Menuju konten utama

Saat Para Yakuza Turun Tangan di Daerah Bencana

Yakuza identik dengan hal negatif, tetapi mereka kerap ada ketika bencana alam datang.

Saat Para Yakuza Turun Tangan di Daerah Bencana
Seorang pria berjalan-jalan di daerah yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret di Kesennuma, Prefektur Miyagi, Jepang timur laut, Kamis, 12 Mei 2011. AP Photo / Junji Kurokawa

tirto.id - Yakuza selamanya akan identik dengan berbagai elemen negatif: pembunuhan, teror, bisnis kotor. Namun ketika Jepang beberapa kali dilanda bencana alam hebat, merekalah yang paling cepat tanggap untuk memberi bala bantuan.

Ketika wilayah Kobe di Jepang dilanda gempa bumi Great Hanshin pada Januari 1995 yang menewaskan lebih dari 6.000 orang dan membuat sekitar 40.000 lainnya luka-luka, sindikat yakuza terbesar di sana, Yamaguchi-gumi, segera turun tangan membantu mendistribusikan makanan dan air bersih kepada warga. Termasuk membuat dapur umum di beberapa titik lokasi bencana.

16 tahun kemudian, tatkala mega-tsunami dan gempa dahsyat menghantam Tohoku pada Maret 2011 yang merenggut lebih dari 16.000 nyawa dan total kerusakan mencapai 360 miliar dolar, tiga sindikat yakuza paling kesohor di Jepang juga kembali menjadi pihak terdepan yang memberikan bantuan.

Mereka terdiri dari: Inagawa-kai (grup Yakuza ketiga terbesar di Jepang), Sumiyoshi-kai (kedua terbesar), dan Yamaguchi-gumi (terbesar).

Inagawa-kai mengirim berton-ton bahan bantuan seperti popok, ramen instan, baterai, senter, minuman, dan keperluan sehari-hari ke beberapa wilayah bencana. Sumiyoshi-kai memastikan jaminan keamanan bagi seluruh pengungsi dan mendirikan tenda darurat untuk menampung pengungsi, selain tentunya juga mengirim berbagai bahan pokok. Sementara Yamaguchi-gumi juga membuka puluhan tempat donasi dan mengirimkan berton-ton truk bahan bantuan.

Inagawa-kai menjadi pihak paling aktif kala itu karena sindikat ini memiliki akar yang kuat di daerah tersebut dan juga memiliki beberapa "blok" atau grup regional. Sejak tengah malam (12 Maret) hingga pagi hari (13 Maret), sindikat Inagawa-kai cabang Tokyo mengirim 50 ton bahan bantuan menuju Balai Kota Hitachinaka di Ibaraki. Sementara sindikat dari Kanagawa juga turut mengirim 70 truk ke Fukushima: daerah pusat nuklir dengan potensi tingkat radiasi amat tinggi. Mereka bahkan menyebarkan bantuan tanpa perlindungan apapun.

Lalu pada April 2016, saat gempa bumi menghantam pulau Kyushu di Kunamoto dan menewaskan sekitar 48 orang, sindikat yakuza lokal yang terafiliasi dengan Yamaguchi-gumi, Daimon-kai, juga dengan cepat membagi-bagikan bantuan seperti produk saniter, makanan, serta air bersih.

“Bos (Tatsuya) Kiyosaki tengah berada di Kobe pada 14 April, namun ketika gempa besar melanda Kunamoto, dia bergegas kembali ke sana. Seorang korban mengatakan ‘saya hanya memiliki satu buah onigiri (bola nasi) sejak gempa dan tidak memiliki apa-apa lagi untuk memberi makan anak-anak saya. Dia melakukan tindakan sederhana semampunya dan mengatur persediaan bantuan agar dikirim ke sini’,” ungkap salah satu anggota Daimon-kai yang tidak ingin disebutkan namanya sebagaimana dilansir Japan Today.

Dari berbagai tindakan mereka, ada dua hal yang dapat ditelisik. Pertama, sindikat yakuza selalu menjadi pihak pertama dibanding pemerintah yang mengirim bala bantuan saat Jepang mengalami bencana. Kedua, dan ini yang menarik: pada sindikat tersebut tidak ingin warga tahu bahwa mereka yang mengirim bantuan.

Salah seorang anggota Yamaguchi-gumi yang ditemui Jake Adelstein dari Daily Beast, mengatakan:

"Kami telah berusaha semampunya untuk membantu, tolong jangan katakan apapun selain dari ini. Tidak ada pihak yang ingin disangkutpautkan dengan kami saat ini dan kami juga berharap donasi kami tidak ditolak.”

Tentu saja masa silam yakuza penuh yang berlumur darah dan dosa tidak dapat dilupakan. Namun ketika bencana alam terjadi, kemanusiaan adalah segalanya. Dan untuk itu, meski sesaat, dunia mestinya tidak dilihat dengan hitam dan putih.

Sindikat Kriminal dan Penjaga Perdamaian

Sebagaimana mafia (Italia), kartel (Amerika Latin), yakuza pada dasarnya merupakan istilah yang merujuk kepada sindikat kriminal dengan bisnis kotor yang meliputi perjudian, keamanan, prostitusi, hingga perdagangan manusia.

Untuk memahami asal muasal mereka, dapat dimulai sejak Shogun Tokugawa berkuasa pada tahun 1612. Akibat dari situasi tersebut, sekitar 500.000 orang samurai yang sebelumnya disebut hatomoyakko (pelayan shogun) menjadi kehilangan tuan. Mereka kemudian dikenal sebagai kaum ronin.

Dengan kondisi hidup yang tidak menentu, mayoritas ronin tersebut memilih menjadi penjahat dan dikenal sebagai kabuki-mono: istilah yang kurang lebih mendeskripsikan seorang samurai dengan gaya urakan dan selalu membawa pedang ke mana-mana. Selayaknya penjahat pula, mereka berbicara satu sama lain dengan menggunakan berbagai kode rahasia dan bahasa slang.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan para kabuki-mono mulai meresahkan masyarakat. Demi menjaga keamanan, banyak kota-kota kecil di Jepang membentuk machi-yokko, semacam satgas desa yang terdiri dari berbagai lintas profesi. Ironisnya, ketika machi-yokko mulai berhasil meredam keganasan para kabuki-mono, kebanyakan dari anggota mereka justru beralih menjadi pedagang curang (tekiya) atau penjudi (bakuto). Makin gawat karena pada abad 17 mereka juga dipelihara oleh Shogun.

Silang sengkarut kejahatan inilah yang kelak menjadi identitas kultural yakuza. Nama yakuza sendiri berasal dari permainan tradisional Oicho-Kabu, semacam permainan kartu blackjack khas Jepang. Secara harfiah, ya-ku-za (8-9-3) memiliki arti kehilangan tangan. Sebab itulah, tiap anggota yakuza yang bersalah akan diberi hukuman memotong jarinya sendiri atau disebut dengan istilah: yubitsume.

Para yakuza percaya bahwa sejatinya mereka memegang teguh filosofi yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan. Mereka menganggap dirinya sebagai “orang-orang yang akan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri demi membantu kaum yang lemah dan tertindas melawan pihak yang lebih kuat.”

Infografik Yakuza Juga Manusia

Pada 1992, salah seorang sutradara Jepang, Juzo Itami, pernah membuat film satire yang mengeksploitasi segala kedegilan yakuza: Minbo: the Gentle Art of Japanese Extortion, The Gangster's Moll and The Anti-Extortion Woman. Lima tahun usai film tersebut dirilis, Itami dikabarkan tewas bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tempat ia berkantor. Namun banyak yang percaya bahwa Itami sebetulnya dibunuh oleh Tadamasa Goto, mantan bos Goto-gumi, sindikat kriminal yang juga bagian dari Yamaguchi-gumi.

Terlepas dari fakta bahwa yakuza adalah sindikat kriminal dengan bisnis kotor yang mengerikan dan turut menciptakan beragam teror, keberadaan mereka membuat kejahatan di Jepang (seperti perampokan, pencurian, pencurian) menurun. Tidak sedikit warga Jepang yang masih mengagumi atau menoleransi mereka, terutama anak-anak muda dalam rentang 20-30 tahun belakangan ini.

Hal tersebut juga diperkuat dengan riset yang dilakukan National Police Agencies (NPA) pada Oktober 2010. Berdasarkan riset itu, terungkap bahwa satu dari sepuluh orang berusia di bawah 40 tahun menyebut keberadaan yakuza selayaknya “kejahatan yang diperlukan”.

Riset tersebut menyasar dua kelompok: warga yang berusia di atas 50 tahun dan di bawah 40 tahun. 75 persen kelompok pertama menyebut yakuza (atau kejahatan terorganisir lainnya) merupakan “komplotan anti-sosial dan masyarakat tidak boleh membiarkan keberadaannya". Sedangkan 22 persen bersikap biasa-biasa saja, dan 3 persen sisanya mengatakan bahwa "keberadaan yakuza bukanlah hal yang buruk".

Sementara dari kelompok berusia di bawah 40 tahun, 65 persen menganggap yakuza bukanlah organisasi yang harus dihilangkan dari masyarakat. Lalu 35 persen lainnya menyatakan hal yang kurang lebih sama dengan mayoritas kelompok tua, bahwa "keberadaan yakuza membuat saya tidak nyaman."

Riset terbaru NPA pada 2017 juga menunjukkan hal yang sama: penurunan jumlah anggota yakuza berimbas kepada meningkatnya kejahatan di Jepang. Sebagaimana dilansir Japan Times, jumlah total anggota yakuza di Jepang pada 2017 adalah 34.500 orang. Jumlah ini turun sekitar 4.600 orang dari tahun sebelumnya dan menjadi jumlah terendah sejak 1958.

Jumlah tindak kriminal di Jepang pada tahun 2017 paling banyak dilakukan oleh warga Vietnam yang mencapai angka 5.140 kejahatan, naik 3.177 kasus dibanding tahun lalu dan menyumbang 30,2 persen dari total kejahatan di negara tersebut. Adapun peringkat kedua ditempati oleh warga asal Cina dengan 4.701 kasus kriminal.

Sementara tindak kriminal yang memiliki keterlibatan dengan yakuza pada 2017 hanyalah delapan insiden saja, turun drastis dari tahun sebelumnya yang mencapai total 42 kejahatan. Dari delapan insiden tersebut, semuanya merupakan konflik antara Yamaguchi-gumi dan Kobe Yamaguchi-gumi dan mengakibatkan satu orang meninggal serta empat lainnya luka-luka.

Terkait hal tersebut, pihak dari NPA mengatakan: “Banyak dari anggota yakuza meninggalkan sindikat mereka karena terhalang pendanaan dan juga meningkatnya kontrol ketat polisi untuk menghapuskan kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir.”

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Humaniora
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono