Menuju konten utama
6 Oktober 2010

Kisah Instagram Menjadi Aplikasi Serba Bisa Setelah Dibeli Facebook

“Instagram tidak lagi hanya aplikasi berbagi foto dan akan terus mencoba fitur yang membuat pengguna mendapatkan pengalaman baru,” ujar Adam Mosseri.

Kisah Instagram Menjadi Aplikasi Serba Bisa Setelah Dibeli Facebook
Ilustrasi Mozaik Instagram Diluncurkan. tirto.id/Trinanda Prasetyo

tirto.id - Pada musim panas 2010, seorang karyawan Google bernama Kevin Systrom menghabiskan waktu liburan bersama pacarnya, Nicole Schuetz, di tepian pantai Meksiko. Suatu kali, Systrom yang tengah mengembangkan proyek aplikasi berbagi foto dan lokasi bernama Burnb, meminta Schuetz untuk mengunggah hasil jepretannya ke dalam aplikasi tersebut. Namun sang pacar menolak menuruti permintaan Systrom. Rupanya, dia sebal karena iPhone 4 yang baru dibelinya tidak memberikan hasil gambar yang diinginkan. Kualitas kameranya buruk sehingga menghasilkan foto yang jelek.

Systrom memutar otak. Mengubah kualitas kamera adalah hal yang mustahil. Satu-satunya cara yang lulusan Stanford University itu lakukan adalah menjadikan foto asli menjadi lebih baik dengan menggunakan berbagai teknik editing. Dari sini Systrom merancang fitur yang akan membuat gambar terlihat berbeda dan mampu menutupi keburukan kamera iPhone 4. Tak berapa lama, lahirlah filter X-Pro II yang bernuansa jadul. Filter itu langsung diujicobakan pada gambar anjing dan kaki Schuetz dengan ukuran 1:1, layaknya Polaroid, lalu diunggah pada Juli 2010 di aplikasi Burnb.

Namun, aplikasi garapan Systrom mandek karena terlalu rumit. Para pengguna cukup bingung dengan fitur-fiturnya. Systrom kemudian mengubah aplikasi buatannya. Kali ini ia menggandeng Mike Krieger, pemrogram yang juga lulusan Stanford. Keduanya sepakat untuk fokus mengembangkan aplikasi yang khusus untuk berbagi foto digital dan mampu diunggah dengan cepat atau instan.

Alasan yang mendasari pemilihan ini cukup sederhana, yaitu karena manusia sudah sejak lama senang menangkap dan mengabadikan suatu momen. Apalagi pada saat yang bersamaan, belum ada aplikasi seperti yang diinginkan keduanya. Facebook dan Twitter, misalnya, belum memiliki fitur unggah foto, hanya berbagi kata-kata. Sedangkan Flickr, meski sudah dapat mengunggah foto, namun membutuhkan waktu lama. Artinya, peluang untuk mengembangkan aplikasi khusus berbagi foto secara cepat terbuka lebar.

Maka pada 6 Oktober 2010, tepat hari ini 11 tahun lalu, keduanya resmi mengubah Burnb dan meluncurkan Instagram, aplikasi berbagi foto secara instan.

Dibeli Facebook adalah Kunci

Pada hari pertama kemunculannya, Instagram langsung disambut oleh banyak orang. Tercatat sekitar 10-25 ribu orang mengunduh dan menjadi pengguna Instagram. Angka ini terus meningkat menjadi ratusan ribu pada bulan-bulan berikutnya. Bahkan dalam kurun satu tahun, angkanya menembus 10 juta. Meski demikian, angka tersebut masih tergolong kecil dibandingkan para “seniornya”, seperti Facebook dan Twitter yang sudah memiliki ratusan juta pengguna pada September 2011.

Terus meningkatnya angka pengguna, membuat banyak orang memprediksi bahwa Instagram akan menjadi aplikasi terbaik di masa depan. Namun, potensi besar ini tidak sejalan dengan manajemen internal yang baik. Hingga dua tahun usianya, Instagram hanya memiliki 13 karyawan. Penyebabnya karena Systrom sebagai pimpinan terlalu selektif menerima karyawan. Dia hanya menerima karyawan yang memiliki kualitas terbaik.

Tindakan tersebut tentu baik, tetapi sangat tidak proposional untuk mengurusi aplikasi yang terus mengalami kenaikan pengguna dan semakin besar. Ditambah lagi dari segi finansial, aplikasi besutan Systrom ini belum mendapatkan keuntungan sedikitpun akibat belum dikelola dengan baik. Kekurangan pada pengelolaan internal Instagram inilah yang membuat Facebook melirik Instagram untuk pertama kalinya.

Sepengakuan Kevin Systrom dalam wawancaranya dengan Guardian, sejak awal tahun 2012 Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, rutin menemuinya bahkan sampai “mengejar-ngejar” dirinya. Pertemuan itu dilakukan sebagai ajang negosiasi Zuckerberg kepada Systrom terkait pembelian Instagram. Zuckerberg, sebagaimana dikutip oleh jurnalis Sarah Frier dalam No Filters: The Inside Story of Intagram (2020), ketika ditanya alasan keiginannya membeli aplikasi berbagi gambar itu menuturkan, “Instagram adalah layanan hebat dan kami ingin membantunya tumbuh.”

Pernyataan bos Facebook itu cukup rasional. Namun banyak yang menduga bahwa niat pembelian tersebut mencerminkan sikap Zuckerberg yang takut bahwa Instagram akan mengalahkan dominasi Facebook di masa depan. Singkatnya, Zuckerberg berupaya mengamankan posisi hegemoni perusahaannya agar tidak tersaingi dengan cara membeli perusahaan pesaingnya.

Di sisi lain, Systrom turut senang dengan niat Zuckerberg. Pasalnya, jika benar perusahaannya diakuisisi oleh Facebook, maka ia tidak perlu susah payah mengurusi berbagai macam keluhan dan perbaikan pada Instagram. Dengan bantuan Facebook, Systrom berharap pekerjaannya akan berkurang sekaligus percaya bahwa perusahaan Zuckerberg ini mampu membawa Instagram sejajar dengan aplikasi media sosial papan atas lainnya.

Akhirnya, usai negosiasi panjang, keduanya mencapai kata mufakat. Pada April 2012, Facebook resmi mengakuisisi Instagram senilai $ 1 Miliar. Dan kelak, ucapan Systrom tersebut terbukti ketika Facebook memainkan peran penting dalam melakukan perubahan di Instagram.

“Dari menjalankan perusahaan rintisan ada bagian menyenangkan dan bagian yang tidak terlalu menyenangkan. Facebook menangani bagian yang tidak terlalu menyenangkan: seperti infrastruktur, spam, dan penjualan,” kata Systrom kepada Guardian.

Infografik Mozaik Instagram Diluncurkan

Infografik Mozaik Instagram Diluncurkan. tirto.id/Trinanda Prasetyo

Tak Ingin Terkalahkan

Berada di bawah kendali Facebook menjadi titik balik perkembangan Instagram. Dari semula hanya platform untuk berbagi foto dan video, berubah dengan beragam fitur yang semakin bervariasi. Pada pertengahan 2016, misalkan, Instagram memperkenalkan fitur Stories yang memungkinkan pengguna dapat mengunggah foto atau video beserta filter dan teks dalam format slideshow. Fitur ini mirip, bahkan hampir tak ada bedanya, dengan aplikasi Snapchat.

Meski begitu, dilansir dari New York Times, Systrom menampik bahwa fitur Stories mengikuti Snapchat. Menurutnya, Instagram dan Snapchat adalah dua aplikasi dengan basis yang berbeda. Stories di Instagram memungkinkan dilihat oleh jaringan publik yang lebih luas, sedangkan Snapchat sebaliknya. Atas dasar itulah Systrom menegaskan keduanya memang beda. Lalu pada tahun yang sama, Instagram mengenalkan Question Sticker, fitur yang memungkinkan terjadi interaksi tanya-jawab antar pengguna Instagram—mirip dengan Ask.fm.

Terlepas dari hal itu, tidak sedikit yang menganggap bahwa hadirnya fitur ini sangat berkaitan dengan agresivitas Facebook terhadap aplikasi lain. Stories dibentuk sebagai reaksi atas kegagalan Facebook mengakuisisi aplikasi Snapchat. Mereka menduplikasi fitur-fiturnya. Dan lahirlah Instagram Stories, sebagian menyebutnya Snapgram.

Jika dilihat dari sejumlah fitur baru yang diluncurkan Instagram, memang terlihat jelas keinginan Facebook yang tidak ingin tersaingi oleh media sosial lain. Mereka ketakutan ketika melihat media sosial lainnya mendominasi di beberapa sektor. Ketika Youtube merajai sektor berbagi video, beberapa waktu kemudian Facebook merilis Watch dan Instagram merilis IGTV. Lalu tatkala Tiktok booming, Facebook mengumumkan fitur Lasso. Namun, Lasso terpaksa berhenti karena kurang laku. Sebagai gantinya, Facebook merilis Reels yang disematkan pada Instagram—fitur video pendek dengan durasi 30-60 detik.

“Instagram tidak lagi hanya aplikasi berbagi foto dan akan terus mencoba fitur yang membuat pengguna mendapatkan pengalaman baru,” ujar CEO baru Instagram, Adam Mosseri, pada Juli 2021.

Diperkenalkannya fitur jual beli Instagram Shop dan Reels pada 2020 ke publik menjadi tanda atas hal ini. Para pengguna Instagram hanya tinggal menunggu kejutan lain. Meski demikian, banyak juga warganet yang menghujat sikap Instagram yang keluar dari landasan awal dan mengikuti gaya aplikasi lain.

Baca juga artikel terkait INSTAGRAM atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh