Menuju konten utama

Krisis Femina Group: Gaji Wartawan Dicicil, Bisnis Singset Majalah

Salah satu kelompok media gaya hidup tertua di Indonesia menghadapi masalah keuangan. Imbas dari perubahan dan gempuran industri media online dan digital.

Krisis Femina Group: Gaji Wartawan Dicicil, Bisnis Singset Majalah
Ajang Jakarta Fashion Week 2018, yang digagas oleh Femina Group, digelar di Senayan City, akhir Oktober lalu. Kelompok media Femina dalam kesulitan keuangan, di antaranya gaji karyawannya dicicil sejak awal tahun 2016. tirto.id/Naomi Pardede

tirto.id - Belasan model bertubuh ramping melenggang di atas runway Jakarta Fashion Week 2018, akhir Oktober kemarin. Mereka tengah membawakan koleksi perancang busana tanah air dalam Dewi Fashion Knights sebagai penampil pamungkas gelaran JFW tahun ini.

Mewah, elegan, dan kekinian tercermin dari para model, termasuk tiap sudut venue pagelaran fesyen tersebut, yang digelar di Senayan City Mall, Jakarta Pusat.

Namun, di balik gemerlap ajang fesyen yang sudah berumur 10 tahun itu, justru tersimpan ironi. Femina Group, penggagas sekaligus pelaksana gelaran tahunan fesyen bergengsi di tanah air itu, tengah diterpa kabar miring. Sejumlah karyawannya dikabarkan menerima gaji dengan dicicil sejak awal 2016.

Tak pelak hal ini menuai respons dari sejumlah karyawannya. Melalui Lembaga Bantuan Hukum Pers, Forum Komunikasi Karyawan Femina Grup menyampaikan beberapa tuntutan. Di antaranya soal kejelasan sistem pembayaran gaji pegawai.

Dian, bukan nama sebenarnya, seorang pegawai Femina Group, mengamini kabar tersebut. Gaji dia dibayarkan dengan cara dicicil, masing-masing 50 persen setiap tanggal 15 dan 25.

Awalnya ia tak keberatan lantaran merasa lebih hemat. Namun, per Juli 2017, gaji dia dan semua karyawan Femina Group mulai tak jelas. Terkadang gaji dicicil lebih dari dua kali, dengan skema persentase tak tentu. Bisa hanya 10:10:20 persen atau 40 persen, tetapi tidak pernah mencapai 100 persen lagi.

“Gerah juga lama-lama. Masak dicicil terus. Mau sampai kapan?” keluh Dian.

Kendati demikian, Dian masih bertahan di perusahaan yang dipimpin keluarga Alisjahbana ini lantaran merasa betah. “Di sini udah kayak keluarga, sih. Gue jadi ragu mau resign. Khawatir enggak dapat kenyamanan seperti ini di tempat lain,” ujar Dian, 28 tahun.

Selain gaji yang dicicil, Femina Group mulai mengurangi fasilitas lain seperti menghapus uang lembur dan kendaraan operasional.

Dian, yang masih melajang, boleh saja tak terlalu mempersoalkan masalah gaji. Namun lain soal bagi karyawan yang sudah berkeluarga.

Dalam rilis LBH Pers, gaji karyawan yang dicicil jelas merepotkan bagi pekerja yang sudah berkeluarga.

Hal inilah yang membuat Ayu, bukan nama sebenarnya, memilih hengkang dari Femina Group pada awal tahun ini.

“Waktu itu semua karyawan sempat dikumpulin di ruang serbaguna untuk sosialisasi soal pencicilan gaji itu,” ujarnya.

Usai pengumuman itu, Ayu lantas berniat resign. Namun, lantaran kondisi tengah hamil, ia memilih bertahan dengan harapan mendapatkan asuransi untuk biaya persalinan.

Nyatanya, saat melahirkan, ia tak bisa mengklaim asuransi dari perusahaan. Pihak rumah sakit pada waktu itu hanya menjelaskan bahwa asuransi yang ia miliki "tidak aktif." Akhirnya, Ayu hanya mengandalkan BPJS Kesehatan.

Masalah bertambah ketika ia bermaksud mencairkan Jaminan Hari Tua dari perusahaan setelah memutuskan resign. Ia dan beberapa karyawan yang akan keluar pada waktu itu kesulitan mencairkan dana Jamsosteknya.

“Punya gue belum jadi. Enggak tahu juga kenapa, padahal sudah dua tahun sejak gue masuk. Lagi pula, yang sudah punya kartu Jamsostek pun, tetap enggak bisa cair dananya. Alasannya, kantor nunggak. Padahal dana sudah kepotong dari gaji kita tiap bulan,” ujar ibu satu anak ini.

Oplah Femina Group Menurun

“Ya mereka sih mengajukan alasan klasik. Oplah yang menurun dan keuangan yang bermasalah,” ujar Nawawi Bahrudin, Direktur Eksekutif LBH Pers kepada Tirto, 27 Oktober lalu, soal alasan Femina Group mencicil gaji pegawainya.

“Mereka bilang masih sedang hitung aset yang akan dijual lalu memenuhi hak karyawan. Tapi, kan, ketahanan karyawan beda sama perusahaan,” lanjut Nawawi via telepon.

Tak hanya karyawan, sejumlah pihak ketiga ikut mengalami dampak dari krisis Femina Group. Dari informasi yang diterima LBH Pers, bahkan ada kontributor yang belum dibayar sejak 2016, padahal karyanya dipublikasikan.

Dari rilis LBH Pers pada 24 Oktober 2017, pihak karyawan dan manajemen Femina sudah berulang kali melakukan komunikasi untuk menanyakan solusi. Namun, lantaran tak kunjung mendapat jawaban konkret, ke-15 karyawan dalam Forum Komunikasi Karyawan Femina Group akhirnya meminta bantuan hukum kepada LBH Pers untuk memediasi aspirasi mereka.

Femina Group diduga melanggar Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 1: “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Jika terbukti, Femina Group dapat dikenakan denda sesuai persentase tertentu dari upah pekerja atau buruh, mengikuti UU Ketenagakerjaan pasal 95 ayat 2.

Sejauh ini sudah tiga kali pertemuan bipartit antara pihak karyawan dan manajemen.

“Pada dasarnya, tuntutan karyawan sederhana saja. Yaitu kejelasan kapan masalah ini akan segera diselesaikan. Mereka gentle dong, bilang secara jujur kondisi perusahaan. Solusinya antara ditutup, ya PHK saja karyawan dengan pemberian pesangon sesuai undang-undang,” ujar Nawawi.

Menjawab hal tersebut, Kuasa Hukum Femina Group, Rando Purba, dari kantor pengacara Lubis, Santosa & Maramis, menegaskan bahwa kliennya tidak memiliki rencana untuk merumahkan para karyawan.

Saat ini, tulis Rando melalui email kepada reporter Tirto, 30 Oktober lalu, Femina Group tengah melakukan "beragam upaya" demi keluar dari situasi kritis yang membelit grup media gaya hidup terbesar di tanah air itu. Salah satunya dengan melalui pendekatan community development.

Pendekatan ini, klaim Rando, cukup sukses lantaran "berhasil mendongkrak oplah Femina mencapai 600 ribu eksemplar dan 7 juta pembaca online" untuk seluruh brand Femina Group. Sayangnya, pencapaian ini terbukti belum dapat menutup persoalan pembayaran gaji karyawannya.

infografik sisi gelap dunia gemerlap

Dempul Mewah JFW, Ironi Grup Femina

Jakarta Fashion Week merupakan pekan mode terbesar serta disebut-sebut paling berpengaruh, tak hanya di Indonesia melainkan juga di Asia Tenggara sejak 2008.

Digagas dan dilaksanakan oleh Femina Group, gelaran tahunan ini konsisten menjadi biduk bagi industri mode Indonesia. Sejumlah perancang terkenal dalam negeri kerap berkolaborasi dalam ajang ini seperti Anne Avantie, Barli Asmara, Didiet Maulana, hingga Dian Pelangi.

Ribut-ribut gaji karyawan yang dicicil menjadi ironi lantaran berbarengan dengan perhelatan gelaran pekan fesyen bergengsi tersebut.

“Terlihat megah, tapi hak karyawan terlantar. Teman-teman di sana selalu mengeluh. Bikin JFW bisa, tapi bayar gaji karyawan kok susah?” ujar Ayu.

Terkait hal itu, Femina Group justru mengklaim Jakarta Fashion Week merupakan salah satu upaya perusahaan untuk bertahan dari krisis global yang menimpa industri media cetak. Lewat siaran pers dari pengacara Femina Group, ajang fesyen itu dianggap "berperan sangat penting dalam mendukung kelangsungan usaha Femina Group."

Manajemen Femina "telah berupaya keras" melakukan pelbagai cara demi bertahan di tengah situasi buruk bisnis media, yang "memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat." Karena itu, agar keuangan perusahaan tetap stabil dan mencegah gulung tikar, manajemen "menerapkan skema pembayaran upah secara bertahap" demi "kepentingan yang jauh lebih besar".

Pendeknya, Jakarta Fashion Week dianggap mampu memberikan "napas buatan" bagi kondisi keuangan perusahaan yang saat ini tengah megap-megap.

“Hanya saja butuh waktu. Dan selama proses ini berlangsung, tidak dapat dihindari timbulnya dampak-dampak yang tidak diharapkan oleh karyawan maupun perusahaan,” tulis Rando kepada redaksi Tirto.

Menjawab siaran pers dari Lubis, Santosa & Maramis (salah satu pengacara terkenal di sini adalah Todung Mulya Lubis), LBH Pers merilis tanggapan pada 1 November kemarin. Isinya, klaim bahwa ajang fesyen tahunan itu membantu usaha Femina sangat mungkin bisa diperdebatkan, mengingat ia sudah berjalan 10 tahun tetapi perusahaan tetap terlilit masalah keuangan.

Soal krisis media cetak, Cita Cinta dari Femina Group keburu menyerah pada 2016 lantaran oplah terus menurun. Dan grup Femina tidaklah sendirian menghadapi gempuran media digital.

Sebelumnya, sejumlah brand media gaya hidup dari Kelompok Kompas Gramedia seperti Kawanku, Hai, Chic, dan Instyle sudah lebih dulu tutup edisi cetaknya. Dua dari empat majalah itu, Kawanku dan Hai, berubah ke online (Kawanku berubah brand menjadi Cewebanget.id.)

Femina Group bermula dari pendirian Femina, majalah wanita pertama di Indonesia pada 1972. Pendirinya adalah Sofyan Alisjahbana bersama adiknya, Mirta Kartohadiprodjo, serta istrinya, Pia Alisjahbana. Juga ada Atiek Makarim dan Widarti Goenawan.

Bisnis mereka berkembang dan melahirkan sejumlah media lain, termasuk yang masih bertahan adalah Dewi, GADIS, dan Ayahbunda.

Baca topik terkait:

Media Cetak Bisa Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak

Kelahiran Generasi Z, Kematian Media Cetak

=====

Naskah direvisi pada bagian majalah-majalah dari Kelompok Kompas yang tutup karena hantaman media digital.

Baca juga artikel terkait JURNALISME atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam