Menuju konten utama

Jejak Permusuhan Iran dan Arab Saudi

Konflik Iran dan Arab Saudi berawal dari perbedaan pandangan tentang seorang pemimpin yang kemudian berujung pada “perang” guna memenuhi ambisi dalam memperluas kekuasaan.

Jejak Permusuhan Iran dan Arab Saudi
Massa Hazbut Tahrir Pakistan turun ke jalan saat protes anti-pemerintah, di Karachi. Foto/AFP

tirto.id - "Jika Arab Saudi melakukan hal bodoh, kita tidak akan menyisakan daerah mana pun kecuali Mekah dan Madinah."

Pernyataan itu dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Iran, Hosserin Dehghan menanggapi pernyataan yang disampaikan Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman, yang mengungkapkan bahwa “pertempuran” dalam persaingan pengaruh antara kerajaaan Islam Sunni dan revolusioner teokrasi Syiah seharusnya terjadi di Iran bukan di Arab Saudi.

"Kami tahu, bahwa kami adalah tujuan utama rezim Iran. Kami tidak akan menunggu sampai pertempuran terjadi di Arab Saudi, tapi kami akan berusaha untuk berperang di Iran daripada di Arab Saudi," kata Muhammad bin Salman, seperti dikutip Reuters.

Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi di Riyadh, Pangeran Muhammad juga menyatakan tak akan berdialog dengan Iran dan bersumpah akan melindungi kerajaan konservatifnya dari apa yang ia sebut sebagai upaya Teheran untuk mendominasi dunia Muslim.

Menanggapi pernyataan tersebut, Dehghan menyatakan, Arab Saudi harusnya lebih hati-hati dalam melangkah, khususnya bila berhubungan dengan situasi di kawasan. Kesalahan dalam bertindak dapat membuat situasi di kawasan semakin memburuk.

"Mereka pikir mereka bisa melakukan sesuatu hanya karena mereka punya angkatan udara," kata Menteri Pertahanan Hosserin Dehghan.

Sunni dan Syiah

Hubungan Iran dan Arab Saudi memang selalu diwarnai berbagai ketegangan. Konflik ini berakar dari sejarah politik Islam, lebih dari seribu tahun lalu. Sidik Jatmika dalam bukunya Pengantar Studi Kawasan Timur Tengah menulis sisi berlawanan itu berakar dari suksesi kepemimpinan setelah meninggalnya Nabi Muhammad, saat Abu Bakar diangkat sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.

Pergantian kepemimpian ini menyebabkan lahirnya dua kelompok: Kelompok yang melegitimasi kepemimpinan Abu Bakar dan kelompok yang menjadi pengikut setia Ali bin Abi Thalib. Pengikut Abu Bakar dikenal sebagai kelompok Sunni dan pengikut Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai kelompok Syiah.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kaum Sunni mengangkat Abu Bakar untuk menjadi khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, lalu dilanjutkan Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.

Di sisi lain, kelompok Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, adalah sosok yang pantas menjadi penerus kepemimpinan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Muslim Syiah percaya bahwa Ali bin Abi Thalib dipilih melalui perintah langsung Nabi Muhammad SAW. Kaum Syiah juga menolak kepemimpinan dari tiga khalifah Sunni pertama yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.

Dua pandangan yang berbeda ini semakin meruncing dengan klaim Arab Saudi yang menyatakan diri sebagai “pemimpin Sunni dunia.” Padahal, di negara terdapat dua tempat suci Islam, Mekah dan Madinah. Di sisi lain, Iran memiliki penduduk Syiah terbesar dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi “pemimpin Syiah dunia.”

Berdasarkan riset dari Pew Forum, 8 tahun lalu, dari total populasi Muslim dunia, 10-13 persen adalah Syiah dan 87-90 persen adalah Muslim Sunni. Populasi Syiah terbesar di Iran berjumlah sekitar 66 juta hingga 70 juta Syiah atau sekitar 90 persen dari total kaum Syiah di dunia.

Revolusi Iran 1979

Hubungan Arab Saudi dan Iran memanas pada tahun 1979. Revolusi Iran atau disebut juga revolusi Islam itu mengganti Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini. Menurut Ayatullah Khomeini, monarki tidak sesuai dengan Islam. Sedangkan Arab Saudi dikuasai seorang raja dan bentuk pemerintahannya adalah Islam konservatif.

Setelah revolusi Iran, negara tersebut mulai mengirimkan dukungan untuk kepentingan Syiah di Lebanon, Irak serta tempat lain di Timur Tengah. Hal ini dipandang sebagai suatu penentangan terhadap rezim konservatif Sunni. Negara Arab juga mencurigai terkait usaha Iran untuk menyebarkan revolusinya ke negara-negara tetangga.

Revolusi ini membuat Iran semakin menunjukkan kekuatannya. Iran sangat mendukung usaha Palestina menentang Israel dan menuduh negara-negara seperti Arab Saudi tidak memperhatikan nasib warga Palestina. Arab Saudi hanya mewakili kepentingan pihak Barat. Iran semakin lantang menentang sekutu-sekutu Arab Saudi seperti Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Ahmadinejad.

Status Iran dan Arab Saudi sebagai eksponen utama Islam Syiah dan Sunni membuat keduanya kemudian membangun aliansi dengan negara-negara yang memiliki teologi yang sama dengan mereka. Tujuannya tentu untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan di kawasan. Arab Saudi pun memperkuat hubungan dengan pemerintah Sunni lainnya termasuk pembentukan Dewan Kerja sama Teluk atau The Gulf Cooperation Council.

Infografik Hubungan Iran Dan Arab

Yaman yang Menjadi Korban

Ketika ada dua kelompok atau negara yang bertikai, tentu ada yang akan menjadi korban. Bisa jadi salah satu di antara mereka, atau pihak ketiga yang dijadikan “alat” oleh kedua pihak yang bertikai untuk mencapai tujuannya.

Iran dan Arab Saudi terlibat dalam konflik di Yaman 2004 setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Iran disebut-sebut mendukung pemberontak Houthi, sedangkan Arab Saudi yang awalnya memposisikan diri sebagai mediator dituding telah memberikan dukungan kepada pemerintah Yaman dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.

Ada pula orang Yaman menilai bahwa perang di negara tersebut karena adanya dua kekuatan regional, seperti dilaporkan Time dengan tulisan "Yemen is the Latest Victim of the Increase in Iran-Saudi Arabis Tension." Berawal dari perang sipil, berlanjut jadi konflik internasional. Ribuan warga sipil pun menjadi korban dan menyebabkan krisis kemanusiaan di Yaman.

“Untuk kemungkinan perdamaian di Yaman, setidaknya ada konsensus dari Arab Saudi dan Iran,” kata analis dari Carnegie Middle East Center, Farea Al-Muslimi, tentang Yaman.

Jauh sebelumnya, guna melawan Iran, Arab Saudi turun serta dalam mendukung Saddam Hussein di Baghdad dalam Peran Iran-Irak 1980. Riyadh bahkan memberikan dana sumbangan sebesar $25 miliar dan mendesak negara-negara teluk lain menyumbangkan dana perang untuk Irak. Diperkirakan sekitar 250 ribu orang Irak tewas dan lebih dari 300 ribu orang Iran tewas dalam perang itu.

Arab Saudi juga resah ketika ada laporan intelijen yang mengungkapkan kemampuan militer Iran serta ambisi nuklir Iran. Sejak saat itu, Iran semakin dikucilkan. Riyadh menyebut masa depan kawasan akan lebih cerah jika membatasi pengaruh Iran. Arab Saudi selalu berada di sisi yang berlawanan dengan Iran. Mereka mendukung faksi-faksi yang berlawanan seperti pada konflik Suriah, Yaman Lebanon, Irak, dan Bahrain.

Hubungan Iran dan Arab Saudi sepertinya masih jauh dari kata damai. Semua itu berawal dari adanya perbedaan pandangan terkait siapa yang pantas menjadi pemimpin. Masing-masing kelompok berusaha sekuat tenaga mempertahankan pandangan itu, menyebarkan pandangan itu, dan menguasai yang lain. Hasil akhirnya adalah perang, konflik, dan korban.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani