tirto.id - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membongkar persekongkolan pengadaan e-KTP oleh Tim Fatmawati--tim konsorsium pengatur proyek e-KTP yang berkantor di Ruko Fatmawati milik Andi Agustinus alias Andi Narogong.
JPU KPK Irene Putri usai sidang e-KTP pada Kamis (6/4/2017) malam menyampaikan, KPK sudah cukup membedah proses penganggaran di DPR dan akan berlanjut membongkar praktik pengadaan e-KTP yang dilakukan Tim Fatmawati. "Kami akan mulai ke sana beberapa waktu ke depan," kata Irene.
Dalam perkara korupsi e-KTP, Irene menilai Tim Fatmawati punya andil besar karena mereka yang mendesain proyek sampai dengan besaran anggaran. "Sampai dengan tadi yang dijelaskan Anang [Anang Sugiana Sudiharjo] bahwa ada produk-produk yang sudah dikondisikan sejak awal," ujar Irene.
Anang Sugiana Sudiharjo merupakan Direktur Utama PT Quadra Solution, salah satu perusahaan anggota konsorsium dalam proyek pengadaan e-KTP.
Selain PT Quadra Solution, terdapat empat anggota konsorsium lainnya, yakni PNRI, PT Sandipala Arthaputra, PT LEN Industi, dan PT Sucofindo.
Untuk membongkar komplotan Fatmawati, Jaksa KPK mengaku telah mengantongi barang bukti berupa sejumlah dokumen dan keterangan para saksi. "Ada banyak dokumen lah, beberapa keterangan saksi yang kemudian menerangkan, ada saksi dari Kemendagri juga yang nanti akan menerangkan," tutur Irene.
Seperti dikabarkan Antara, dalam dakwaan terhadap dua pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, disebut beberapa anggota tim Fatmawati antara lain Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan menerima masing-masing sejumlah Rp60 juta terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.
Di dakwaan disebutkan proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus.
KPK telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH