Menuju konten utama
Wawancara Khusus

Bahaya "Viral" By The Press Media Demi Sensasi dan Drama Semata

Trial by the press terjadi karena mengangkat hal-hal sensasional atau dramatisasi yang tidak berhubungan langsung dengan kasus.

Bahaya
Header Wansus Wisnu Prasetya. tirto.id/Tino

tirto.id - Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, tayang 28 September 2023, dalam platform Netflix. Film dokumenter besutan Beach House Pictures ini menyorot salah satu kasus hukum paling menarik perhatian di Indonesia: pembunuhan Mirna Salihin.

Rangkaian persidangan kasus Jessica berlangsung pada Januari-Oktober 2016. Perkara tersebut diliput secara intens oleh media massa nasional dan internasional, serta menjadi yang pertama disiarkan secara langsung di berbagai stasiun televisi Indonesia.

Tak hanya kasus Jessica yang disiarkan langsung televisi. Pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat dengan dalang pembunuhan Ferdy Sambo; lalu kasus Mario Dandy menganiaya David Ozora; bahkan kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station 4G dan infrastruktur pendukung yang menyeret Menkominfo Johnny G Plate, pun disiarkan.

Semua kasus itu viral, masuk ke ruang-ruang publik. Pers pun mengamplifiernya dalam pemberitaan di tengah kegaduhan publik tadi. Di sinilah pertanyaan itu muncul. Satu sisi, pers memang bisa meliput persidangan, namun apa yang terjadi jika pers menjadi "pengadil"?

Bahkan bisa saja "intervensi" pers melalui penyiaran dapat membangun opini publik. Sebelum ada putusan hakim, publik seolah telah menghakimi pelaku kejahatan. Apakah benar Jessica membunuh? Apakah aparat penegak hukum terkontaminasi tekanan publik akibat penyiaran?

Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada sekaligus Mahasiswa S3 Universitas Sheffield, UK Wisnu Prasetya Utomo berpendapat soal persidangan oleh media (trial by the press).

Bagaimana Anda menyorot persidangan oleh media dari segi komunikasi?

Dia dapat disederhanakan sebagai bahan atau penghakiman yang dilakukan oleh media. Ketika media memberitakan informasi yang tidak berimbang dan menyorotkan pihak-pihak tertentu. Ini yang selanjutnya mendorong opini publik untuk melakukan spekulasi-spekulasi bahwa pihak-pihak tertentu itu sudah pasti bersalah.

Kalau dari sisi komunikasi trial by the press ini seperti pedang bermata dua. Pertama, di satu sisi tentu ada hak publik untuk tahu, untuk mendapatkan informasi, (kasus) yang melibatkan tokoh publik. Sisi lain, ada yang disebut asas praduga tidak bersalah.

Apa kelemahan pers sebagai corong informasi publik? Dikaitkan dengan penghakiman media.

Prinsip komunikasi itu irreversible. Irreversible maksudnya, apa yang sudah disampaikan itu tidak bisa ditarik kembali, ketika informasi itu sudah dilempar ke publik. Jadi, media yang tidak teliti, tak memeriksa fakta, keliru memberitakan, melakukan penghakiman, itu rentan terjebak pada problem ini karena informasinya sudah menyebar.

Tentu informasi itu bisa diperbaiki. Kalau di media ada mekanisme memberitakan yang salah (bisa) direvisi, bahkan sampai ada berita yang salah direvisi, tetap saja informasi yang salah ini sudah terlanjur menyebar, terlanjur diberitakan, yang kalau dia disebarkan dengan cepat, nampak aneh. Opini sudah terbentuk, informasi sudah dilempar ke luar, walaupun ada informasi itu akan sulit untuk memperbaiki apa yang sudah keluar kepada publik.

Secara ideal, apakah pers semestinya mengantisipasi atau merevisi informasi?

Tentu idealnya mengantisipasi. Mengantisipasi artinya melalui mekanisme verifikasi yang ketat. Artinya basis yang jelas, apakah dia fakta persidangan, misalnya, verifikasi. Tapi kalau prinsip "yang penting diberitakan dahulu", itu rawan. Antisipasinya sesederhana dengan memegang kode etik jurnalistik (yakni) yang harus diberitakan dan tidak boleh diberitakan, informasi seperti apa yang bisa disampaikan kepada publik.

Pers membutuhkan isu persidangan ini sebagai pemberitaan, apalagi kalau menyangkut pesohor-pesohor. Selain kode etik, apakah ada pedoman lain agar pers tak menghakimi?

Pertama, jelas kode etik. Atau kalau dalam tambahan selain kode etik jurnalistik ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), (pekerja) televisi terikat oleh aturan itu. Jadi agar tidak menghakimi, saya kira lihat aturannya. Batasan yang harus dijaga, misalnya untuk kasus-kasus kekerasan seksual, karena tidak boleh menyebutkan identitas dan sebagainya. Media punya tanggung jawab agar informasi yang disampaikan ini memang bisa diverifikasi, memenuhi kaidah jurnalistik, kode etik, juga organisasi profesi wartawan (dengan) etik sendiri-sendiri. Saya kira itu lebih dari cukup untuk dijadikan pegangan.

Bagaimana menjaga independensi media? Karena setiap ruang redaksi berbeda tujuan.

Media, apalagi di Indonesia, dimiliki oleh banyak aktor politik, yang tentu aktor-aktor ini punya kepentingan masing-masing. Tetapi, kalau bicara soal independensi, saya tetap akan mengembalikan kepanduan, pegangan yang diberikan oleh regulator media seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran, yang selalu menekankan bahwa independensi penting.

Objektivitas artinya fakta data yang disampaikan tidak tendensius, berimbang, juga independensi berkaitan dengan media tidak terjebak untuk menjadi yang susah diverifikasi. Apalagi, kalau bicara hari ini, publik sangat kritis dan punya mekanisme untuk mencari tahu apakah sebuah media ini sesuai dengan kode etik atau tidak.

Bagaimana komunikasi ideal pers tidak merugikan? Pasti ada diksi atau kemampuan reporter mengomunikasikan informasi itu berbeda-berbeda. Bahkan salah pilih kata pun artinya bisa beda.

Agar tidak merugikan, ada panduan dasar yang mesti jadi pegangan lebih dahulu. Kode etik itu sebenarnya tidak terlalu detail. Tapi dalam P3SPS beberapa panduan aturan itu sangat spesifik. Yang itu saya kira harus dikuasai, dipelajari. Apalagi kalau trial by the press, sebagian besar, dalam tanda kutip, "Pelaku" trial by the press itu (awak) televisi. Kalau kita belajar, tidak hanya di Indonesia, tapi di banyak negara. Melihat kode etik dan pedoman yang ada. Kedua, agar tidak merugikan maka beritakan hal-hal yang relevan dengan kasus. Problemnya adalah, banyak media, banyak stasiun televisi, yang (memberitakan) tidak berkaitan langsung dengan kasus.

Misalnya kasus Jessica, itu karakter pemberitaan media di Indonesia. Kalau berkaitan dengan isu-isu pembunuhan, kekerasan seksual. Misalnya yang ditanya pendapat tetangga. Itu tidak relevan, tapi karena dia (kasus) sensasional, dia mendatangkan rating, pembaca, penonton, ini yang jadi problem. Juga hal lain, yang ketiga, tidak memberitakan hal-hal yang sifatnya spekulatif. Misalnya media mengundang narasumber, tapi narasumbernya bukan narasumber fakta, artinya bukan narasumber yang terlibat langsung dengan kasus. Jadi yang beropini yang melempar teori-teori konspirasi.

Kalau dari kasus Jessica banyak media yang mengundang pakar-pakar yang tidak jelas. Pakar membaca mimik wajah. Dia membentuk opini publik dan itu merugikan. Iya kalau itu akurat, kalau tidak bagaimana? Tanggung jawab media juga yang mengundang pakar tersebut.

Apakah hanya dalam persidangan publik dan pers bisa menilai trial by the press atau dari tingkat penyidikan pun terjadi penghakiman?

Tidak hanya dalam konteks persidangan, tapi banyak hal. Bahkan tidak kasus-kasus hukum, tapi berlaku untuk banyak hal. Memang dalam banyak hal trial by the press itu dipakai untuk kasus-kasus yang masuk ke ruang sidang, namun sebenarnya tidak. Apa yang saya sampaikan tadi itu tidak spesifik untuk penyidikan, tapi banyak isu.

Bila aparat penegak hukum tertekan karena tuntutan publik, akibat pemberitaan. Apakah itu juga bisa mempengaruhi independensi penegak hukum?

Saya tidak tahu apakah di Indonesia ada larangan untuk menyiarkan persidangan secara langsung. Sejauh yang saya tahu itu tidak ada. Tapi di beberapa negara lain, untuk memastikan netralitas semua yang terlibat di ruang sidang itu, dia (pers) tidak hanya menyiarkan, tapi juga tidak boleh memberitakan persidangan kasus-kasus yang sensitif, seperti isu terorisme atau seksual.

Di Inggris, saya kira salah satu yang hukum medianya itu termasuk cukup ketat. Kalau Anda tahun 2000-an awal ada kasus kekerasan seksual yang dilakukan. Ada embargo yang membuat media-media di Inggris, itu tidak bisa menyiarkan proses persidangan. Media atau wartawan itu boleh ke ruang sidang, tapi dia tidak boleh mempublikasikan selama belum ada vonis. Publikasi laporan-laporan itu baru diperbolehkan setelah vonis. Itu konstruksi sistem hukum media di Inggris. Jadi, dia bisa memastikan agar media itu tidak memengaruhi hakim.

Kalau mau dijadikan pelajaran, Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang cukup ketat aturan pemberitaan persidangan. Tapi pertanyaannya, apakah sistem hukum sama? Kalau tidak, saya ragu jika hakim bisa benar-benar kebal dari pemberitaan media yang sangat tendensius.

Pemberitaan seperti apa yang berorientasi kemaslahatan penegakan hukum dapat dipahami bukan sebagai pelanggaran prinsip jurnalistik khususnya penghakiman media?

Mencari fakta, membantu proses pencarian fakta dalam persidangan. Jelas media tetap bisa berpatokan pada aturan dan kerangka regulasi yang mengatur bagaimana pemberitaan. Kalau aturan itu dilanggar, berarti dia hanya ingin "menjual" sebuah kasus. Kemudian beritakan isu-isu yang relevan dengan kasusnya, jangan trivial, tidak ada hubungan dengan kasus tapi diberitakan malah muncul adalah sensasional, dramatisasi. Itu tak relevan tapi berpengaruh kepada kasus.

Trial by the press terjadi karena mengangkat hal-hal sensasional atau dramatisasi yang tidak berhubungan langsung dengan kasus.

Bagaimana caranya agar publik juga paham soal penghakiman media? Apakah perlu ada imbauan dari pemerintah atau upaya mandiri dari ruang redaksi?

Kita tidak bisa mengatur respons publik. Pertanyaannya, sejauh apa media bisa memastikan bahwa pemberitaannya bisa diverifikasi, relevan dengan kasus, tidak sensasional, tidak menyampaikan jurnalisme opini yang hanya melemparkan opini dari pakar yang saling bertolak belakang, tapi juga kasih perspektif, analisis, dan konteks.

Apakah perlu ada regulasi lain soal penghakiman media atau perlu revisi undang-undang?

Kita tidak membutuhkan regulasi apalagi secara spesifik membahas trial by the press. Kita butuh media yang paham, tidak memberitakan sebelum ada putusan pengadilan. Juta butuh regulator yang tegas, kalau ada media yang bersalah, entah mekanismenya ada sanksi, maka ada sanksi. Tak butuh regulasi baru, tapi butuh ketegasan.

Baca juga artikel terkait TRIAL BY MEDIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri