Menuju konten utama

KKO Angkatan Laut: Korps Loyalis Sukarno yang Dikucilkan Orba

Angkatan Laut dan KKO tetap loyal pada Sukarno usai G30S 1965. Dikerdilkan selama era Orde Baru.

KKO Angkatan Laut: Korps Loyalis Sukarno yang Dikucilkan Orba
Letnan Jenderal Hartono. commons.wikimedia.org/Arif putra/Buku Jalesveva Jayamahe, 1 January 1960

tirto.id - Presiden Sukarno adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1960-an. Setia kepada presiden adalah hal lumrah bagi semua prajurit ABRI, bahkan ketika presiden lemah secara politik. Seperti yang terjadi setelah Oktober 1965, kala prajurit Angkatan Laut memosisikan diri di belakang Presiden Sukarno.

Menteri Panglima Angkatan Laut (Menpangal) Laksamana Moeljadi, menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015, hlm. 109), adalah seorang Sukarnois tulen. Kala kekuatan politik Sukarno melemah usai terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, dia tetap mendukung Sukarno. Sikapnya itu tentu saja berlawanan dengan klik perwira-perwira ABRI di lingkaran Soeharto.

Karenanya, Laksamana Moeljadi pun jadi sasaran pembersihan demi tegaknya Orde Baru. Meski begitu, pembersihan itu sebenarnya juga menyasar matra lain, yaitu Kepolisian, dan Angkatan Udara.

Pemberitaan Kompas (14/9/1968)--dikutip dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Buku II 1968-1971 (2008:204-205)--menyebut setidaknya 140 personel Angkatan Laut dipecat dalam Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Pada 1967, tercatat ada 80 anggota Korps Komando (KKO) dipecat karena dituduh terlibat gerakan PKI di Blitar Selatan.

Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986, hlm. 266) menyebut, “Moeljadi menolak pembersihan sebanyak tuntutan Angkatan Darat.”

Angkatan Laut enggan tunduk pada kemauan Angkatan Darat. Sikap Angkatan Laut itu dapat dukungan penuh dari pasukan pendarat KKO yang dipanglimai Mayor Jenderal Hartono.

Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung karno, hitam kata KKO,” kata Hartono pada medio November 1965.

Seperti halnya Moeljadi, Hartono adalah Sukarnois. Konon, dia pasti akan bilang “sanggup” jika diminta melawan golongan yang membahayakan keselamatan Presiden Sukarno.

KKO Setia pada Sukarno

Bagi musuh politik Sukarno, kesetiaan KKO itu jelas dianggap berbahaya. Pasalnya, seperti disebut Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997, hlm. 366), “KKO-AL sejak tahun 1960-an telah amat diperbesar kekuatannya.”

Kala itu, para perwira KKO cenderung berkiblat pada Marinir Amerika Serikat. Namun, persenjataan mereka justru dipasok oleh lawan politik Amerika Serikat.

Mayor Frederick W. Hopkins dari Marinir Amerika Serikat dalam The Marine Corps Gezette (1965, hlm. 47) menyebut KKO beranggotakan 12,5 ribu personel. Kesatuan ini juga kuat secara organisasi dan persenjataan. Karenanya, KKO termasuk kesatuan yang cukup kuat di dalam ABRI.

Kemampuan tempur KKO sudah terbukti dalam banyak operasi militer melawan beberapa pemberontakan. Pada 1960-an, KKO tercatat memiliki 60 unit kendaraan tempur LVT (BTR- 50p), 60 unit tank amfibi (PT- 76), 20 meriam howitzer 122 mm, 12 unit kendaraan peluncur roket SS 140 mm ( BM- 40), 10 truk amfibi (K-61), 20 kendaraan pemandu lapis baja, dan 60 unit truk bobot 3 ton. Setiap prajurit infanteri KKO juga dipersenjatai karaben SKS dan AK-47 buatan Uni Sovyet yang diakui sebagai senapan serbu yang tangguh di segala medan.

Kala Resimen Tjakrabirawa dibentuk, KKO memasukkan satu batalyonnya untuk bergabung. Personel KKO—kini berganti nama jadi Marinir—bahkan mampu bersaing dengan pasukan elite dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Di Probolinggo, pernah terjadi baku tembak antara kelompok yang diduga bagian dari KKO dan prajurit Angkatan Darat. Kala itu, Panglima Kodam Brawijaya (Jawa Timur) adalah Mayor Jenderal M. Jasin.

Pernah terjadi pada pertengahan tahun 1967. Saya dihina pasukan KKO. Waktu itu beberapa truk membawa mayat seorang PNI-ASU dengan dikawal beberapa prajurit KKO melewati depan rumah saya. Mereka menerikan yel-yel: Panglima Jenderal Jasin Tahi! Panglima Jenderal Jasin Tahi,” aku M. Jasin dalam Saya Tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto: Sebuah Memoir (1998:68-69).

PNI ASU yang dimaksud itu adalah faksi PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman yang berseberangan dengan Orde Baru. Kemungkinan, itu adalah cara oknum KKO mendemonstrasikan kekesalannya kepada klik tentara yang membabat pengikut Sukarno.

Dilemahkan Orde Baru

Posisi KKO jadi makin lemah setelah Soeharto berhasil menduduki kursi presiden. Pada akhir 1968, Letnan Jenderal Hartono diturunkan dari jabatan panglima KKO dan diganti oleh Moekidjat. Soeharto lantas mengirimnya ke Korea Utara sebagai duta besar. Penugasan itu agaknya lebih terasa seperti pembuangan karena Kore Utara tidak memiliki hubungan yang penting dengan Indonesia.

Laksamana Moeljadi pun kemudian dilengserkan dari kursi kepala staf Angkatan Laut. Posisinya lalu digantikan oleh Laksamana Soedomo yang lebih loyal pada Soeharto. Sejak itu, pembersihan dan penguasaan KKO jadi makin mudah.

Laksamana Soedomo lalu menginisiasi Operasi Ikan Paus di internal Angkatan Laut. Operasi itu tidak lain adalah usaha pembersihan Angkatan Laut, termasuk juga KKO, dari mereka yang dicap PKI atau simpatisan komunis.

Akibatnya, KKO mengalami penurunan jumlah personel. Menurut Mayor Jenderal Yussuf Solichien Martadiningrat dalam Against All Odds (2021, hlm. 216), KKO jadi hanya memiliki 5 ribu personel saja. Padahal, KKO sebelumnya punya 25 ribu personel. Ribuan prajurit dan perwira KKO kala itu dikaryakan ke beberapa departemen pemerintahan.

KKO kemudian diganti namanya menjadi Korps Marinir berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Skep/1831/XI/1975 tertanggal 15 November 1975. Pergantian nama itu dianggap penting karena nama KKO dianggap terlalu identik dengan Sukarno dan itu tidak menyenangkan bagi Orde Baru. Nama Korps Marinir itu terus dipakai hingga saat ini.

Meski begitu, Orde Baru Soeharto tetap saja menaruh prasangka pada korps ini. Yussuf Solichien menyebut jarang ada bekas perwira Marinir yang menduduki jabatan strategis. Karier mereka pun umumnya mentok di dalam korpsnya sendiri.

“Jabatan bintang dua (Mayor jenderal) atau bintang tiga (letnan jenderal) di Mabes Angkatan Laut atau Mabes ABRI sangat sulit didapatkan,” tulis Yussuf Solichien.

Keadaan itu berubah setelah Soeharto lengser pada 1998. Ada seorang jenderal dari Marinir yang kemudian menjadi komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), Komandan Sesko TNI, Komandan Jenderal Akademi TNI.

Baca juga artikel terkait MARINIR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi