Menuju konten utama
15 Desember 1978

Achmad Subardjo: Sang Penjamin Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Achmad Subardjo membebaskan Sukarno-Hatta dari para pemuda yang mendesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

Ilustrasi Mozaik Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. tirto.id/Gery

tirto.id - Ketika Sukarno-Hatta diculik oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945, seseorang bernama Sudiro segera melaporkannya kepada Mr Achmad Subardjo. Tuntutan para pemuda adalah agar dwitunggal itu segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka tidak memberitahu tempat keduanya disembunyikan.

Subardjo khawatir jika Sukarno-Hatta jatuh ke tangan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Jika itu terjadi, maka ia berharap kepada koneksi utamanya selama pendudukan Jepang, yakni Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Oleh karena itu, Laksamana Muda Tadashi Maeda pun diberitahu soal hilangnya kedua tokoh penting tersebut.

Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994), Maeda beserta para stafnya punya visi yang tidak sekolot Angkatan Darat Jepang dalam politik pendudukan atas Pulau Jawa.

Sementara Subardjo adalah orang kepercayaan Maeda dan pernah ditawari membentuk kantor penelitian di Jalan Prapatan Nomor 60. Ia mengaku pernah tinggal di Jepang. Dan di akhir masa pendudukan Jepang, ia dikenal sebagai pengelola Asrama Indonesia Merdeka yang memiliki hubungan dengan para pemuda Indonesia terpelajar dan militan.

Selain Subardjo, ada juga Wikana yang berjejaring dengan Tan Malaka. Selain mereka—meski ogah-ogahan berurusan dengan orang-orang Jepang—Sutan Sjahrir pun pernah mengajar di asrama tersebut. Tempat itu cocok bagi para pemuda Indonesia yang tidak suka dengan Angkatan Darat Jepang yang kaku.

“Mayor Boleh Tembak Mati Saya!”

Soebardjo kemudian mendapat kabar dari seorang anggota PETA yang bernama Jusuf Kunto, bahwa Sukarno-Hatta diamankan oleh para pemuda dari Angkatan Darat Jepang, dan dibawa ke luar Jakarta.

Sekitar pukul empat sore, Subardjo, Sudiro, Jusuf Kunto, dan seorang supir, segera pergi ke luar kota mencari keberadaan Sukarno-Hatta. Mereka mengendarai mobil Skoda tua milik Subardjo yang bannya nyaris gundul.

Mereka belum tahu pasti di mana kedua tokoh itu disembunyikan. Mulanya Subardjo menduga Sukarno-Hatta disembunyikan di Selabintana, Sukabumi. Namun, setelah melewati Jatinegara, mobil mereka malah melaju ke arah Purwakarta. Sepanjang perjalanan, mobil mereka tak mendapat adangan apapun selain ban sempat bocor ketika mendekati Rengasdengklok, karawang.

Ketika tiba di Rengasdengklok, mereka diarahkan untuk menunggu di rumah wedana. Seorang pemuda revolusioner bernama Sukarni menghampiri mereka. Subardjo kemudian dibawa untuk menemui komandan kompi bernama Mayor Subeno di tangsi PETA yang tidak jauh dari rumah tersebut.

“Kami datang ke sini untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta serta membawa mereka kembali ke Jakarta untuk mempercepat Proklamasi Kemerdekaan,” kata Subardjo seperti ia tulis dalam autobiografinya bertajuk Kesadaran Nasional (1978:320).

Perwira didikan Jepang itu bertanya kepada Subardjo, apakah ia bisa mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam. Subardjo menjawab bahwa hal itu tidak mungkin, dan Sukarno-Hatta juga harus kembali dulu untuk rapat kilat dengan panitia persiapan lainnya di Jakarta.

“Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok,” tanya Subeno.

“Saya akan berusaha sedapat-dapatnya, kami mungkin [baru] bisa selesai [rapat] pukul 06.00, tetapi menjelang tengah hari besok kami pasti telah siap [untuk memproklamasikan].”

“Jika tidak bagaimana?” tanya Subeno.

“Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggungjawabnya, dan Mayor boleh tembak mati saya,” jawab Subardjo.

Subeno merasa puas atas jawaban tersebut. Maka ia pun mengizinkan Subardjo untuk menemui Sukarno-Hatta yang ternyata ditempatkan di sebuah rumah milik seorang Tionghoa, tidak jauh dari tangsi PETA.

Subardjo dan rombongannya segera membawa Sukarno-Hatta ke Jakarta dan langsung rapat di rumah Laksamana Maeda. Esoknya, tanggal 17 Agustus 1945, menjelang siang, Proklamasi Kemerdekaan dibacakan.

Bukan Pemanggul Bedil, Orde Baru Tak Menyukainya

Kepercayaan Laksamana Maeda dan para pemuda anti-Jepang kepada Achmad Subardjo, menunjukkan bahwa ia bukan orang baru dalam dunia pergerakan. Ketika kuliah hukum di Universitas Leiden, ia adalah bagian dari Perhimpunan Indonesia (PI) bersama Hatta dan Iwa Kusumasumantri.

Menurut Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Achmad Subardjo menjadi pengurus PI dari 1919 hingga 1921. Ia menjadi ketua organisasi tersebut atas dukungan Goenawan Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan, saat PI masih bernama Perhimpoenan Hindia

Ia sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, termasuk Rusia. Tahun 1927, ia menghadiri liga anti-imperialis di Brussel, Belgia. Lalu pada 1934, setahun setelah lulus kuliah hukum dan mendapat gelar Meester in Rechten, ia pulang ke Indonesia.

Sebagai ahli hukum junior, Subardjo sempat bekerja bersama Mr Iskaq Tjokrohadisurjo.Tahun 1935, ia mendirikan kantor pengacara di Malang.Pada tahun yang sama, ia berangkat ke Jepang dan baru kembali lagi ke Indonesia pada tahun berikutnya. Kunjungannya ke Jepang membuatnya dicurigai pejabat Belanda.

Dari tahun 1936 hingga 1939, Achmad Subardjo menjadi pengacara di Bandung dan sempat mengurangi kegiatan politiknya. Selain aktif sebagai pengacara, ia juga menulis untuk beberapa surat kabar.

Infografik Mozaik Achmad Soebardjo

Infografik Mozaik Achmad Soebardjo. tirto.id/Rangga

Setelah 1939, Subardjo sempat bekerja di Radio Ketimuran yang merupakan bagian dari NIROM. Ia bertugas membuat program bulanan untuk musik, wawancara, dan pengumuman resmi. Pekerjaan itu tumpas setelah Hindia Belanda runtuh oleh serbuan kilat balatentara Jepang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia yang berdarah Aceh, Bugis, dan Jawa itu diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Ia sempat berseberangan dengan pemerintahan Sjahrir, sebab memilih merdeka 100 persen ketimbang ikut dalam diplomasi yang merugikan Indonesia.

Oleh karena itu, saat terjadi Peristiwa 3 Juli 1946 yang dianggap sebagai makar pertama di Republik Indonesia, Subardjo beserta para pengikut Tan Malaka lainnya harus berpindah dari penjara ke penjara.

Saat ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda, ia termasuk yang ikut ditawan. Tahun 1950, Subardjo kembali menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet yang dipimpin oleh Sukiman Suwirjo.

Ketika usianya semakin sepuh, yakni dari tahun 1961 hingga 1965, lelaki kelahiran Teluk Jambe, Karawang, 23 Maret 1896 itu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sejak 1968 yakni ketika Orde Baru mulai berkuasa, Subardjo menjadi profesor bidang sejarah konstitusi dan diplomasi. Tanggal 15 Desember 1978, tepat hari ini 41 tahun lalu, Achmad Subardjo wafat.

Meski perannya penting dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, ia baru diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2009, atau sebelas tahun setelah Orde Baru tumbang. Ya, narasi sejarah dan kepahlawanan Orde Baru memang sangat militeristis.

Sebagai seorang sipil dan jarang disebut dalam buku-buku pelajaran sejarah, nama Achmad Subardjo tersisihkan, padahal ia adalah orang yang menjaminkan dirinya ditembak mati demi Proklamasi Kemerdekaan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh
-->