Menuju konten utama

Slamet Rijadi Jadi Korban Penembak Runduk Kala Bertugas di Ambon

Letnan Kolonel Slamet Rijadi gugur di dekat Benteng Victoria Ambon. Peluru penembak runduk merobohkannya.

Slamet Rijadi Jadi Korban Penembak Runduk Kala Bertugas di Ambon
Petugas gabungan Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Perhubungan (Dishub) membersihkan patung pahlawan Slamet Riyadi di Solo, Jawa Tengah, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Sabtu, 4 November 1950, gerak maju militer Republik Indonesia ke daerah yang sebelumnya dikuasai Republik Maluku Selatan (RMS) makin sulit dihindari. Benteng Waitatiri dengan susah payak berhasil dijebol oleh pasukan Grup II yang dipimpin Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Merebut Kota Ambon adalah hal penting dalam operasi militer melawan RMS.

“Kita harus menyerbu Fort Victoria sebab keberhasilan dalam menguasai benteng tersebut adalah batas penentuan, bisa tidaknya nanti merebut Ambon,” kata Slamet Rijadi seperti diingat H.V. Worang dalam Potret Diri H.V. Worang (1977) yang disusun Ch. Rondonuwu dan Ign. Slamet Rijadi (2008, hlm. 250).

Slamet Rijadi diperintahkan mempersiapkan langkah-langkah penyerbuan ke Ambon oleh Panglima Ekspedisi Indonesia Timur Kolonel Kawilarang. Sebelumnya, Kawilarang sudah lebih dulu membereskan perlawanan orang-orang bekas KNIL di sekitar Sulawesi dan Maluku.

Demi membereskan pekerjaan itu, Slamet Rijadi rela turun ke lapangan meski membahayakan dirinya. Ketika pasukannya berhenti bergerak, Slamet Rijadi berusaha mendekati Benteng Victoria. Dia naik panser terdepan dari tiga panser yang ikut dalam gerakan pasukan itu.

Slamet Rijadi satu panser dengan komandan kavaleri Kapten Hermanus Lodewicus Gerardus Klees. Di sebuah persimpangan, rombongan panser itu mendapat tembakan. Periskop dari panser yang ditumpangi Rijadi bahkan hancur kena tembakan. Insting serdadu Klees muncul dan bergegas membalas tembakan musuh.

Stop het vuren!” perintah Slamet Rijadi kepada awak panser. Mereka pun menghentikan tembakannya. Overste Slamet Rijadi yakin tembakan itu berasal dari Batalyon Lucas Kustaryo yang berada di dalam benteng. Slamet Rijadi bilang ke bawahannya, “Ini pasti hanya salah paham, mereka mengira panser kita kepunyaan RMS.”

“Overste, saya ini bekas KNIL. Saya tahu persis, mereka bukan pasukan TNI. Mereka hanya ingin mengelabui kita dengan sengaja memakai pakaian TNI,” kata Klees. Rijadi tetap pada instingya dan tak memberi komentar pada ucapan Klees.

“Overste, izinkan saya membalas untuk menghajar mereka,” usul Klees. Slamet Rijadi membalas, “Stop het vuren! Jangan tembak. Saya akan turun memeriksa situasi.”

“Siap, Overte,” jawab Klees yang tak kuasa mencegah kemauan atasannya itu seraya memberi hormat.

Kubah panser lalu dibuka. Slamet Rijadi kemudian memunculkan kepalanya sambil memantau situasi dengan teropong. Setelahnya, dia melompat dari panser. Tak lama kemudian sebuah peluru berdesing dari senjata penembak runduk yang entah bersembunyi di mana.

Tembakan itu langsung merobohkan Slamet Rijadi. Meski begitu, Slamet Rijadi masih berusaha memberi perintah kepada Letnan Soendjoto dan pasukannya untuk memberikan tembakan ke arah benteng. Setelahnya, Soendjoto membawa Slamet Rijadi ke tempat aman.

Menurut Letnan Soehadi, Kapten Klees sempat keluar dari panser untuk menolong Slamet Rijadi yang terluka di bagian perutnya. Kapten Klees memasukkan Slamet Rijadi ke dalam panser lagi dan melarikannya ke Tulehu. Setelah itu, Slamet Rijadi dibawa naik kapal sampai ke Rumah Sakit Waibalong.

Meski susah payah melakukan perawatan, luka Slamet Rijadi terlalu parah sehingga sulit diselamatkan. Pada malam ke sembilan usai tertembak, Slamet Rijadi akhirnya meninggal dunia. Belakangan, pemerintah menganugerahinya Slamet Rijadi menjadi Pahlawan Nasional.

Slamet Rijadi terbunuh di sekitar tempat yang dahulu menjadi lokasi eksekusi Kapitan Pattimura oleh pemerintah kolonial Belanda. Lokasi itu di kemudian hari menjadi kawasan militer di bawah kendali KODAM Pattimura. Area Benteng Victoria kini menjadi markas pasukan kavaleri.

Klees Setelah Penembakan Slamet Rijadi

Setelah kembali dari front melawan RMS, Kapten Klees kembali ke Jawa Barat. Klees terus menjadi perwira TNI di bagian kavaleri. Pimpinan tertinggi kesatuan kavaleri Indonesia kala itu adalah Letnan Kolonel Soejarso Soerjosoerarso. Java Bode (22/09/1952) menyebut Kapten Klees adalah komandan pusat pelatihan kavaleri di Cibangkong. Sejak September 1952, Kapten Klees ditunjuk menggantikan Kapten Manoppo sebagai komandan pasukan kavaleri pertama di Purabaya, Padalarang.

Kala itu, Kapten Manoppo akan dijadikan komandan pasukan kavaleri di Palembang. Kapten Manoppo menggantikan Letnan Nawasi yang keluar dari dinas militer. Instalasi pasukan kavaleri pertama yang dipimpin Klees itu adalah warisan dari KNIL.

Infografik Mild Slamet Rijadi

Infografik mild Slamet Rijadi. (tirto.id/Tino)

Selama di TNI, Klees seharusnya bisa menjadi guru bagi para perwira kavaleri Indonesia. Pada 1950, TNI kekurangan perwira kavaleri hingga perwira infanteri macam Kemal Idris dan Saleh Sadeli harus dipersiapkan untuk memimpin satuan kavaleri. Sayangnya, TNI era 1950-an adalah TNI yang kurang ramah kepada mantan KNIL macam Klees.

Sebelum menjadi TNI, Klees yang keturunan Indo-Eropa adalah bintara KNIL. Kartu tawanan perang koleksi lembaga Gahetna atas nama dirinya menyatakan dia berasal dari Bandung dan lahir pada 23 Desember 1914. Sebelum masa Pendudukan Jepang, dia sudah menjadi brigadir (setara kopral) infanteri dengan nomor stamboek 91737 dan bertugas di kesatuan mobil di Bandung.

Sebelum Jepang datang, dia pernah tinggal di Jalan Cimanggis 207, Depok. Arsip “Oost-Indisch Boek, Onderofficieren en minderen, 1832-1949, Nederlands-Indië menyebut Klees lahir di Batavia sebagai anak Johannes Klees dan Ida Jijff. Dia menjadi prajurit milisi sejak 1933 dan mendapatkan pelatihan di kompi otomobil. Pada 1936, dia menjadi sukarelawan dan dijadikan prajurit kesehatan kelas dua.

Pada 12 Mei 1937, Klees menikahi Paula Amalia Laurens yang kelahiran Depok. Waktu zaman Pendududkan Jepang, dia menjadi tawanan perang. De Telegraaf (10/05/1944) menyebut namanya sebagai salah satu tawanan perang yang dibawa ke Thailand. Tawanan macam ini dipekerjakan tanpa bayaran untuk proyek militer Jepang di sana.

Setelah Jepang kalah, dia lalu kembali ke KNIL dan pada 1946 mendapat pangkat sersan untuk sementara. Pada Desember 1949, meski sementara, dia dapat status sebagai sersan mayor instruktur. Sebelumnya, Klees juga pernah melatih satuan polisi lapangan (Veldpolitie). Setelah 1950-an, Klees tidak ada kabar lagi di TNI.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi