Menuju konten utama

Spirit Doll Tak Akan Jadi Kontroversi di Tengah Masyarakat Waras

Memiliki kegemaran yang spesifik membuat orang jadi bertumbuh dan meminimalisir resiko stres bahkan depresi.

Spirit Doll Tak Akan Jadi Kontroversi di Tengah Masyarakat Waras
Ilustrasi Boneka. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Perbincangan tentang spirit doll sedang ramai sejak beberapa waktu lalu. Riuh tentang spirit doll ini dimulai ketika ada seorang selebritas yang menganggap dan memperlakukan bonekanya sebagai anak.

“It’s baby!” begitu ia mempertahankan argumentasi terhadap lawan bicara yang keheranan atas kelakuannya.

Tak berhenti sampai di sana, banyak video yang beredar, memperlihatkan pemilik/ orangtua boneka ini memberi boneka mereka makan dan minum, seraya mengajaknya berbincang. Seperti biasa, ketika melihat sesuatu yang tidak lazim dan di luar kebiasaan, stigma dan label negatif jadi menempel pada hal-hal tersebut. Pada kasus ini, warganet dengan mudah menyebut si selebritas dan orang-orang yang memelihara boneka ini dengan sebutan “aneh”, atau lebih kasar lagi: “gila”.

Pada dasarnya, orang yang "memelihara" boneka bentuk bayi adalah hal biasa, sama seperti hobi lain --yang bagi sebagian orang kerap tak masuk di akal.

Padahal di masyarakat yang waras, hal-hal semacam ini tak akan jadi keributan besar. Karena toh, setiap orang memiliki kegemaran masing-masing. Selama hobi mereka tidak mengganggu fungsi sosial dan fungsi kerja sehingga membikin tidak produktif, maka artinya kegemaran mereka jauh dari definisi “gangguan jiwa”.

Sekarang mari kita membuat komparasi antara si selebritas yang mencintai boneka bayinya, dengan K-popers, otaku, atau yang lebih familiar, suporter bola. Kesemuanya sama-sama punya imajinasi tentang idolanya dan rela berkorban--sampai tahap tak masuk akal bagi orang awam--dalam hal materi dan tenaga.

Si selebritas, membeli banyak perlengkapan bayi hingga (tadinya ingin) membuat kamar khusus untuk boneka bayinya. Sedangkan K-popers rela berebut album, menonton video hingga ratusan kali, berbelanja pernak-pernik, dan berkhayal memiliki pacar “oppa” meski eksistensinya tak diketahui oleh sang idola.

Otaku? Jangan ditanya lagi, tingkat kasih sayang mereka kepada karakter anime sudah berada di level berbeda. Bahkan sampai ada yang menjadikan karakter tersebut sebagai teman hidup.

Sedangkan sepak bola, ia malah sudah menjelma jadi sekte, bahkan agama. Di Argentina, kamu bisa menemukan Church of Maradona. Orang rela pergi ratusan, ribuan kilometer, demi bisa menonton tim bola kesayangannya. Tak jarang, para suporter rela bentrok, menyabung nyawa, melawan suporter tim lawan.

Pada urusan hobi yang terlihat lebih old school, filateli misalnya, kamu akan menemukan sosok orang “kurang kerjaan” yang berburu dan mengumpulkan perangko. Tapi jika dilihat dari sudut pandang helikopter, hal-hal ini tak aneh sama sekali. Belum lagi jika bicara hobi yang bikin orang geleng-geleng kepala --memancing misalnya, bikin banyak orang heran kenapa pemancing bisa sabar diam dalam waktu lama.

Tapi memang itulah hakikat hobi dan hal-hal kesukaan: ia tak perlu dimengerti, apalagi dilogikakan.

Lagipula, insting imajinatif merawat boneka ini sudah jadi hal biasa sejak kita kecil. Banyak dari kita pernah pura-pura menjadi ibu dari boneka, merawat mereka, seperti merawat anak sendiri. Dan tak ada satupun anak kecil itu yang akan dianggap kurang kerjaan atau gila.

Lalu kenapa standar ganda diberikan kepada orang dewasa yang merawat boneka?

Apakah rutinitas menjadi dewasa membikin kita kehilangan rasa simpati dan sulit membahagiakan diri?

"Why do only children have flying dreams?" tanya Richard Gere dalam film Mr. Jones, suatu ketika.

Menjadi dewasa memang bikin kita perlahan kekurangan imajinasi, melupakan asyiknya bermimpi dan berangan-angan. Itu kenapa mungkin petuah Jones benar adanya.

"Don't grow up, it's sucks!"

Infografik Boneka

Infografik Boneka. tirto.id/rangga

Punya Hobi Bikin Anda Lebih Hidup

Menjadi dewasa memang menjemukan. Kita terikat oleh hal-hal membosankan dari bangun tidur hingga kembali memejamkan mata. Bekerja demi bayar berbagai cicilan, bertemu kolega yang itu-itu saja karena lingkaran pertemanan mulai menciut, dan mengobrol (lagi) soal kerjaan atau keluarga.

Memiliki hobi akan membantu kita bertumbuh dan menyegarkan isi kepala yang penuh dengan target-target keduniawian. Bahkan menurut Jaime Kurtz, profesor psikologi dari James Madison University dalam esainya kepada Psychology Today, hobi dapat menjauhkan kita dari resiko depresi.

“Dengan menjalankan hobi orang jadi lebih bahagia. Hobi membantu kita mengisi waktu luang dan bersosialisasi, setidaknya terhadap kelompok dengan kegemaran yang sama.”

Di belahan dunia lain, jauh sebelum tren adopsi boneka bayi menjamuri kalangan selebritas tanah air, Barb Kobe, seniman asal Amerika pernah membuka kelas penyembuhan dengan menggunakan boneka sebagai medium terapi.

Idenya muncul di tahun 2004, namun baru terlaksana pada tahun 2006. Kobe membuka kelas bernama “Medicine Dolls: How to Make Healing”. Ia meyakini bahwa boneka dapat membantu orang sembuh secara fisik, emosional, mental, dan di tingkat spiritual.

Gagasan Kobe membuka kelas penyembuhan menggunakan boneka ternyata mendapat sambutan bagus. Bahkan belum genap bulan pertama di anyaran tahun, kelas boneka Kobe sudah penuh terisi, pendaftaran hanya dibuka untuk masa tunggu di tahun 2023 nanti.

“(Memelihara) boneka mewakili cara kita memandang diri sendiri dari semua aspek: emosional, psikologis, lingkungan, dan rohani. Jadi seni itu (merujuk pada boneka) mempengaruhi masalah kesehatan seperti nyeri kronis, stres, depresi, dll,” kata Kobe dalam berita promosi yang ia buat.

Klaim penyembuhan Kobe dengan metode pengasuhan boneka bukan omong kosong belaka. Nyatanya studi (2018) telah membuktikan bayi-bayi boneka itu dapat memberikan kenyamanan emosional, efek menenangkan, dan memfasilitasi aktivitas harian yang teratur bagi orang-orang demensia.

Terapi dengan boneka (2014) mengaktifkan sistem pengasuhan dan eksplorasi dengan memunculkan rasa keterikatan dan kasih sayang. Ini jelas berbeda dengan, misalnya mengasuh bayi sungguhan. Pengasuhan anak manusia penuh drama pelik.

Menurut Gail Saltz psikiater, penulis buku “Anatomy of a Secret Life: The Psychology of Living a Lie”, bagi mereka yang tidak ingin berkomitmen, boneka bayi jadi solusi mendapat “cinta tanpa syarat” karena tak perlu memiliki tanggung jawab pengasuhan seperti bayi sungguhan.

“Boneka tak membutuhkan popok, makan, tidak buang air, serta tak menangis. Mereka tidak tumbuh dewasa sehingga tidak akan pernah menjadi makhluk kompleks,” kata dokter kesehatan jiwa di Rumah Sakit Presbyterian, New York tersebut.

Pada kasus menjadikan boneka sebagai alat terapi, Saltz mengatakan, alih-alih meyakini bahwa boneka tersebut nyata, adopter hanya butuh media sebagai pelarian sementara dari kenyataan pahit. Tapi lagi-lagi, sesuatu yang tampak tak lumrah, akan rawan kena stempel buruk.

Apa boleh bikin, orang dewasa memang tak boleh berimajinasi tinggi kalau tak mau kena cap aneh. []

Baca juga artikel terkait SPIRIT DOLL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Hobi
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nuran Wibisono