Menuju konten utama

Usaha Timnas Perempuan Jerman agar Pamornya Semoncer Timnas Lelaki

Dua kali juara dunia, delapan kali juara Eropa, salah satu timnas perempuan tersukses sepanjang sejarah—tapi reputasinya tak secemerlang timnas laki-laki.

Usaha Timnas Perempuan Jerman agar Pamornya Semoncer Timnas Lelaki
Para pemain pemula Jerman berpose untuk foto tim di awal pertandingan sepak bola persahabatan internasional antara Prancis dan Jerman di stadion Francis-le-Basser di Laval, Perancis barat, Kamis, 28 Februari 2019. AP / David Vincent

tirto.id - “Sejak kami memulainya, kami tidak hanya bermain melawan tim lain. Kami berperang melawan prasangka,” kata narator dalam video iklan tim nasional sepakbola perempuan Jerman yang dibuat oleh Commerzbank dan dirilis pertengahan Mei 2019.

“‘Perempuan ada hanya untuk melahirkan bayi’. ‘Mereka itu tempatnya di ruang cuci baju’. ‘Seperti menonton para amatir dalam gerakan lambat’. Tapi tahukah kamu? Kami tidak punya buah zakar (keberanian), namun kami tahu cara menggunakannya.”

Kalimat terakhir membuat beberapa orang dalam video bereaksi “ooooo” bak mendengar punchline terganas seorang komika stand-up. Video kemudian diakhiri dengan pesan:

“Tenang, kamu tidak perlu mengingat wajah-wajah kami. Kamu hanya perlu tahu apa yang kami inginkan. Kami ingin memainkan laga hingga jadi juara.”

Video dipromosikan beberapa minggu jelang penyelenggaraan Piala Dunia Perempuan 2019 di Perancis. Timnas perempuan Jerman berpartisipasi dan menghuni Grup B bersama Republik Rakyat Cina, Spanyol dan Afrika Selatan.

Pesannya menyiratkan upaya-upaya yang dilakoni oleh para pemain timnas perempuan Jerman, melalui kampanye kesetaraan hingga pamer prestasi, demi mendapat apresiasi yang sama besarnya dengan yang diterima oleh timnas laki-laki Jerman.

Publik mengenal timnas laki-laki Jerman sebagai salah satu timnas terkuat di dunia. Der Panzer, julukan tim, memenangkan empat titel juara Piala Dunia (1954, 1974, 1990, 2014), tiga juara Piala Eropa (1972, 1980, 1996) dan satu Piala Konfederasi (2017). Mereka juga sudah empat kali jadi runner-up di Piala Dunia dan tiga kali di Piala Eropa.

Yang belum banyak diketahui orang-orang: timnas perempuan Jerman juga rajin menorehkan prestasi bergengsi baik di level Eropa maupun dunia.

Mereka meraih titel juara Piala Dunia dua kali (2003, 2007). Di level Eropa mereka bahkan bisa lebih membusungkan dada sebab delapan kali menjuarai Piala Eropa (1989, 1991, 1995, 1997, 2001, 2005, 2009, 2013). Die Nationaleif, julukan tim, juga sekali jadi finalis Piala Dunia (1995) dan dua kali juara keempat Piala Eropa (1991, 2015).

Pencapaian tersebut tidak datang tiba-tiba. Sebagaimana sejarah sepakbola perempuan di berbagai negara, pada awalnya mereka juga dihadang oleh elite laki-laki di organisasi sepakbola nasional yang berperilaku seksis.

Merujuk pada catatan Reuters, pada 1955 Asosiasi Sepakbola Jerman (DFB) melarang sepakbola perempuan di semua klub di Jerman Barat. Alasannya karena “olahraga agresif ini pada dasarnya asing untuk sifat perempuan”.

Lebih lanjut, “daya tarik perempuan, tubuh mereka, dan jiwa mereka akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan tampilan tubuh mereka ke publik akan menyinggung moralitas dan norma kesopanan.”

DFB baru menghapusnya secara resmi pada 30 Oktober 1970. Tapi kenyataannya sepakbola perempuan tetap dmainkan pada 1950-an dan 1960-an. Permainan itu berlangsung antar klub di dalam negeri hingga pertandingan persahabatan tingkat internasional.

Meski kesempatan bermain telah terbuka, DFB belum membentuk timnas perempuan pada 1970-an. Secara kultur penerimaan orang terhadap pesepakbola perempuan juga masih buruk. Salah satunya dialami oleh Baerbel Wohhlleben, mantan pemain timnas perempuan Jerman.

Kepada France24 Baerbel membagikan pengalamannya pada tahun 1974 saat tiba-tiba seorang jurnalis melancarkan pertanyaaan konyol sekaligus bernada ejekan: “bagaimana jika kau menyundul bola, bukankah itu akan merusak rambutmu?”

Lainnya: “Apa pendapat suamimu soal kegiatanmu di sepakbola? Apakah ia setuju? Siapa yang mengurus rumah saat kau bermain”. Baerbel menjawab: “Suamiku juga bisa masak—ya kenapa juga ia dilarang masak?”

Pertanyaan itu sebenarnya bisa membuat Baerbel sedikit tergelak. Tapi ia juga menegaskan bahwa pada periode tersebut, lebih tepatnya hingga tahun 1977, perempuan tidak diperkenankan bekerja tanpa ijin tertulis dari suaminya.

Waktu berjalan dan sepakbola perempuan makin banyak peminat. Pada awal 1980-an DBF akhirnya membentuk timnas perempuan melalui beberapa pertimbangan. Salah duanya: pertama, negara lain sudah membentuk timnas perempuannya; dan kedua, DFB sudah mulai menerima undangan kompetisi.

Laga internasional pertama dilakoni melawan Swiss pada 10 November 1982 di Kota Koblenz, Jerman. Jerman Barat menang 5-1 di mana gol pertama disumbang oleh Silvia Neid yang kala itu baru berusia 18 tahun.

Jerman Barat kemudian berupaya meloloskan diri ke kejuaraan Piala Eropa Perempuan 1984. Gagal dengan finis di urutan ketiga grup kualifikasi. Saat itu tim memang belum dicanangkan untuk lolos, melainkan untuk meningkatkan performa hingga di level tim-tim perempuan asal negara Skandinavia plus Italia.

Hasilnya dipetik lima tahun kemudian ketika timnas lolos ke Piala Eropa 1984. Diuntungkan oleh status sebagai tuan rumah, Jerman Barat melaju mulus melalui babak grup hingga semifinal. Laga semifinal melawan Italia menjadi siaran langsung pertama timnas Jerman Barat. Mereka menang adu pinalti.

Laga puncak digelar Kota Osnabrück pada 2 Juli 1989 di mana tuan rumah menjamu Norwegia. Di hadapan 22 ribu penonton mereka menang dengan skor 4-1. Gol titel kejuaraan pertama di kompetisi Eropa ini disumbangkan oleh Ursula Lohn, Heidi Mohr, dan Angeilka Fehrmann.

Jerman Timur bergabung ke DFB usai reunifikasi Jerman pada 1991. Setelahnya mereka berjaya dengan merebut tiga Piala Eropa sepanjang dekade 1990-an. Prestasi tersebut cukup untuk mengobati kegagalan menjuarai Piala Dunia Perempuan dan Olimpiade—meski sebenarnya performa tim tetap membaik.

Pada awal 2000-an dukungan untuk timnas perempuan Jerman makin meluas walaupun masih kalah jauh dari dukungan untuk timnas laki-laki. Pamor mereka tiba-tiba melesat bak menunggangi roket saat berhasil menjuarai Piala Dunia Perempuan 2003 yang digelar di Amerika Serikat.

Margot Dunne melaporkan untuk majalah When Saturday Comes bagaimana para pemain timnas sangat terkejut dengan sambutan meriah yang mereka dapatkan saat kembali ke Jerman. “Sebagaimana yang biasa diterima oleh rekan-rekan pria mereka dalam beberapa dekade terakhir,” tulis Margot.

Trofi kemenangan diparadekan keliling Kota Frankfurt, di mana ribuan penggemar memadati jalanan sambil bersorak-sorai penuh kebanggaan.

Infografik Timnas Sepakbola Perempuan Jerman

Infografik Timnas Sepakbola Perempuan Jerman. tirto.id/Fuad

Dari sisi publisitas, timnas menjadi kesayangan media massa. Pelatih Tina Theune-Meyer dan asisten manajer Silvia Neid diundang ke acara-acara televisi. Majalah-majalah kenamaan mengulas kemenangan tim secara mendalam. Asosiasi jurnalis bahkan memilih mereka sebagai Tim Terbaik Tahun Ini.

Beberapa orang berkata pada Margot mereka menikmati sepakbola perempuan karena lebih teknis, lebih kaya akan antusiasme serta gairah.

Lebih lanjut lagi, lebih sedikit agresivitas atau ekses-ekses kekerasan di lapangan. Sejumlah penonton lebih menyukai sepakbola perempuan karena di sepakbola laki-laki “tiap dua menit pasti ada tendangan bebas”.

Kala itu sepakbola perempuan di Jerman belum semaju sekarang. Atletnya masih banyak yang belum dianggap profesional dan rata-rata menerima gaji di bawah upah minimum. Lama kelamaan problem tersebut teratasi, meski belum sepenuhnya hilang.

Gerakan #MeToo yang belakangan populer sukses membuat perhatian publik mengarah pada seksisme yang masih mengakar kuat di dunia sepakbola perempuan. Berbagai atlet senior serta tokoh masyarakat angkat bicara mengenai hal ini, dan gerakan perlawanan di medsos makin lama makin menguat.

Abad ke-21 ditandai dengan makin banyak prestasi yang timnas perempuan Jerman raih di tingkat Eropa dan internasional. Titel juara Piala Eropa empat kali mereka rebut, yakni pada 2001, 2005, 2009 dan 2013. Mereka juga kembali menyabet titel juara Piala Dunia Perempuan pada 2007.

Satu dekade berselang, timnas perempuan Jerman menyandang reputasi sebagai salah satu timnas perempuan paling sukses sepanjang sejarah (bersama AS dan Norwegia).

Abad ke-21 juga ditandai dengan makin populernya sepakbola perempuan di tempat lain. Negara-negara yang dulu absen kini rajin mewakilkan timnasnya ke berbagai kompetisi regional maupun internasional. Di Asia, misalnya, sepakbola perempuan Jepang dianggap sebagai rising star sejak 2010-an.

Jerman getol memperbaiki sistem pendidikan sepakbola perempuan sejak dini. Kompetisi antar-klub makin ketat, baik yang amatir maupun profesional. Ekosistem ini melahirkan talenta-talenta baru yang direkrut ke level tim nasional, melanjutkan tradisi juara, tidak kalah dibanding timnas laki-lakinya.

Baca juga artikel terkait TIMNAS JERMAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf