Menuju konten utama

Sertifikasi Majelis Taklim: Ditolak Ormas Islam, Ditentang Politisi

Aturan sertifikasi majelis taklim mengundang penolakan ramai-ramai dari beberapa elemen masyarakat yakni ormas Islam, politikus dan anggota DPR. Apa sebab?

Sertifikasi Majelis Taklim: Ditolak Ormas Islam, Ditentang Politisi
Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi (tengah) didampingi jajarannya, mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 untuk mendata majelis taklim di seluruh Indonesia yang juga disebut sebagai sertifikasi majelis taklim.

Alasannya, agar majelis taklim yang masuk pendataan mudah memperoleh bantuan pemerintah Namun, Menteri Agama Fachrul Razi menyebut pendataan tersebut tidak wajib.

"Kita tidak mewajibkan majelis taklim terdaftar pada Kemenag untuk memperoleh bantuan dari Kemenag, namun bagaimana kita mau bantu kalau tidak tahu datanya," ujar Fachrul di Jakarta, Sabtu (30/11/2019) sebagaimana dilansir dari laman Kementerian Agama.

Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag Juraidi menegaskan, PMA tidak mewajibkan majelis taklim menyerahkan data. Pernyataan ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1 PMA yang menyebut majelis hakim harus terdaftar.

"Dalam pasal 6, kita gunakan istilah 'harus', bukan 'wajib'. Harus sifatnya lebih ke administratif, kalau wajib berdampak sanksi," kata Juraidi.

Ide tersebut didukung oleh Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin. Ma'ruf memandang pendataan penting agar tidak menimbulkan masalah. "Jangan sampai ada majelis yang menjadi persoalan atau mengembangkan radikalisme, kan jadi masalah," kata Ma'ruf di Jakarta, Senin (2/12/2019).

Ditolak Ormas Islam & Politisi

Ide Kemenag soal sertifikasi majelis taklim ini dikritik oleh PBNU. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini meminta pemerintah fokus pada kebijakan prioritas dan tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang tidak prioritas bagi publik.

"Kemenag sebaiknya tidak terlalu sibuk dengan hal-hal yang sebetulnya bukan prioritas. Kebijakan harus konsen pada upaya-upaya pemenuhan program yang sifatnya prioritas," ujar Helmy kepada reporter Tirto, Selasa.

Helmy mengatakan, majelis taklim merupakan wilayah masyarakat untuk meneguhkan persaudaraan keagamaan. Aturan tersebut berpotensi mereduksi peran majelis taklim.

Ia mengatakan kebijakan yang tidak populis dan tidak berdasarkan kajian dan riset yang mendalam akan cenderung membuat kegaduhan di masyarakat.

Helmy juga mengingatkan, UU keormasan sudah mengatur soal pendirian organisasi. Majelis taklim harus mendaftarkan sebagai ormas sehingga tidak perlu ada pendataan lagi. "Jadi pemerintah jangan lah mempersulit atau merepotkan masyarakat."

Kritik juga dilontarkan oleh Muhammadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir mengatakan, majelis taklim merupakan wadah untuk membangun semangat Islam yang tinggi dan positif untuk menanam dan mengamalkan Islam dengan baik.

Haedar mengatakan, perbedaan pandangan sudah sering terjadi, tetapi hal tersebut bisa ditangani jika ada pengembangan dialog agar tidak ekstrem dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik. Ia menambahkan, aktivitas yang melanggar aturan hukum bisa ditangani dengan pendekatan hukum dan sosial tanpa harus menggunakan aturan berlebihan.

"Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu, itu tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim," jelas Haedar, Minggu (1/12/2019) sebagaimana dilansir dari laman Muhammadiyah, Selasa (3/12/2019).

Haedar menegaskan, Muhammadiyah menolak radikalisme dan ekstremisme. Namun, langkah pencegahan radikalisme harus dilakukan secara objektif, komprehensif, tidak parsial dan diskriminatif. Namun, ia berpesan agar pejabat tidak bersikap generalisasi dalam mengambil kebijakan.

"Jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam seperti sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstremisme," ujar Haedar.

Kritik sama dilontarkan Front Pembela Islam (FPI). Jubir FPI Slamet Maarif tidak masalah bila pemerintah sekadar mendata. Akan tetapi, Slamet khawatir ada faktor lain di balik pendataan majelis taklim. "Kalau kemudian dikaitkan dengan radikalisme jadi berlebihan, akan memunculkan saling kecurigaan yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru," jelas Slamet, Selasa.

Slamet menanyakan apakah pemerintah akan memberikan bantuan kepada seluruh majelis taklim jika terdata. Lalu, ia juga khawatir guru majelis taklim yang ada akan tergusur dan menimbulkan konflik.

Ia menilai penerbitan aturan ini berlebihan karena tidak semua majelis ingin menerima bantuan dan harus diatur dengan Undang-undang. "Mestinya sebelum keluarkan peraturan Menteri Agama harusnya meminta masukan dulu dari kalangan ulama."

Kalangan anggota DPR dan anggota partai politik juga menentang aturan sertifikasi majelis taklim ini. Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan memandang peraturan tersebut berlebihan.

"Itu tidak perlu diatur pemerintah karena selama ini majelis taklim sangat tumbuh subur di masyarakat tanpa harus diatur-atur oleh pemerintah," ujar Ace, Senin (2/12/2019) lalu.

Ace meminta pemerintah tidak berlebihan. Ia mendorong agar PMA tersebut direvisi atau dicabut.

Sekretaris Fraksi PPP Ahmad Baidowi menyoalkan definisi majelis taklim dan tujuan pendataan. Ia mengingatkan, bentuk majelis taklim cukup banyak seperti taklim di televisi atau insidental dengan ceramah-ceramah di kampung. Namun, ia meminta pemerintah tidak sembarangan dalam kebijakan kali ini.

"Sebaiknya memang lebih hati-hati lah dalam membuat peraturan, khususnya yang terkait dengan hal-hal yang sifatnya sensitif," tegas pria yang karib disapa Awiek ini, Senin (2/12/2019) lalu.

Mirip Pendataan Militeristik

Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati meminta pemerintah tidak sembarangan dalam menerbitkan aturan majelis taklim ini. Sebab, publik bisa menangkap pesan pemerintah sedang mengincar kelompok tertentu.

"Artinya akan muncul potensi narasi keberpihakan negara terhadap kelompok tertentu melawan kelompok lainnya," ujar Wasisto, Selasa.

Pemerintah harus menjelaskan tujuan pendataan majelis taklim karena majelis mewakili mazhab Islam. Jika pendataan dalam rangka untuk kontrol negara, pemerintah bisa dianggap bias. Ia pun khawatir, makna kata 'harus' dalam pendataan mengarah pada upaya di luar agama.

"Cara berpikir pendataan ini kan mirip militer. Pengawasan yang nanti ujungnya 'pengamanan'," kata Wasisto.

Wasisto meminta pemerintah harus menjelaskan maksud pendataan. Jika masalah yang ingin diselesaikan adalah radikalisme dan intoleransi, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan pro-aktif dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.

"Selama ini kan majelis taklim bisa punya massa besar karena mayoritas jemaahnya kan mengalami masalah ekonomi dan sosial sehingga larinya ke majelis taklim yang menawarkan bantuan konseling rohani," ujar Wasisto.

Tak Ada Sanksi Bila Tak Ditaati

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid meminta publik tidak khawatir dengan kemunculan PMA tersebut. Ia beralasan, Kementerian Agama melakukan pendataan demi kepentingan publik. Oleh sebab itu, aturan ini tidak mewajibkan pendaftaran.

"Dalam Pasal 6, sengaja kita gunakan diksi 'harus' bukan 'wajib'. Kata 'harus' sifatnya lebih ke administratif sedangkan 'wajib' berdampak sanksi," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Selasa," Kata Zainut, Selasa (3/12/2019) sebagaimana dilansir dari Antara.

Zainut mengatakan, semangat PMA tersebut dalam rangka memfasilitasi Kementerian Agama dalam melakukan koordinasi dan pembinaan. Masyarakat bisa mengetahui tata cara pembentukan majelis taklim dan Kemenag punya basis data.

Pembinaan berupa memberikan penyuluhan dan pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, dan pemberdayaan jamaah dan lain sebagainya.

"Termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD," pungkas Zainut.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI MAJELIS TAKLIM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri