Menuju konten utama

Apa Itu Stratifikasi Sosial: Definisi, Penyebab, Teori di Sosiologi

Stratifikasi sosial menjadi salah satu topik penting dalam kajian sosiologi. Ada banyak teori mengenai stratifikasi sosial dalam studi sosiologi.

Apa Itu Stratifikasi Sosial: Definisi, Penyebab, Teori di Sosiologi
Ilustrasi penelitian. FOTO/iStock Photo

tirto.id - Dalam hidup bermasyarakat selalu terlihat ada pengelompokan, yang secara disadari atau tidak, telah terbentuk sekian lama. Contoh, adanya kelompok orang kaya atau miskin, bisa terlihat dari tempat tinggal, kualitas kesehatan maupun pendidikan, hingga gaya hidupnya.

Rata-rata orang dengan ekonomi berkecukupan atau lebih tinggal di kawasan elite, memiliki rumah besar dan bagus, bahkan juga kendaraan mewah. Sementara, orang-orang perpenghasilan rendah harus berpikir panjang untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Perbedaan tingkat antara golongan satu dengan golongan yang lainya dalam masyarakat itu lalu memicu pembentukan stratifikasi sosial, demikian dikutip dari buku Sosiologi karya Indianto Muin, yang diterbitkan di Jakarta pada 2004.

Stratifikasi sosial adalah konsep yang termanifestasi dalam sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Stratifikasi sosial disebut juga sebagai konsep adanya pembedaan atau pengelompokan sosial (komunitas) secara bertingkat. Misalnya, strata tinggi, sedang, hingga rendah.

Pengelompokan golongan masyarakat bisa didasarkan pada simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai secara sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya.

Stratifikasi sosial di masyarakat bisa berdasarkan usia, kekuasaan, kekayaan, hingga kualitas pribadi, yang dapat memicu pelapisan golongan.

Dalam buku Stratifikasi dan Mobilitas Sosial (2016), Indera Ratna Irawati Pattinasarany menulis bahwa untuk memahami pengertian stratifikasi sosial secara mendalam perlu mengkaji teori-teori sosiologi yang mengkaji topik ini.

Dia membagi kelompok teori sosiologi yang membahas topik stratifikasi sosial menjadi dua, yakni teori klasik dan modern. Dalam teori sosiologi klasik, tiga tokoh penting yang melakukan kajian mendalam mengenai stratifikasi sosial adalah Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim.

Dalam teori Karl Marx, stratifikasi sosial terjadi karena kesenjangan dalam relasi kepemilikan alat produksi. Ketimpangan dalam kepemilikan alat produksi dalam suatu masyarakat itu mewujud pada kemunculan kelas pemilik modal dan pekerja. Maka, model stratifikasi sosial di teori Marx, bersifat unidimensional, alias ditentukan oleh satu faktor yakni ekonomi.

Sementara teori Max Weber mengaitkan stratifikasi sosial dengan dimensi lebih beragam. Selain terkait dengan ekonomi, stratifikasi sosial dalam teori Weber juga berkaitan dengan kelompok status atau kehormatan individu dan politik atau kekuasaan.

Berbeda dari dua tokoh sebelumnya, teori Emile Durkheim mengulas stratifikasi sosial dari sudut pandang atau perspektif fungsional. Teori fungsional melihat bagian-bagian di suatu masyarakat, bisa aktif sesuai funsinya. Maka itu, Durkheim memperhatikan tema solidaritas sosial. Dia lalu menyimpulkan solidaritas sosial bisa muncul dari pembagian kerja yang memunculkan ikatan moral.

Sementara dalam sejumlah teori sosiologi modern, ulasan tentang stratifikasi sosial dikemukakan beberapa tokoh, seperti Ralf Dahrendorf, Erik Olin Wright, Peter Blau, Pitirim Sorikin, Randall Collins, dan banyak pemikir penting lainnya.

Hingga kini, setidaknya ada tiga gugus perspektif dalam sosiologi yang mengkaji stratifikasi sosial, yakni fungsional, konflik, dan interaksionisme simbolik. Ketiganya memiliki perbedaan sudut pandang, cara berpikir, dan fokus perhatian.

Dampak Stratifikasi Sosial

Menurut Kamanto Sunarto dalam buku Pengantar Sosiologi, dampak yang ditimbulkan akibat ketidaksamaan dalam sistem sosial (stratifikasi sosial), yaitu terjadinya perbedaan gaya hidup karena simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat.

Sedangkan dalam pandangan Peter Berger di buku The Social Construction of Reality, orang senantiasa memperlihatkan kepada orang lain bahwa apa yang telah diraihnya dengan memakai berbagai simbol dapat menyimpulkan bahwa simbol status berfungsi untuk memberitahu status yang diduduki seseorang. Simbol status ini terwujud dalam cara menyapa, berbahasa, gaya bicara maupun komunikasi nonverbal seperti gerak tubuh, gaya pakaian, dan penggunaan aksesoris.

Selain itu, kesemua perbedaan pada stratifikasi sosial menjadikan struktur masyarakat menjadi majemuk. Suatu masyarakat yang majemuk umumnya memiliki kebudayaan yang bermacam-macam.

Baca juga artikel terkait SOSIOLOGI atau tulisan lainnya dari Desika Pemita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Desika Pemita
Penulis: Desika Pemita
Editor: Addi M Idhom