Menuju konten utama

Bulan Suro 30 Juli 2022: Apa Beda Malam 1 Suro & 1 Muharram

Bulan Suro 2022, apa perbedaan malam 1 Suro dan 1 Muharram yang diperingati bersamaan?

Bulan Suro 30 Juli 2022: Apa Beda Malam 1 Suro & 1 Muharram
Sejumlah warga menyiapkan sesaji untuk Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Bulan Suro ini dalam kalender hijriah disebut juga sebagai bulan Muharam. Malam tahun baru Hijriah 1 Muharam 1444 akan jatuh pada Sabtu, 30 Juli 2022. Dalam tradisi Islam, tanggal 1 Muharram diperingati karena adanya peristiwa bersejarah. Tanggal 1 Muharram merupakan awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad dari Makah ke Madinah.

Sementara itu, dalam tradisi Jawa, tanggal 1 Muharram disebut sebagai Malam 1 Suro. Jika dalam budaya Islam tanggal tersebut merupakan hari suci karena sebagai penanda resolusi kalender Islam, dalam tradisi Jawa justru dianggap sakral dan mistis.

Bulan Suro: Beda 1 Muharram dan 1 Suro

Secara umum, 1 Muharram dan Malam 1 Suro adalah sama. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam hal penyebutan dan tradisi yang mengiringinya. Jika 1 Muharram adalah penanda tahun baru hijriah, 1 Suro adalah tradisi serupa dalam budaya Jawa.

Sebagaimana dicatat Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), kata “Suro” sendiri berasal dari bahasa Arab “Asyura” yang artinya sepuluh. Yang dimaksud dengan Asyura adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharram.

Sementara dalam hal tradisi, jika dalam Islam malam 1 Muharram dimaknai dengan penuh kesucian, budaya Jawa justru sebaliknya. Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam sakral, penuh mistis. Sehingga dalam menyambutnya, berbagai upacara-upacara peringatan penuh klenik dilakukan.

Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam mistis tak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Muhammad Solikhin, misalnya, berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.

Ia menulis, keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, salah satunya peringatan Malam 1 Suro. Peringatan ini pada akhirnya terus diwariskan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Lebih lanjut, terkait mengapa Malam 1 Suro dimaknai secara mistis, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia Prapto Yuwono menjelaskan, hal ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629.

Kala itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.

Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

Kesakralan Malam 1 Suro juga juga tak terlepas dari komposisi sosiologis masyarakat Jawa yang masih sangat bersifat paganistik Hindu.

Bahkan, nuansa animisme dan dinamisme masih terlihat sangat kental. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai macam sesaji yang digunakan dalam pelaksanaan prosesi peringatan.

Tradisi Perayaan 1 Suro Masyarakat Jawa

Djihan Nisa Arini Hidayah dalam Jurnal Ilmiah PPKN IKIP Veteran mengatakan satu Suro atau ‘Suroan’ dianggap sebagai hari besar yang sakral bagi warga Klaten secara turun-temurun, di mana masyarakat kebanyakan mengharapkan bisa mendapatkan berkah pada hari besar ini, ritualnya diistilahkan sebagai ‘Ngalap Berkah’.

Bagi masyarakat Klaten, Suroan merupakan kegiatan berdoa bersama sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan tuhan. Selain itu, tradisi ini dapat mempererat tali persaudaraan. Pada malam satu Suro, biasanya masyarakat Klaten melakukan kegiatan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam.

Kegiatan Suroan di Klaten diisi dengan acara selametan (kenduri) massal serta mengadakan pertunjukan Wayang Kulit semalam suntuk setiap tanggal tujuh Suro.

Perayaan-perayaan saat Muharam memang lekat dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan. Selain Klaten, daerah lain di pulau Jawa juga memiliki tradisi berbeda pada saat Muharam.

Seperti Grebek Suro di Ponorogo. Grebeg Suro merupakan kirab mengelilingi benteng keraton, puncaknya adalah pembagian tumpeng raksasa yang disediakan oleh pihak keraton. Tumpeng tersebut merupakan simbol keberkahan untuk masyarakat.

Berbeda dengan Grebeg Suro, ritual di Temanggung, Jawa Tengah, dilaksanakan dengan bernyanyi bersama Kidung Jawi yang berjudul Dhandang Gula, dilanjutkan dengan acara Kacar-kucur dan doa keselamatan bersama yang dipimpin oleh kaur keagamaan.

Selain itu, warga lereng Gunung Semeru di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, melestarikan ritual larung pendam setiap 1 Muharam. Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Dengan tujuan yang sama, warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar tradisi adat sapi-sapian dalam menyambut 1 Muharam.

Tradisi-tradisi ini hanya sebagian kecil dari ragam tradisi menyambut 1 Muharam di Jawa. Masyarakat Jawa punya cara masing-masing memperingati sebuah momen yang pada dasarnya tak hanya sebuah pergantian tahun semata.

Baca juga artikel terkait 1 SURO atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Penyelaras: Yulaika Ramadhani