Menuju konten utama
2 Juli 1961

Ernest Hemingway: Bengawan yang Menciptakan Banyak Sungai Lain

New York Times pernah menyatakan bahwa novel pertama Hemingway, The Sun Also Rises, telah mempermalukan karya-karya lain dalam bahasa Inggris.

Ernest Hemmingway. tirto.id/Nauval

tirto.id - Pria itu terjaga menjelang pukul 7 pagi. Ia mengenakan jubah merah yang biasa disebutnya “jubah kaisar”, lalu mengamati istrinya, Mary, yang pulas dalam lindungan selimut. Pria itu sadar penglihatannya benar-benar telah memburuk dan pikirannya, berkat demensia dan terapi setrum, tidak lagi dapat diandalkan, tapi pagi itu ia tahu ia mencintai istrinya. Ia ingat bagaimana mereka berjumpa dan saling jatuh cinta dan meninggalkan pasangan masing-masing untuk bersama.

Diiringi bunyi napasnya sendiri yang berat tetapi lembut, pria itu berpaling. Ia menuruni anak-anak tangga, mengambil shotgun 12 gauge laras ganda yang kerap ia pakai berburu merpati, lalu keluar ke beranda. Saat itu awal Juli dan langit pias dan angin hanya lewat sesekali. Pria itu mencium bau rumput dan logam bergemuk. Chamber diisi dua butir peluru. Ujung laras ditempelkan pada kening. Pelatuk didekatkan ke ibu jari.

“Apa yang diinginkan orang?” tanya pria itu kepada sahabat yang kelak menuliskan riwayat hidupnya, A.E. Hotchner, beberapa pekan sebelum pagi itu. “Kesehatan, pekerjaan yang lancar, keriaan bersama kawan-kawan, kenikmatan di ranjang. Dan aku tidak lagi punya semua itu, kau tahu. Tidak satu pun.”

Ia yang senang menutup surat-surat pribadinya dengan frase il faut d'abord durer atau “di atas segalanya, orang mesti bertahan” itu memutuskan untuk berhenti menjelang usia 62. Namun, tidak seperti Sayid Hamid Benengeli dalam sebuah sajak Goenawan Mohamad yang “membuat tanda terakhir dengan dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti melankoli,” Ernest Hemingway memilih berhenti diiringi dentam. Pada 2 Juli 1961, tepat hari ini 59 tahun lalu, di dinding depan rumahnya, ia membuat tanda terakhir dengan darah dan otak dan serpihan batok kepala.

Hemingway menerbitkan tujuh novel, enam kumpulan cerita pendek, dan dua karya nonfiksi semasa hidupnya. Naskah-naskahnya yang lain, termasuk memoar tentang masa mudanya di Paris, A Moveable Feast, terbit di kemudian hari secara anumerta.

Kisah hidup Hemingway, mulai dari masa kanak-kanak dalam keluarga disfungsional (dengan ayah yang kasar dan ibu yang senang mendandani dia seperti anak perempuan), rupa-rupa petualangan, hingga maut yang ia renggut dengan gaya, adalah bahan yang dibicarakan orang sampai kini. Namun, peninggalan terpenting pria yang selamat dari dua perang dunia dan dua kecelakaan pesawat dan tiga perceraian itu tentu bukan riwayat hidupnya. “Kau tahu, Bo, kau bukan tokoh dalam tragedi. Begitu juga aku. Kita adalah penulis dan urusan kita adalah menulis,” ujar Hemingway dalam suratnya untuk F. Scott Fitzgerald.

Pada Oktober 1926, New York Times menyebut novel pertama Hemingway, The Sun Also Rises, telah “mempermalukan karya-karya lain dalam bahasa Inggris.” Teknik Hemingway yang diterangkan ulasan itu sebagai “prosa naratif yang ramping dan keras dan atletis,” plus caranya menciptakan karakter dan lain-lain, adalah pal besar dalam sejarah seni penulisan. Ia adalah bengawan yang darinya banyak sungai lain tercipta.

J.D. Salinger, penulis novel The Catcher in the Rye, menyebut diri sebagai Ketua Kelab Penggemar Hemingway tingkat Nasional dalam sebuah surat. Gabriel Garcia Marquez pernah berseru penuh rasa hormat dan kekaguman (“Maestro!”) saat ia melihat Hemingway di seberang jalan. Dan semua orang tahu bahwa Hunter S. Thompson, pelopor jurnalisme Gonzo, mempelajari teknik menulis dan gaya hidup dan cara mati dari Hemingway.

Hemingway diam di kubur dan dunia banyak berubah. Manusia bersafari ke luar angkasa dan berburu lawan jenis di Tinder dan memancing keributan di Twitter. Laki-laki tidak lagi harus tangguh dan semua orang menjadi lebih cerewet. Perubahan nilai-nilai membuat orang mengkaji ulang teks-teks yang dianggap penting, termasuk karya-karya Hemingway.

Infografik Mozaik Ernest Hemmingway

Infografik Mozaik Karya Ernest ‘Papa’ Hemingway. tirto.id/Nauval

Frederick Busch menulis di New York Times edisi 12 Januari 1992: “Hari-hari ini, memuji karya Hemingway sudah tidak sesuai mode. Perempuan-perempuan dalam karyanya kerap kali cuma pantulan dari kebutuhan pria. Ada kelewat banyak bukti pandangan antisemit … dan ia kasar: ia mencintai adu banteng, ia menulis tentangnya dengan penuh semangat—menerangkan kejahatan terhadap banteng dan kuda dengan cara merayakan tarian matador bersama sang maut.”

Mode itu ialah standar politis baru dan Hemingway, yang serba keliru berdasarkan ukuran tersebut—ia dianggap misoginis dan rasis dan gemar mempromosikan kekerasan dan jahat—sudah ketinggalan zaman. Tapi, untunglah, tidak semua orang menilai relevansi penulis dengan cara demikian. Sebagian paham bahwasanya penulis tak harus jadi pewarta “kebenaran” dan sebuah karya bernilai terutama karena kualitas artistik, bukan pesan moral, yang dikandungnya.

Nezar Patria, jurnalis dan penyair, menyatakan The Old Man and the Sea sebagai karya Hemingway yang ia paling sukai. “Dibaca sampai hari ini pun masih berdentang,” katanya. “Dalam novel itu, kita bukan cuma menemukan kedalaman tema, tapi juga kematangan Hemingway membungkus apa yang hendak disampaikannya. Pengalaman si nelayan tua Santiago di tengah laut adalah juga pengalaman manusia pada umumnya. Bertarung meski tahu pada akhirnya akan sia-sia.”

The Old Man and the Sea terbit pertama kali di Indonesia pada tahun 1973 dengan judul Lelaki Tua dan Laut. Penerjemahnya ialah Sapardi Djoko Damono, penyair sekaligus akademisi sastra terkemuka.

Menurut Nezar, penulis Indonesia yang kelihatan terpengaruh Hemingway adalah Mochtar Lubis, terutama dalam novelnya yang berjudul Harimau! Harimau! “Saya melihat dia menggunakan metafora hubungan harimau dan manusia untuk menggambarkan watak manusia yang tak kalah buas dari harimau buruan mereka,” ujar Nezar. Setelah jeda sebentar, ia melanjutkan: “Dari generasi yang lebih baru, saya kurang tahu. Barangkali A.S. Laksana.”

Pada waktu dan tempat yang berbeda, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa penulis-penulis fiksi terbaik Indonesia saat ini, antara lain Linda Christanty dan A.S. Laksana, banyak belajar dari Hemingway. “Perhatikan baik-baik, akan kelihatan,” katanya. Pemilik nama kedua terakhir, yang saat itu duduk berhadapan dengan Sapardi, menimpali dengan komentar ringkas, terang, dan bertenaga: “Tentu ja!”

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 25 Juli 2016 dengan judul "Retrospeksi 55 Tahun Kematian Ernest Hemingway". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SASTRA AMERIKA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan