Menuju konten utama
Pahlawan Revolusi

Biografi Singkat Kolonel Sugiyono, Korban G30S di Yogyakarta

Biografi Kolonel Anumerta Sugiyono Mangunwiyoto, pahlawan revolusi di Yogyakarta salah satu korban sejarah G30S 1965 yang diculik di Yogyakarta.

Biografi Singkat Kolonel Sugiyono, Korban G30S di Yogyakarta
Kolonel Sugiyono. FOTO/Istimewa.

tirto.id - Gerakan 30 September pada tahun 1965 tidak hanya menelan korban 7 perwira Angkatan Darat di Jakarta. Dampak lanjutan dari peristiwa ini juga terjadi di Yogyakarta.

Aksi sekelompok tentara pendukung Gerakan 30 September (G30S 1965) di Yogyakarta menyasar 2 perwira AD pimpinan Korem 072/Pamungkas yakni Kolonel Katamso (Brigjen Anumerta Katamso) dan Letkol Sugiyono (Kolonel Anumerta Sugiyono).

Dua nama di atas merupakan pahlawan revolusi di Yogyakarta. Untuk Letkol Sugiyono, di bawah ini akan dibahas singkat tentang biografi Kolonel Anumerta Sugiyono Mangunwiyoto dalam sejarah G30 S 1965.

Hingga awal Oktober 1965, Kolonel Katamso menempati posisi Komandan Korem 072/Pamungkas. Letkol Sugiyono merupakan Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, wakil sang komandan.

Para pendukung Gerakan 30 September menculik serta menahan keduanya pada 1 Oktober 1965. Seturut mayoritas sumber, Katamso dan Sugiyono sempat ditahan di Markas Komando Batalyon L Kentungan, Yogyakarta, sebelum dipungkasi nyawanya pada 2 Oktober 1965.

Jasad Katamso dan Sugiyono baru ditemukan tanggal 21 Oktober 1965. Sehari kemudian, jenazah mereka dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI yang terbit pada bulan Oktober 1965, kenaikan pangkat 1 tingkat dan gelar pahlawan revolusi diberikan kepada Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono.

Biografi Singkat Kolonel Sugiyono

Kolonel Anumerta Sugiyono Mangunwiyoto lahir di kampung Gedaren, Desa Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul pada 12 Agustus 1926. Usai tamat dari sekolah menengah pertama, Sugiyono menempuh pendidikan Sekolah Guru di Wonosari.

Namun, mengutip catatan Kuncoro Hadi dan Sustianingsih dalam Ensiklopedia Pahlawan Nasional (2015:143), anak ke-11 dari 14 bersaudara itu belum sempat mengajar sebagai guru karena bala tentara Jepang datang. Tertarik masuk militer, Sugiyono lantas mengikuti pendidikan tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Lulus dari PETA, Sugiyono mendapatkan pangkat Komandan Peleton (Budancho) dan bertugas di Wonosari. Sama seperti mayoritas anggota PETA lainnya, Sugiyono pun bergabung dengan Badan Keamaan Rakyat (BKR) pada 1945, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Dia menjabat komandan seksi BKR di Yogyakarta sejak 31 Agustus 1945. Dalam Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI (1979) terbitan Pusat Sejarah ABRI, disebutkan bahwa Sugiyono kemudian bertugas menjadi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta. Dia menempati posisi tersebut sejak 5 Oktober 1945, dengan pangkat Letnan Dua.

Hingga BKR beralih nama jadi TKR, TRI, dan lantas TNI, Sugiyono masih berdinas di Yogya. Mulai tahun 1947, ia menjadi ajudan Komandan Brigade 10 (Wehrkreis III) Letnan Kolonel Soeharto. Dia pun turut serta dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Setelah revolusi kemerdekaan, dia pernah dikirim bersama pasukan Soeharto ke Sulawesi Selatan guna menumpas pemberontakan Andi Aziz. Sugiyono lantas menduduki posisi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo. Pada 1955, pangkatnya naik menjadi kapten.

Menurut Baskara T. Wardaya dalam Suara Di Balik Prahara (2011), Sugiyono sempat menempati posisi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders di Srondol, Semarang sebelum digantikan oleh Untung, sosok yang kelak menjadi pemimpin Gerakan 30 September 1965.

Sumber lain juga menyebut, setelah menjabat wakil komandan, posisinya naik ke level Komandan Batalyon 441/Banteng Raiders III dengan pangkat Mayor. Selepas itu, Sugiyono kemudian ditunjuk jadi Komandan Komando Distrik Militer 0718 di Pati, Jawa Tengah.

Sejak awal tahun 1963, pangkat Sugiyono naik menjadi letnan kolonel. Baru pada 1965, Sugiyono menduduki posisi sebagai Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072/Pamungkas, jabatan yang ia pegang sampai akhir hidupnya.

Selama berdinas di Yogya pada 1965, menukil catatan Kuncoro Hadi dan Sustianingsih (2015:144), Sugiyono aktif memberikan latihan militer untuk resimen mahasiswa. Anggota resimen mahasiswa binaannya kebanyakan dari kalangan anggota GMNI dan PMKRI.

Akhir Hidup Kolonel Sugiyono

Beberapa jam sebelum penculikan Katamso dan Sugiyono, kebingungan melanda banyak tentara di sejumlah daerah, termasuk Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Pada 1 Oktober 1965 pagi, lewat siaran RRI, Letkol Untung mengumumkan Gerakan 30 September dan mendeklarasikan Dewan Revolusi.

Sekitar satu jam kemudian, tepatnya pukul 08.00 WIB, RRI Semarang menyiarkan bahwa Dewan Revolusi di Jawa Tengah sudah terbentuk, dipimpin oleh Kolonel Sahirman. Upaya pengambilalihan pimpinan militer di Yogyakarta lalu dirancang oleh sejumlah tentara bawahan Kolonel Katamso di Korem 072/Pamungkas.

Gerakan tersebut berada di bawah arahan Kepala Seksi Korem 072/Pamungkas Mayor Mulyono dan dibantu oleh Mayor Kartawi, Mayor Daenuri, Sertu Aliptoyo, serta lain sebagainya. Kelompok inilah yang menculik Katamso dan Sugiyono.

Letkol Sugiyono dan Kolonel Katamso semula mengikuti briefing dengan Pangdam VII/Diponegoro, Brigjen Suryo Sumpeno di Magelang. Keduanya lantas meminta izin balik ke Yogyakarta dan tidak ikut bersama Brigjen Suryo ke Semarang.

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massa (2008) mencatat, Mayor Muljono memimpin kelompok pasukan yang menggeruduk rumah Kolonel Katamso, komandan mereka, pada 1 Oktober 1965. Di tempat itu pula, mereka mendapati Letnan Kolonel Sugiyono.

Katamso dan Sugiyono yang kala itu kebetulan berada di rumah sang komandan, lantas dibawa ke Markas Batalyon L Kentungan. Di sana, gerombolan yang dipimpin oleh Mayor Muljono menahan 2 perwira tersebut sebelum membunuh keduanya.

Cerita versi lain menyebutkan Katamso dan Sugiyono diculik dari tempat berbeda. Sugiyono belum lama pulang dari luar kota ketika diciduk saat hendak masuk Markas Korem Yogyakarta, tanggal 1 Oktober 1965.

Namun, versi ini memberi keterangan serupa dengan sumber lain, bahwa Katamso dan Sugiyono sama-sama ditahan di Markas Batalyon Kentungan.

Di Kentungan, Katamso dan Sugiyono dibunuh dengan hantaman kunci mortir dari belakang, pada 2 Oktober 1965. Jasad keduanya lantas dikubur di tempat yang sama dan baru ditemukan pada 21 Oktober 1965, atau sekitar 3 pekan kemudian.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN REVOLUSI atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal Iskandar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Muhammad Iqbal Iskandar
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Dhita Koesno