Menuju konten utama

Fatwa MUI Soal Hukum Memakai Masker saat Ihram Haji dan Umrah

Bagaimana fatwa tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram?

Fatwa MUI Soal Hukum Memakai Masker saat Ihram Haji dan Umrah
Umat muslim memadati area sekitar Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi, Kamis (27/2/2020). ANTARA FOTO/Arief Chandra/pras.

tirto.id - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pemakaian masker saat haji dan umrah diatur saat Musyawarah Nasional (Munas) X yang digelar sejak 25 hingga 26 November 2020. Dalam Munas tersebut, MUI mengeluarkan 5 fatwa.

"Pertama, fatwa tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis malam.

Dalam fatwa tersebut terdapat empat ketentuan hukum yaitu:

1. Memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram, karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram). Sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

2. Dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

3. Dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagaimana pada ketentuan kedua, terdapat perbedaan pendapat yakni satu wajib membayar fidyah dan kedua tidak wajib membayar fidyah.

4. Keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) sebagaimana dimaksud pada ketentuan kedua antara lain adanya penularan penyakit yang berbahaya, cuaca ekstrem atau buruk, ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

Selanjutnya, fatwa kedua yakni tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan yang memiliki tiga ketentuan hukum.​​​​

"Pertama, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup," katanya.

Kedua, lanjut dia, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan hukumnya boleh dengan beberapa syarat yakni menggunakan akad syariah, tidak dilakukan di lembaga keuangan konvensional dan nasabah mampu melunasi dengan dibuktikan kepemilikan aset yang cukup.

"Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ketentuan satu dan dua adalah haram," katanya.

Fatwa selanjutnya tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu. Dalam fatwa itu juga terdapat beberapa ketentuan hukum.

1. Ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang Muslim yang sudah istitha’ah namun demikian disunahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.

2. Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji atau qadla’ atas haji yang batal.

3. Mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin kedua hukumnya wajib.

4. Menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin kedua hukumnya haram.

5. Orang yang sudah istitha’ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.

6. Orang yang sudah istitha’ah dan telah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib diibadah hajikan.

Ia menambahkan dua fatwa lain yang dikeluarkan MUI yakni tentang pendaftaran haji usia dini dan fatwa penggunaan human diploid cell untuk bahan produksi obat dan vaksin.

____________________

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama Tirto.id dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Baca juga artikel terkait KAMPANYE COVID-19

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Agung DH