Menuju konten utama

Cara Mengazani Bayi Baru Lahir dan Hukumnya Menurut Islam

Cara mengazani bayi baru Lahir dan hukumnya menurut Islam: dari Sunnah, mubah, dan makruh.

Cara Mengazani Bayi Baru Lahir dan Hukumnya Menurut Islam
Ilustrasi ayah mengazani bayi baru lahir. foto/istockphoto

tirto.id - Ketika bayi lahir ke dunia dan tangisannya terdengar, umat muslim dianjurkan untuk mengazani bayinya. Azan itu biasanya dikumandangkan oleh sang ayah.

Ayah bayi akan mengucapkan kalimat azan di telinga sebelah kanan, dan kalimat iqamat pada telinga sebelah kiri.

Anjuran untuk mengazani bayi baru lahir salah satunya terdapat pada hadis berikut ini:

رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ

Artinya “Abu Rafi meriwayatkan: Aku melihat Rasulullah SAW mengazani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah,” (HR. Tirmidzi)

Dalam keterangan yang terdapat dalam Majmu’ fatawi wa Rasail, diterangkan bahwa:

“Yang pertama mengumandangkan azan di telinga kanan anak yang baru lahir, lalu membacakan iqamah di telinga kiri.

Perbuatan ini pun ada maksudnya, yakni untuk mengusir gangguan setan atau jin dari anak yang baru lahir tersebut. Karena setan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar azan.

Hukum Mengazani Bayi Baru Lahir

Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama mazhab soal hukum mengazani telinga bayi?

Dikutip dari laman NU Online, para ulama bersepakat bahwa mengumandangkan azan sebelum melaksanakan salat itu disyariatkan.

Hanya saja, mereka berbeda pendapat jika adzan tersebut ditujukan untuk selain salat, seperti azan untuk bayi yang baru saja dilahirkan.

1. Ulama mazhab Hanbali menegaskan, mengazani bayi hukumnya sunnah.

Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:

مَطْلَبٌ: فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُنْدَبُ لَهَا الْأَذَانُ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، فَيُنْدَبُ لِلْمَوْلُوْدِ.

“Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan) shalat, maka disunnahkan mengadzani telinga bayi” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Ala Ad-Durril Mukhtar, juz 1, h. 415).

Sementara Imam Nawawi, sebagai salah satu icon ulama mazhab Syafi’i, menuliskan masalah ini di dalam kitab fikihnya yang fenomenal, Al-Majmu’:

السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَيَكُوْنَ الأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ. قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَيُقِيْمَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى.

“Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok sahabat kita berkata: Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8, h. 442).

2. Mengadzani bayi setelah dilahirkan hukumnya mubah (boleh).

Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan:

قُلْتُ) وَقَدْ جَرَى عَمَلُ النَّاسِ بِذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِالْعَمَلِ بِهِ)

“Saya berkata: Dan orang-orang telah terbiasa melakukan hal itu (mengadzani dan mengiqamati bayi), maka tidak apa-apa dilaksanakan” (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, h. 321).

3. Hukum mengadzani bayi setelah dilahirkan adalah makruh.

Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menulis:

قَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي زَيْدٍ فِي كِتَابِ الْجَامِعِ مِنْ مُخْتَصَرِ الْمُدَوَّنَةِ: وَكَرِهَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الصَّبِيِّ الْمَوْلُودِ

“Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-Jami’ min Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik menghukumi makruh dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan” (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, h. 321).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengazani bayi. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, dan ulama mazhab Syaf’i menghukuminya sunnah.

Sebagian ulama mazhab Maliki menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menganggapnya makruh.

Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyunahkan azan pada bayi yang baru dilahirkan merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh beberapa hadis, salah satunya HR. Tirmidzi seperti yang disebutkan di atas.

Cara Mengazani Bayi

Selain hadis di atas, pendapat ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Husein bin Ali:

عَنْ حُسَيْنٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

“Dari Husein, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang bayi, lalu dia mengazani telinganya sebelah kanan, dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, maka ia tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan (jin pengganggu anak kecil)” (HR. Abu Ya’la Al-Mushili).

Baca juga artikel terkait BAYI atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Fitra Firdaus