Menuju konten utama

Bakti Lingkungan Mesti Lebih dari Sekadar CSR

Ketika dikelola dengan baik, hasil penambangan mendukung pembangunan sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. 

Bakti Lingkungan Mesti Lebih dari Sekadar CSR
Ilustrasi Pemulihan Lahan Pascatambang. FOTO/iStockphotos

tirto.id - Here, are the stiffening hills, here, the rich cargo

Congealed in the dark arteries,

Old veins

That hold Glamorgan's blood.

The midnight miner in the secret seams,

Limb, life, and bread.

(Rhondda Valley, Mervyn Peake)

Hal lumrah di dalam aktivitas penambangan: bukit-bukit dibikin kering, perut bumi dikuras. Perdebatan tentang aktivitas pertambangan tak habis-habis: jelas punya dampak buruk terhadap lingkungan, tapi juga punya peran menunjang berbagai infrastruktur kehidupan manusia modern. Dalam konteks semacam itu, bisnis pertambangan mengancam sekaligus menggerakkan kehidupan.

“Pertambangan adalah seni memanfaatkan cadangan mineral untuk keuntungan. Bila tidak menguntungkan, tambang hanya cocok untuk kuburan keledai,” kata T.A. Rickard, penulis buku History of American Mining.

Bahwa pertambangan masih dan akan terus eksis menunjukkan bahwa industri tersebut menguntungkan. Namun, tak bisa dimungkiri: setelah tak memberi keuntungan lagi, dalam beberapa kasus, sejumlah tambang memang lebih cocok jadi kuburan bagi impian-impian masyarakat sekitarnya. Di Indonesia, kita bisa berkaca pada penambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Pada 1867, Geolog Belanda Ir. W.H. De Greve menemukan batubara di Sungai Ombilin, Sumatera Barat. Tiga tahun kemudian, wacana membuka dan mengembangkan tambang batubara di Sawahlunto diwacanakan pemerintah kolonial. Portal resmi pemerintah daerah Sawahlunto menyebut usaha pertambangan di Sawahlunto mencapai puncak kejayaan pada 1920-1921. Kala itu, ribuan orang, baik kalangan pribumi, Belanda, maupun Indo, bekerja di sana.

Setelah penemuan mesin uap, kota yang pada 1 Desember 1888 dinyatakan sebagai bagian wilayah Afdeeling Tanah Datar tersebut punya peran sentral dalam memasok kebutuhan batubara di Eropa. Dan demi semua itu, jalur kereta api pertama di Sumatera dibuka, kuli-kuli—orang rantai—dibawa dari Jawa dan wilayah lainnya.

Cadangan batubara Sawahlunto—tersebar di daerah Perambahan, Sikalang, Sungai Durian, Sigaluik, Padang Sibusuk, Lurah Gadang, dan Tanjung Ampalu—diperkirakan mencapai 205 juta ton. Dalam kurun sekitar satu abad, batubara itu nyaris habis dan imbasnya dirasakan warga sekitar.

“Pada 2003, kalau siang hari kita bisa main badminton di Jalan Pasar Remaja karena sepinya. Pukul tujuh malam saja jalan-jalan di kota sudah sepi. Kalaupun punya uang, kita tak bisa beli apa-apa, karena tidak ada pedagang yang berjualan,“ kata Amran Nur, mantan Walikota Sawahlunto.

Setelah Indonesia merdeka, aktivitas penambangan di Sawahlunto dikelola BUMN PT Bukit Asam (PTBA). Saat perusahaan itu mengalami kerugian lantaran cadangan batubara Sawahlunto menipis, warga meringis. “Tambang batubara jadi jantung perekonomian di sini sejak zaman Belanda. Ketika PTBA tak ada—dan ribuan karyawannya di-PHK—kota kami hampir jadi kota mati,” kata Surya Wiguna, warga Sawahlunto, kepada Tirto.

Untuk mengelak dari senjakala, sejak 2001 pemda menjadikan Sawahlunto sebagai kawasan wisata.

Menjadikan pariwisata sebagai roda ekonomi baru bagi kawasan tambang (mining tourism) tidak hanya terjadi di Sawahlunto. Di Argentina, misalnya, tambang emas Buena Esperanza yang sudah tidak beroperasi (pertama kali dibuka pada 1792) dimanfaatkan untuk aktivitas wisata geologi. Sedangkan di Rumania, tambang garam Salina Tudra, yang konon sudah ada sejak 1271, dijadikan tujuan wisata pada 1992. Di tambang kuno itu, yang kemudian berevolusi menjadi museum tambang garam, wisawatan juga bisa merasakan paket wisata kesehatan halotherapy.

Bila dengan pengelolaan yang tepat industri pariwisata dianggap dapat menyelamatkan kawasan-kawasan tambang dari kesia-siaan—bertahun-tahun setelah eksplorasi tak dilakukan lagi—apa yang seharusnya dilakukan perusahaan tambang agar, selama dan sesudah aktivitas penambangan beroperasi, manusia dan lingkungannya baik-baik saja?

Infografik Advertorial Bakti Lingkungan Jangan Hanya CSR

Pengelolaan Bertanggung jawab

Dalam artikelnya di situs Mining Technology, Daniel Garunn menyebut industri pertambangan—yang kegiatannya meliputi eksplorasi, land clearing, development, eksploitasi, dan pascatambang—sebagai konsumen raksasa energi. Dan sekiranya kebutuhan akan penambangan meningkat di masa depan, risiko konsumsi energi yang lebih besar sudah pasti membayangi.

Meski demikian, sebagaimana dinyatakan Instituto Brasileiro De Mineracao (IBRAM) dalam Mining and Green Economy, pertambangan juga memberikan kontribusi sosio-ekonomi yang signifikan. Selain berpengaruh pada pertumbuhan PDB, pertambangan juga mendorong tumbuhnya investasi dalam infrastruktur dan logistik, pengembangan teknologi, serta peningkatan kualifikasi para profesional.

“Ketika dikelola dengan baik, hasil penambangan mendukung pembangunan sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. Dan bila dikelola secara bertanggungjawab, usaha pertambangan juga bisa mendorong konservasi lingkungan dan ekosistem, serta menjaganya saat masih beroperasi maupun sesudahnya.”

Terkait dua sisi dampak penambangan tersebut, jelas, upaya perusahaan untuk mendapatkan keuntungan tanpa menafikan kepentingan masyarakat dan lingkungan hanya dan hanya dapat dilakukan dengan mengelola kawasan tambang secara bertanggungjawab. Di Indonesia, upaya itu diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang menyebut kegiatan pertambangan harus berkelanjutan (sustainable) dan berwawasan lingkungan.

Di Muara Enim, Sumatera Selatan, PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) membuat Taman Hutan Rakyat (Tahura) Enim—seluas 5.394 hektare—dari lahan pascatambang. Hutan yang diklaim punya nilai ekonomis tersebut bisa dimanfaatkan untuk penelitian, perkemahan, dan pariwisata, dan karenanya dijadikan contoh penanganan lahan pascatambang.

“Bahkan di salah satu zona penelitian produktif, PTBA telah bekerjasama dengan Universitas Bengkulu dalam menjalankan penelitian dan melakukan monitoring secara berkala setiap 3 bulan sekali. Dalam hal pembibitan PTBA melibatkan kelompok masyarakat dan menerapkan pola pembibitan oleh masyarakat,” ujar pihak PTBA.

Di Bogor, PT Antam, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, mendirikan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati Gunung Salak Halimun (2010) dan Taman Buah Cikaret (2018). Dan sebelum mengakhiri aktivitas penambangan di Bintan, perusahaan BUMN itu membuat Monumen dan Relief Sejarah Pertambangan Bauksit Kijang.

Dari industri semen, Semen Tonasa di Sulawesi membuat kawasan pascatambang jadi lahan hijau Tonasa Park: lahan seluas 576 hektare yang dilengkapi lapangan golf dan pemancingan. Selain itu, salah satu bentuk CSR yang mereka keluarkan pada tahun 2012 disalurkan lewat program penyediaan air bersih untuk 9 desa/kelurahan.

Di Gresik, aktivitas penambangan sudah berhenti. Area pascatambang kapur pun kini berubah jadi area produktif Giri Wana Tirta—telaga yang dimanfaatkan masyarakat untuk perikanan dan pariwisata.

Di Tuban, tempat penambangan masih berlangsung, pihak Semen Gresik menetapkan dua area Green Belt. Green Belt pertama berada di perbatasan (bagian terluar) yang tidak akan ditambang, berfungsi sebagai penahan debu, contohnya taman wisata Arboretum Bukit Daun.

Area Green Belt kedua adalah lahan idle yang belum ditambang, yang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk lahan pertanian. Sedang di Sumatera Barat, terhitung sejak 1987, pihak Semen Padang telah mengucurkan dana sebesar 112 miliar rupiah untuk 6.466 pelaku UMKM, meliputi sektor peternakan, pertanian, usaha bangunan, konveksi, dan lain sebagainya. Selain itu pemanfaatan lahan pascatambang di Padang menjadi areal konservasi keanekaragaman hayati dan sarana olahraga golf.

Meski contoh-contoh di atas tampak sebagai CSR belaka, sehingga ia terkesan memenuhi kewajiban dan bukan semata kebaikan, berdasarkan ISO 26000 posisi CSR di tataran internasional sudah bergeser dari ajang ‘bagi-bagi rezeki’ menjadi bagian integral bisnis perusahaan yang berkelanjutan.

Bila perusahaan-perusahaan tambang sanggup memegang komitmen di atas, dengan tidak meremehkan sikap dan suara kritis, juga memperhatikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan selagi penambangan berlangsung, kehancuran dapat dijauhkan. Apabila masa depan lingkungan bergantung pada perusahaan tambang, di saat bersamaan publik juga punya tanggung jawab yang sama untuk mengawal semua janji dan komitmen mereka.

Baca juga artikel terkait LINGKUNGAN HIDUP atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Mild report
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dea Anugrah