Menuju konten utama

Bermain-main dengan Maut

Para pecandu adrenalin menempuh jalan yang berbahaya dalam menyalurkan hobinya. Dari terjun payung hingga panjat tebing, mereka menantang ketahanan fisik dan psikologis manusia kebanyakan, melawan takut, dan sesekali memecahkan rekor. Mereka serupa dengan pecandu narkotika: otaknya mesti selalu dibanjiri dopamin atau zat kimia yang terhubung dengan pemicu syaraf kesenangan di otak. Tanpa itu, bagi mereka hidup bukanlah hidup.

Bermain-main dengan Maut
Penerjun bebas Luke Aikins dalam aksinya terjun dari ketinggian 8.000 meter tanpa parasut di Lembah Simi, California, AS (30/7/2016). FOTO/Newatlas.com.

tirto.id - Minggu akhir Juli lalu Luke Aikins (42) melakukan aksi menantang maut. Luke terjun dari ketinggian 8.000 meter tanpa parasut! Ia diharuskan menjatuhkan diri dalam posisi telentang tepat di atas jaring pengaman seluas kurang lebih setengah lapangan sepak bola.

Sejak keluar dari pesawat, penerjun payung profesional asal Amerika Serikat itu dipandu tiga penerjuan profesional lain. Ketiganya bertugas memastikan Luke agar meluncur sesuai arah yang telah ditentukan, di Lembah Simi, California, AS.

Luke memulai aksinya dengan keluar dari pesawat. Di ketinggian 4.500 meter ia melepas tabung oksigen dan memberikannya kepada seorang penerjun. Saat pengawalan berakhir di ketinggian 1.209 meter, nasib Luke berada di tangannya sendiri: selamat sampai tujuan, atau tubuh menghantam tanah dengan kecepatan 193 km/jam dan tekanan sebesar 4G.

Sampai di ketinggian 150 meter sebagian penonton di area pendaratan menjerit ketakutan, sebagian lain menahan nafas. Saat jarak tubuh Luke dan tanah tinggal 100 meter, dengan sigap ia mengubah posisinya dari tengkurap menjadi telentang, dan “Duss..!!”

Luke mendarat mulus di jaring pengaman.

Istrinya, Monica, bergegas menghampiri Luke. Ia orang pertama yang memeluk Luke setelah lelaki tanpa rasa takut itu menjejakkan kaki di tanah. Rasa haru bercampur dengan kegembiraan meluap, tak hanya dari Luke dan istri, tetapi juga dari para penonton, awak media, dan organisasi penyelenggara aksi nekad tersebut, Screen Actors Guild (SAG). Semuanya bertepuk tangan untuk Luke.

Luke menolak permintaan teman-temannya di SAG yang meminta agar ia tetap mengenakan parasut. Ia tak ingin aksinya menjadi aksi biasa. Ia memilih untuk menantang adrenalinnya hingga puncak tertinggi, mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan aksi yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Sesuatu yang tak mampu dilakukan oleh orang normal pada umumnya. Sesuai arahan stasiun televisi FOX yang menyiarkan aksinya itu: dilarang meniru aksi ini tanpa keahlian yang memadai.

Luke memang bukan penerjung amatiran. Ia telah mencoba aksi terjun payung tandem sejak usia 12 tahun. Dedikasinya selama bertahun-bertahun di dunia yang ia geluti itu membuat Luke dipercaya sebagai pelatih terjun payung untuk pasukan elite Navy Seals dan kesatuan elite lain di angkatan bersenjata AS. Sebelum melakukan aksi terjun tanpa parasut, ia telah melakukan persiapan dan latihan intensif selama dua tahun.

Ia sendiri mengakui ide tersebut terlalu ekstrem untuk dirinya. Maka, saat rekor penerjung payung pertama tanpa parasut telah digenggam dan muncul perasaan senang yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata, Aikins berlaku layaknya orang normal lain: mengucap terima kasih pada istri, anak-anaknya, serta semua pihak yang telah berpartisipasi.

“Aku hampir melayang, ini sangat luar biasa,” katanya kepada The New York Times.

Sebelumnya, Luke pernah terlibat dalam sebuah proyek ambisisus lain yang dilaksanakan oleh seorang penerjung pemberani lain, Felix Baumgartner (47). Sang penerjun asal Autria itu tertantang untuk melaksanakan misi bertajuk Red Bull Stratos. Ia diterbangkan menggunakan balon helium hingga ketinggian 39 kilometer atau mencapai stratosfer di atas langit New Mexico, AS sebelum terjun bebas ke bumi.

Red Bull Stratos terlaksana pada tanggal 14 Oktober 2012. Saat sudah di ketinggian yang direncanakan, momen Felix membuka pintu kapsul menyulut perasaan tegang bercampur was-was bagi para penonton, terutama para petugas di ruang kontrol. Mereka terus berkomunikasi dengan Felix, termasuk memandunya hingga benar-benar siap untuk terjun.

Saat berdiri di ujung pintu kapsul, Felix memandang bumi yang terlihat bulat di namun sekaligus memancarkan keindahan yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Ia sempat melakukan hormat ala militer, lalu membiarkan tubuhnya jatuh mengikuti gaya gravitasi. Kekhawatiran akan terjadinya putaran secara terus-menerus dan dapat menyebabkan Felix pingsan hanya terjadi sebentar. Ia mampu mengendalikan tubuhnya sejak km ke-18. Setelah parasut terbuka di ketinggian 2,5 km, akhirnya ia kembali menapakkan kakinya di bumi dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.

Felix sukses memecahkan beberapa rekor. Pertama, ia adalah penerjun pertama yang berhasil memecahkan kecepatan suara dengan kecepatan terjun mencapai 1.357,64 km per jam dan menjadi manusia pertama yang mampu meraihnya tanpa tenaga kendaraan bermotor. Kedua, ia menjadi penerjun balon berawak tertinggi. Ketiga, ia sukses menjadi penerjun dengan titik tolak tertinggi, dan keempat ia meraih rekor terjun terlama.

Felix dan Luke adalah dua dari sedikit orang di dunia yang tertarik untuk melakukan sesuatu yang orang normal lain tak lakukan, meskipun nyawa adalah taruhannya. Rekor adalah sebuah pengakuan sekaligus penghargaan atas proses berat yang mesti ditempuh. Syaratnya: adrenalin yang tinggi, yang bagi para penantang maut menjadikan sebuah pengalaman menjadi berlipat-lipat lebih menyenangkan. Layaknya candu. Hingga sebagai hobi, keduanya cocok dikategorikan sebagai adrenaline junkie.

Adrenalin adalah Candu

Marvin Zuckerman dalam bukunya “Sensation Seeking and Risky Behavior” mendefinisikan adrenaline junkie (pecandu adrenalin) sebagai perilaku khas para pencari sensasi pengalaman baru dan intens tanpa memperhatikan risiko untuk fisik, sosial, hukum, maupun finansial. Pencarian sensasi sesungguhnya perilaku umum, tetapi yang menarik adalah pernyataan Marvin bahwa “perilaku tersebut bisa dikarenakan faktor keturunan”.

Kegiatan para adrenaline junkie tak pernah lepas dari unsur bahaya. Bagi yang menempatkannnya pada aktivitas yang legal, adrenaline junkie akan mendaftarkan diri menjadi polisi, pemadam kebakaran, atau anggota militer. Film The Hurt Locker (2009) yang bercerita tentang seorang penjinak bom di Irak dan sehari-hari berhadapan dengan kondisi yang super menegangkan—pun pertaruhan antara hidup dan mati—adalah contoh yang baik.

Namun banyak adrenaline junkie yang tak memilih profesi-profesi tersebut. Mereka justru memilih olahraga ekstrem seperti panjat tebing, terjun payung, hingga mendaki gunung atau berpetualang ke tempat-tempat menantang lain. Mereka menuju aktivitas maupun tempat yang tak hanya memancing adrenalin meninggi, namun juga menguji ketahanan fisik dan mental. Aktivitas yang berbeda dengan manusia normal lain, pun demi prestise pemecahan rekor.

Contoh lain dari seorang adrenaline junkie adalah Richard Parks (38). Ia adalah petualang dan tukang naik gunung dari Wales, Inggris. Mantan pemain rugby timnas Wales ini memang memiliki hobi menaklukkan puncak-puncak tertinggi di dunia. Ketujuh puncak dunia telah sukses ia gagahi. Namun, sebagai seorang adrenaline junkie, ada satu obsesi gila yang ingin ia wujudkan: menapak puncak Everest tanpa dibantu tabung oksigen.

Sejak merencanakan aksinya di awal Maret, ia telah mendapat banyak masukan, kebanyakan tentang risiko terburuk jika nanti ia gagal bertahan kala mendaki puncak tertinggi di dunia. Namun, lagi-lagi menunjukkan karakter sebagai adrenaline junkie, ia tak bergeming. Bersama Project Everest Cynllun yang telah ia jalani sejak 2011, Richard memantapkan diri untuk menyelesaikan tantangan itu dengan mantap.

Project Everest Cynllun digagas oleh beberapa peneliti asal Inggris dengan tujuan untuk mengungkap ketahanan manusia saat berpetualang ke daerah-daerah yang ekstrem. Richard adalah salah satu pesertanya. Dengan menantang otak manusia di daerah yang rendah oksigen, proyek ini diharapkan mampu mengeksplorasi mekanisme yang mendasari penurunan kemampuan kognitif manusia. Atau dengan kata lain, hubungan antara kadar oksigen darah yang rendah di otak dengan kondisi kognisi manusia.

Pertengahan Mei 2016 Richard menjalankan tantangan tersebut. Sayang, baru di ketinggian 6.400 meter di atas permukaan laut, ia harus berhenti. Tim yang mendampinginya memaksa Richard untuk melaksanakan prosedur pengambilan sampel darah. Setelah dilakukan tes, ternyata darahnya telah mengental. Jika Richard meneruskan perjalanannya ke puncak, peluangnya terkena stroke atau serangan jantung sangat amat tinggi.

“Aku bisa saja mati. Itu adalah tes yang tak terjadwal dan jika tak dilakukan harusnya sekarang aku sedang berdiri di puncak atau malah sudah mati. Level ini sangat berbahaya, namun aku memutuskan untuk berhenti karena para dokter menyebut kondisiku seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja,” kata Richard kepada BBC.

Total ketinggian yang harus dicapai Richard adalah 8.848 di atas permukaan laut. Sesungguhnya jaraknya tinggal 2 km saja dari puncak. Ekspresi kegagalan tak bisa ia sembunyikan. Adrenalinnya jelas segera menurun drastis, dan upaya pemecahan rekor dunia baru telah pupus. Rekor pribadinya mentok di angka 6.400 meter.

Namun, Richard bukanlah tipe adrenaline junkie yang bodoh. Tentu ia banyak belajar dari adrenaline junkie muda lainnya yang hanya memikirkan tentang bagaimana adrenalin dipacu meski dengan cara sembarangan (contoh adegan sembrono dapat dilihat di kanal Youtube dengan kata kunci “fail compilation”). Richard, Felix, dan Luke menyalurkan hasratnya lewat proses panjang, terperinci, dan bekerja sama dengan orang-orang berkompeten di bidangnya.

Meski gagal, Richard menyatakan bahwa Project Everest Cynllun tetap bisa memanfaatkan darah dan kondisi anomalinya sebagai bahan penelitian lanjutan. “Saya sadar, momen usai pendakian tersebut ternyata mengubah pandangan saya tentang kesuksesan yang sebenarnya tak sehitam-putih layaknya bermain rugby. Saya memang ambisius, namun proses yang harus dijalani ternyata juga sulit,” imbuhnya.

Peneliti mengibaratkan adrenaline junkie seperti pecandu obat-obatan terlarang. Dalam taraf tertentu memang mengasyikkan, tetapi jika tak diperlakukan dengan bijaksana, aktivitas pemicu adrenalin itu akan berdampak buruk.

Para ilmuwan telah menemukan sejumlah kesamaan antara otak pengguna narkotika, yaitu pada kadar produksi dopamin alias zat kimia yang terhubung dengan pemicu syaraf kesenangan. Segala pengalaman baru dan yang menantang akan meningkatkan jumlah dopamin di otak, dan jika tak dikendalikan akan berakibat buruk bagi si pemilik otak. Dua-duanya selalu berhadapan dengan resiko puncak: kematian.

Mengutip pepatah lama: segala sesuatu yang berlebihan memang tak baik. Begitu pun dengan adrenalin.

Baca juga artikel terkait ADRENALINE JUNKIE atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hobi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti