Menuju konten utama

Ke Asia, Bermain Bola Demi Harta

Mereka sebenarnya masih mampu bersaing di level tertinggi tapi memilih hijrah ke Asia. Apalah artinya kejayaan dan gengsi sepakbola Eropa jika bisa mengeruk lebih banyak harta di Cina, Qatar, atau India.

Ke Asia, Bermain Bola Demi Harta
Striker tim nasional Kolombia serta mantan pemain FC Porto dan Atletico Madrid, Jackson Martinez, hijrah ke Liga Super Cina pada usia 29 tahun. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Jika di akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an cukup banyak pesepakbola dari Asia yang ke Eropa, kini justru sebaliknya. Para pemain lapangan hijau yang sejatinya tengah berada dalam usia emas, justru beramai-ramai pindah ke Asia. Cina, Qatar, dan India, menjadi destinasi utama karena menjanjikan penghasilan yang jauh lebih besar.

Tak sekadar menampung mantan pesepakbola top yang telah melewati era kejayaannya, sepakbola Asia, khususnya Cina, memboyong cukup banyak pemain berkelas internasional. Rumput negeri tirai bambu dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang subur-suburnya, bahkan diprediksi bakal bisa bersaing dengan Eropa.

Sven Goran Eriksson, pelatih berpengalaman yang pernah menangani klub-klub mapan Eropa macam Benfica, AS Roma, Fiorentina, Lazio, Manchester City, juga tim nasional Inggris, Pantai Gading, serta Meksiko, percaya akan hal tersebut.

"Banyak dari para pemain ini yang masih oke di liga-liga Eropa. Tapi saat ini, di Liga Super Cina, Anda akan memiliki keuangan yang cukup bagus. Jadi, saya pikir Cina bisa bersaing dengan liga-liga Eropa," tutur Eriksson seperti dikutip dari FourFourTwo.

Eriksson sendiri sudah sejak musim 2013/2014 berkarier di Cina. Semusim awal, pria Swedia ini menukangi Guangzhou R&F, kemudian pindah ke Shanghai SIPG yang dibawanya menempati posisi runner-up Liga Super Cina musim 2015/2016 lalu.

Kejarlah Uang Sampai ke Cina

Faktor uang tampaknya memang menjadi alasan terkuat para pesepakbola top dunia bersedia hijrah ke Cina. Di usia jaya, mereka memilih merantau ke Asia demi potensi harta yang melimpah sebelum malah jadi onggokan ampas di Eropa.

Sebutlah Jackson Martinez yang kini memperkuat klub Liga Super Cina, Guangzhou Evergrande. Penyerang yang telah mengemas 40 caps bersama tim nasional Kolombia ini sempat digadang-gadang sebagai salah satu calon bomber terganas di Eropa saat masih di FC Porto.

Selama tiga musim di klub elit Portugal itu sejak 2012, Martinez mengoleksi 105 gol dari semua ajang. Apesnya, ia gagal bersinar saat pindah ke Atletico Madrid pada 2015/2016. Dalam 22 laga, ia hanya mampu mencetak 3 gol yang membuatnya hanya setengah musim bertahan di Spanyol. Beruntung, Guangzhou Evergrande bersedia menebusnya sebesar 42 juta euro sehingga Atletico Madrid tidak merugi.

Rekan senegara Jackson Martinez, Fredy Guarin, sama saja. Menjadi gelandang andalan Inter Milan sejak musim 2011/2012, ia sempat dikabarkan bakal direkrut Juventus. Namun, pemilik 57 caps di tim nasional Kolombia ini justru berlabuh ke Shanghai Shenhua selepas musim 2015/2016.

Ramires juga demikian. Ikut menyangga lini tengah Chelsea selama 6 musim dengan penampilan yang stabil, anggota skuad tim nasional Brazil dengan jumlah caps 52 ini pindah ke Jiangsu Suning pada usia 29 tahun di akhir musim lalu.

Ezequiel Lavezzi (Argentina), Hulk (Brazil), dan Graziano Pelle (Italia) turut menambah semarak sepakbola Cina musim ini. Lavezzi yang selama 4 musim terakhir bergelimang trofi bersama Paris Saint Germain, hijrah ke Hebei China Fortune.

Eks bomber Zenit, Givanildo Vieira de Sousa alias Hulk, rela menampik tawaran dari klub-klub besar Eropa demi bergabung dengan Shanghai SIPG. Sementara Pelle yang baru saja mencicipi turnamen akbar pertamanya bersama Italia di Piala Eropa 2016, hengkang dari Southampton ke Shandong Luneng.

Lantas, berapa upah mereka di Cina? Hulk menjadi pemain bergaji paling tinggi, Shanghai SIPG memberinya 17 juta pounds (sekitar 292 miliar rupiah) per tahun. Disusul oleh Pelle (13,6 juta pounds), kemudian Lavezzi (11 juta pounds), Martinez (10,5 juta pounds), Ramires (10 juta pounds), dan Guarin (4,5 juta pounds).

Jangan lupakan pula nama-nama populer lainnya yang juga merumput di Cina macam Gervinho (eks Arsenal & AS Roma), Paulinho (Tottenham Hotspur), Alex Teixeira (Shakhtar Donetsk), Renato Augusto (Bayer Leverkusen), Jo (Galatasaray), hingga Demba Ba (Chelsea & Benfica) yang sayangnya kini mengalami cedera parah.

Pesona Qatar dan India

Bukan cuma Cina negara Asia yang menebar pesona bagi para pesepakbola top dunia. Qatar dan India juga turut menghamburkan pundi-pundi uang meskipun belum seroyal Cina.

Sebagian besar pemain yang hijrah ke Qatar maupun India telah melewati masa-masa jayanya alias sudah berusia tidak muda lagi. Namun, tidak sedikit pula pesepakbola di usia emas yang memutuskan pergi dari Eropa untuk melanjutkan karier di dua negara Asia tersebut.

Di Qatar Stars League, misalnya, terdapat nama Chico Flores. Bek Spanyol 29 tahun ini sejak musim 2016/2017 ini bergabung dengan Lekhwiya SC dari klub Inggris, Swansea City. Flores sebelumnya memperkuat Cadiz, Barcelona, Almeria, dan Real Mallorca di La Liga, juga klub Italia, Genoa.

Lucas Mendes dari Brazil bahkan pindah ke Qatar pada usia 24 tahun. Pada 2012 hingga 2014, ia adalah andalan lini belakang klub Perancis, Marseille, sebelum akhirnya berlabuh ke El Jaish.

Ada pula Vladimir Weiss. Winger tim nasional Slovakia ini hijrah ke Qatar juga pada umur 24 tahun. Padahal, sebelumnya ia berkarier gemilang bersama tim muda Manchester City dan Bolton Wanderers di Inggris, lalu Glasgow Rangers (Skotlandia), Espanyol (Spanyol), Pescara (Italia), hingga Olympiacos (Yunani).

Di India Super League, yang bisa dijadikan contoh adalah Jose Luis Espinosa Arroyo. Ia adalah mantan bek sayap Cadiz dan Atletico Madrid yang kini memperkuat Atletico Kolkata pada usia 24 tahun.

Berikutnya adalah Raoul Loe, gelandang tim nasional Kamerun yang berlabuh ke klub Qatar, Al-Sailiya, pada usia 26 tahun. Selain telah mengemas 12 caps untuk Kamerun, Loe juga merupakan pemain didikan klub raksasa Perancis, Paris Saint Germain (PSG) dan mantan punggawa Osasuna (Spanyol).

Sebenarnya masih banyak pesepakbola kelas dunia yang kini merumput di Qatar maupun India, walaupun sebagian dari mereka sudah melewati masa-masa jayanya. Ada Xavi Hernandez, Alvaro Mejia, Sergio Garcia, Luis Jimenez, Nadir Belhadj, atau Rod Fanni, di Qatar, misalnya.

Sementara di India terdapat nama-nama gaek seperti Lucio, Simao Sabrosa, Diomansy Kamara, Selim Benachour, Steve Simonsen, Didier Zokora, bahkan Nicolas Anelka hingga Roberto Carlos.

Menuju Asia yang menjanjikan pundi-pundi harta bagi pesepakbola yang sudah di penghujung karier memang menjadi salah satu pilihan yang paling masuk akal. Namun, untuk mereka yang sebenarnya masih bisa bersaing di level tertinggi, pilihan itu tak jarang menimbulkan persepsi yang terkadang kurang mengenakkan.

Kendati demikian, di dunia profesional, bekerja di mana pun merupakan pilihan pribadi tanpa peduli dengan efek-efek non-teknis yang barangkali muncul. Begitu pula di lapangan kerja bertabur uang yang bernama sepakbola.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti