perucha.

Perucha pun berkeras agar sisa pekerjaan film Opera Jakarta dapat diselesaikan sebelum 40 hari meninggalnya Sjuman. “Sebagai bentuk hadiah,” katanya, seperti diwartakan Tempo (3/8/1985).

Dari Senen Sampai Soviet

Sebelum terjun ke dunia film, Sjuman adalah anak yang biasa-biasa saja. Keluarganya bukan keluarga seniman. Ayahnya berdarah Jawa, tetapi sangat lekat dengan budaya dan lingkungan Betawi. Sepeninggal sang ayah pada 1943, Sjuman dan ketujuh saudaranya dibesarkan seorang diri oleh sang ibu.

Setelah lulus dari Taman Madya, Sjuman menjadi lebih gemar menulis cerpen, puisi, dan main sandiwara. Kegemarannya ini membawanya bergabung ke dalam lingkaran Seniman Senen. Kebetulan teman sekolah Sjuman seperti Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan juga bagian dari lingkaran tersebut. Sjuman kemudian banyak mengenal begawan-begawan perfilman dari Senen seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaluddin Malik.

Di tengah masa-masa perjuangan perfilman nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada dekade 1950-an, Sjuman mulai tertarik mendalami dunia film. Pada 1956, Sjuman diajak bekerja menjadi penulis cerita di perusahaan film Persari milik Djamaluddin Malik. Sjuman ditempatkan di bawah bimbingan Asrul Sani dan berhasil menelurkan dua cerita yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).

Sjuman nampaknya belum puas hanya sekedar menulis cerita dan jadi asisten sutradara. Saat kesempatan untuk menimba ilmu tiba, Sjuman tidak berpikir dua kali untuk menerima beasiswa film pemerintah Rusia, menggantikan Misbach Yusa Biran yang urung berangkat. Sjuman baru mau menerima beasiswa itu dan berangkat ke Rusia selang satu tahun setelah masuk Persari, seperti dikisahkan oleh Misbach dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008: 105).

Meskipun terkenal galak lewat ucapan-ucapan dan kritiknya, tidak diragukan lagi Sjuman memang sosok yang romantis. Di sela masa studinya di Moskow, Sjuman mulai memadu kasih dengan Farida Oetoyo, seorang penari balet berdarah Indonesia. Seolah sedang meniru adegan di film-film drama Rusia, Sjuman melamar Farida di tepian Sungai Moskow yang berdekatan dengan Hotel Ukraina.

Menurut Farida dalam Saya Farida: Sebuah Autobiografi (2014: 116), sebelumnya Sjuman sudah melamarnya di bawah tangga apartemen. Tetapi, nampaknya tempat itu sama sekali tidak istimewa sehingga Sjuman ingin pindah lokasi. Sjuman dan Farida pun menikah pada Juni 1962.

Setelah rumah tangga bersama Farida kandas, Sjuman sempat menikah untuk kedua kalinya dengan aktris Tuti Kirana. Sayang, mereka tidak langgeng. Pernikahan ketiga dilalui Sjuman bersama mantan perenang nasional, Soraya Perucha, yang usianya jauh di bawah Sjuman.

Kerja Bareng Pemerintah

Tiga tahun setelah pernikahan di Moskow, Sjuman dan Farida kembali ke Indonesia. Kendati menjadi lulusan terbaik di kampusnya, Sjuman sulit mendapatkan pekerjaan karena ada embel-embel Moskow di ijazahnya.

Untungnya, kawan-kawan Sjuman sesama Seniman Senen mau membantu Sjuman. Di tambah lagi, Adam Malik, satu dari tiga serangkai pendiri Orde Baru merupakan orang yang menikahkan Sjuman dan Farida di Moskow. Sjuman jadi tidak kesulitan mendapatkan koneksi.

Jalan Sjuman menuju industri film pun kembali terbuka. Kebetulan sesaat sebelum kepulangan Sjuman dari Rusia, kelompok Seniman Senen sempat dikumpulkan Kementerian Penerangan untuk berbincang masalah perfilman. Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan pembentukan Direktorat Pembinaan Film Departemen Penerangan (Deppen).

Pada 1966, Sjuman ditunjuk menjabat direktur film Deppen yang kemudian bertahan selama dua tahun. Pada masa jabatannya itulah lahir kebijakan perbaikan kualitas produksi film lewat pemberian dana pinjaman yang didapat dari pajak film impor. Di bawah pengawasan Sjuman, kondisi produksi dan rehabilitasi film Nasional berhasil tiba di titik yang menggembirakan.

Setelah lepas jabatannya di tahun 1968, Sjuman banyak terlibat dalam pembuatan film-film percontohan pemerintah melalui Dewan Produksi Film Nasional (DPFN). Model produksinya dilakukan dengan cara mengkolaborasikan sentuhan artistik para seniman film dengan permodalan dari pemerintah. Selama kurang lebih dua tahun, Sjuman dan sejawatnya berhasil memproduksi film Nji Ronggeng (1968) dan Apa Jang Kau Tjari Palupi? (1969) di bawah naungan DPFN.

Infografik Mozaik Sjumandjaja

Infografik Mozaik Sjumandjaja. tirto.id/Nauval

Film Adalah Kritik Sosial

Menurut J.B. Kristanto sebagaimana ditulis dalam Kompas (20/7/1985), sineas Indonesia pada periode 1970-an hingga 1980-an kekurangan obsesi. Oleh karena itu, tidak heran jika film Indonesia kala itu acap kali gagal karena tidak jelas arah tujuan filmnya. Sjuman justru sebaliknya: dia sangat terobsesi dengan masalah-masalah sosial.

“Dialah yang paling jelas mau ngomong apa. Ini menarik, apalagi di tengah film Indonesia yang bisu, tidak tahu mau bicara apa. Sjuman juga yang secara jelas menghubungkan film dengan realitas sosial,” kata Arifin C. Noer kepada Kristanto.

Kendati berdarah Jawa, tetapi Sjuman lebih suka menyebut dirinya orang Betawi. Barangkali berkat hal itu pulalah ia gemar mengangkat tema-tema sosial orang Betawi serta segala bentuk kekerasan yang menggambarkan situasi pinggiran Kota Jakarta.

Berdasarkan catatan Salim Said, sikap idealis Sjuman paling tampak dalam Lewat Tengah Malam (1971), film pertama Sjuman setelah vakum lama lantaran tertawan oleh pekerjaan film di Deppen. Lewat Tengah Malam disebut Salim sangat menonjolkan selera Rusia, tetapi sarat akan kritik sosial khas Sjuman.

“Saat pulang dari Rusia, Sjuman menemukan masyarakat Indonesia tumbuh berbeda dengan cita-cita yang menggerakkan revolusi. Lewat karya pertamanya Sjuman ‘berontak’ dengan suatu perampokan terorganisir yang menggerogoti pembesar korup. Hasil perampokan dimanfaatkan pada usaha-usaha sosial,” tulis Salim dalam Pantulan Layar Putih (1991: 238-239).

Pada 1973, Sjuman memutuskan membangun perusahaan filmnya sendiri dengan nama Matari Artis Jaya Films. Alasannya sederhana: ia tidak ingin terikat kontrak kerja dengan para produser yang terlalu mengekang. Cita-cita Sjuman membuat film sendiri akhirnya tercapai melalui Si Doel Anak Betawi yang berhasil merajai sebagian besar bioskop rakyat di Jakarta tahun 1973.

Sjuman kemudian lebih dikenal sebagai sedikit dari seniman film Orde Baru yang memiliki kapasitas untuk menulis naskah sekaligus mengarahkan pembuatan film. Bakat menulisnya itu tidak disia-siakan Wahyu Sihombing yang kemudian mengajaknya menjadi bagian Sindikat Penulis Skrip Film. Tugas Sjuman hanya satu, yaitu memperbaiki penyakit film Indonesia yang gemar merusak cerita-cerita bagus menggunakan alur yang acak-acakan.

Sejak tahun 1971 hingga tutup usia, film dari buah penyutradaraan Sjuman Djaya terhitung ada 16 judul. Sebagian besar menjadi film peraih penghargaan Piala Citra dan sebagiannya lagi film terlaris.

Selain itu, Sjuman juga meninggalkan puluhan skenario yang kemudian dikerjakan oleh sutradara-sutradara lain. Menurut catatan Farida Oetoyo, sepanjang hidupnya Sjuman telah terlibat dalam pembuatan 53 judul film.

Baca juga artikel terkait FILM NASIONAL atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Nuran Wibisono