tirto.id - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyebutkan mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin memerintahkan pencairan dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang tidak sesuai aturan, tanpa pengajuan proposal terlebih dahulu.
"Tersangka AN selaku gubernur telah menyetui dan memerintahkan dana hibah dan pencairan tanpa proposoal," kata Leonard dalam konferensi pers secara virtual dari Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Rabu malam.
Kronologi kasus korupsi Alex Noerdin terkait dana hibah masjid Sriwijaya
Leonard mengatakan Pemerintah Sumatera Selatan memberikan dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang kepada Yayasan Wakaf Sriwijaya Palembang menggunakan dana APBD tahun 2015 dan 2017.
Dana tersebut diberikan APBD tahun 2015 sebesar Rp50 miliar, dan APBD tahun 2017 sebesar Rp80 miliar.
"Penganggaran dana hibah tersebut tidak sesuai prosedur peraturan perundang-undangan, tidak dilalui pengajuan proposal dari yayasan sebagai penerima, hanya mendapat perintah AN selaku gubernur," ungkap Leonard.
Selain itu, kata Leonard, Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya diketahui tidak beralamat di Palembang, melainkan di Jakarta.
Begitu pula untuk lahan sepenuhnya aset yang ternyata sebagian milik masyarakat, dan pembangunan masjid tersebut akhirnya tidak selesai.
Akibat penyimpangan itu, kata Leonard, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp130 miliar.
Selain Alex Noerdin, dalam kasus tersebut, Kejati Sumatera Selatan juga menetapkan mantan Bendahara Umum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Muddai Madang dan mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Laoma L Tobing sebagai tersangka.
"Tersangka AN selaku gubernur telah menyetujui pencairan tanpa proposal terlebih dulu. Tersangka MM selalu bendahara yang minta, dari penggunaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan. Tersangka LPLT selaku mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) melakukan pencairan dana tanpa prosedur," ungkap Leonard.
Leonard menyebutkan ketiga tersangka ini merupakan terpidana dan tersangka dalam perkara pidana lain, dan sudah dilakukan penahanan.
Tersangka Alex Noerdin dan Muddai Mandang sudah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI terkait perkara dugaan korupsi pembelian gas negara oleh BUMD PDPDE Sumatera Selatan.
Sedangkan tersangka Laoma L Tobing merupakan terpidana kasus Bansos 2013 Sumsel, ditahan di Lapas Kelas 1 Pakjo Palembang maka dengan ditetapkannya status tiga orang tersebut sebagai tersangka dalam kasus dugaan tipikor Masjid Sriwijaya ini tercatat sudah ada lima orang.
Masing-masing Ahmad Nasuhi (selaku mantan kepala biro Kesra Pemprov Sumsel), Mukti Sulaiman (mantan Sekretaris Daerah Sumsel).
Lalu ada empat orang yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dan sudah disidangkan Pengadilan Negeri Palembang, yakni, Eddy Hermanto mantan Ketua Umum Pembangunan Masjid Sriwijaya.
Dwi Kridayani KSO PT Brantas Abipraya - Yodya Karya, Syarifudin Ketua Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya dan Yudi Arminto Project Manager PT Brantas Abipraya.
Sebelumnya, pemberian dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya ternyata maladministrasi terungkap oleh saksi dalam sidang lanjutan pembuktian tindak pidana korupsi (Tipikor) terhadap empat terdakwa (Edi Hermanto, Syarifudin, Yudi Arminto dan Dwi Krisdayani) di Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (7/9).
Dalam persidangan yang diketuai Hakim Sahlan Effendi itu, tiga orang dari sebelas saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan mengungkapkan bahwa benar pemberian dana hibah dilakukan tanpa dokumen proposal dan pembahasan terpadu.
Saksi Suwandi (tim verifikasi dokumen Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan), mengatakan, pemberian dana hibah pembanguan masjid itu dilakukan tanpa dibekali oleh proposal permohonan dari Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya selaku penyelenggara pembangunan.
“Tidak ada proposalnya tapi sudah cair dana hibah senilai Rp50 miliar,”kata dia.
Ia menjelaskan, hal tersebut diketahui saat dirinya diperintah oleh Kepala Biro Kesra Ahmad Nasuhi (terdakwa) untuk melakukan verifikasi dokumen pencairan dana hibah pembangunan masjid tersebut tahun 2015.
Saat memverifikasi dokumen itu, ia mendapati bahwa Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sama sekali belum pernah menerbitkan proposal permohonan pembangunan ke Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
“Saya aneh juga bisa begitu,”cetusnya.
Lalu saksi Agustinus Toni (mantan staf di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sumsel), mengatakan, ada dua tahap pencairan dana hibah untuk masjid itu, yaitu termin pertama pada tahun 2015 senilai Rp50 miliar dan termin kedua pada tahun 2017 senilai Rp80 miliar.
Namun dari dua tahap pencairan itu, sama sekali tidak ada pembahasan sebelumnya bahkan tidak termasuk dalam RKPD saat itu. Sebab, menurutnya, semua sudah ditangani oleh Kepala BPKAD.
"Saya hanya menjalani perintah yang mulia, semua usul selalu disetujui oleh ketua BPKAD atas nama Laoma L Tobing," ungkapnya.
Lalu saat dana hibah itu cair, penyidik mendapati alamat rekening atas nama Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang itu beralamat di jalan Danau Pose E 11 nomor 85 Jakarta, sekaligus juga merupakan alamat rumah Lumasiah selaku wakil seketaris Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang ditetapkan sebagai saksi.
Padahal dalam aturannya pemberian dana hibah bisa dilakuan bila penerima berdomisili di Sumatera Selatan.
Sedangkan nama Alex Noerdin sudah mencuat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dalam sidang terhadap empat terdakwa yang sudah ditetapkan lebih dulu di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (27/7).
Saat itu JPU menyebut ia patut diduga menerima dana senilai Rp2.343.000.000 serta sewa ongkos helikopter senilai Rp300.000.000 total senilai Rp2.643.000.000.
Dana itu ditelusuri dari dana operasional pembangunan Masjid Raya Sriwijaya tahun 2015 senilai Rp50 juta yang diserahkan Arminto (project manager PT Brantas Abipraya) dan PT Kodya Karya melalui Ketua Panitia Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya, Syarifuddin.
Para tersangka dan terdakwa disebut telah melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP dan subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.