Menuju konten utama

Saat Garuda Jadi Kurcaci

Indonesia untuk pertama kalinya bukan menjadi tim unggulan di ajang sepakbola paling bergengsi se-Asia Tenggara AFF Cup. Pada edisi 2016 nanti, skuat Garuda masuk masuk dalam kategori tim yang paling tidak dijagokan. Inilah masa degradasi Timnas Indonesia di persepakbolaan ASEAN.

Saat Garuda Jadi Kurcaci
Pesepakbola Timnas Indonesia melakukan peregangan saat latihan di komplek Stadion My Dinh, Hanoi. [Antara Foto/Prasetyo Utomo]

tirto.id - “Garuda bukan burung perkutut,” begitu kata Iwan Fals dalam sepenggal lirik salah satu tembangnya. Tapi, sepakbola Indonesia saat ini barangkali sudah dianggap menjadi semacam perkutut. Keperkasaannya sudah tak lagi terlihat. Tim sepakbola Garuda yang selama ini menjadi salah satu raksasa Asia Tenggara, kini hanya digolongkan ke dalam kelompok kurcaci.

ASEAN Football Federation (AFF) alias Federasi Sepakbola Asia Tenggara telah menetapkan Indonesia tergabung di pot 4 atau pot paling bawah di AFF Cup 2016 mendatang.

Timnas Indonesia memang tidak harus berangkat dari fase kualifikasi, tapi kasta pasukan Garuda di event dua tahunan itu setingkat dengan rombongan penggembira macam Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, juga Timor Leste. Mereka ini adalah tim-tim langganan kualifikasi yang harus saling baku-hantam dulu sebelum bisa tampil di putaran final AFF Cup.

Alih-alih bersanding dengan Thailand yang tetap konsisten menempati level tertinggi di persepakbolaan ASEAN, tim Merah Putih sekarang tidak lebih baik –jika tidak mau dikatakan lebih rendah– dari Vietnam, Singapura, Malaysia, Myanmar, bahkan Filipina.

Ranking FIFA Terendah Sepanjang Sejarah

Secara potensi, sepakbola Indonesia –termasuk tim nasionalnya– boleh dibilang masih bisa bersaing dengan negara-negara papan atas ASEAN lainnya. Ditempatkannya tim Garuda di pot 4 untuk AFF Cup 2016 nanti lebih didasarkan pada posisi Indonesia di peringkat FIFA terbaru.

Seperti diketahui, peringkat FIFA Indonesia dalam beberapa bulan terakhir terus melorot karena sanksi skorsing dari induk federasi sepakbola sejagat raya itu. Saksi tersebut diberikan setelah PSSI dibekukan oleh pemerintah pada pertengahan tahun 2015 lalu.

Akibat skorsing itu, Indonesia harus absen dari perhelatan sepakbola internasional yang resmi di bawah naungan FIFA selama sewarsa terakhir. Akibatnya, tidak ada tambahan poin bagi Indonesia yang berdampak pada merosotnya peringkat tim Merah-Putih di ranking FIFA.

Data terbaru per 14 Juli 2016, website FIFA mencantumkan posisi Indonesia yang kini berada di urutan 191 dunia dari total 205 negara. Ini adalah capaian terendah sepakbola Indonesia selama tercatat sebagai anggota FIFA sejak tahun 1952.

Indonesia jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand yang masih menjadi tim terkuat di ASEAN dengan menduduki peringkat 121 FIFA. Juga Filipina –yang dulu kerap menjadi bulan-bulanan setiap berhadapan dengan Indonesia– yang kini boleh jemawa karena bertengger di posisi 135 dunia atau peringkat 2 Asia Tenggara.

Disusul kemudian oleh Vietnam (139 dunia), Singapura (158), Myanmar (160), juga seteru abadi yakni Malaysia (167). Indonesia bahkan dilewati oleh rombongan gurem ASEAN seperti Laos (177), Kamboja (180), dan Timor Leste (185).

Indonesia saat ini hanya lebih baik dari Brunei Darussalam yang terpuruk di peringkat 198 dunia. Untuk diketahui, Brunei adalah negara yang sepakbolanya berposisi di urutan paling buncit untuk regional Asia Tenggara. Itu artinya, Indonesia adalah negara ASEAN yang menempati posisi kedua dari bawah dalam peringkat FIFA. Miris.

Berharap (Lagi) pada Alfred Riedl

Dicabutnya sanksi skorsing oleh FIFA sejak 13 Mei 2016 sempat membuncahkan harapan adanya perubahan signifikan di kancah sepakbola tanah air, termasuk untuk tim nasional. Namun, asa tersebut mulai menipis karena PSSI justru menunjuk kembali Alfred Riedl sebagai pelatih Timnas Indonesia.

PSSI sebenarnya sempat menyeleksi tiga pelatih lokal, yakni Nil Maizar, Rahmad Darmawan, dan Indra Sjafri. Namun, tidak ada angin tidak ada hujan, PSSI tiba-tiba mengumumkan bahwa Timnas Indonesia akan dibesut Alfred Riedl yang sebenarnya turut menjadi bagian dari masalah yang melanda persepakbolaan nasional dalam beberapa tahun terakhir.

Sebelum ini, Riedl dua kali menukangi Timnas Indonesia yakni pada 2010-2011 dan 2013-2014. Jika pelatih kawakan asal Austria itu dipekerjakan lagi di tim Merah-Putih untuk ketiga kalinya, apa yang bisa diharapkan?

Selain tidak mampu mempersembahkan prestasi yang membanggakan dalam dua kesempatan sebelumnya, kembalinya Riedl juga membuyarkan angan-angan dan harapan masyarakat yang menginginkan reformasi sepakbola nasional setelah PSSI terbebas dari sanksi FIFA.

Prestasi terbaik Riedl adalah saat mengantarkan Timnas Indonesia menembus babak final AFF Cup 2010 silam. Di partai puncak menghadapi Malaysia yang digelar dengan format kandang-tandang, Bambang Pamungkas dan kawan-kawan sempat menang 2-1 di Jakarta, tetapi kalah telak 0-3 di Kuala Lumpur sehingga trofi AFF Cup pun lepas dari genggaman. Di luar itu, ada dugaan telah terjadi konspirasi sehingga Indonesia bisa kalah telak di Malaysia. Nama Riedl turut tersangkut dalam pusaran prasangka tersebut.

Riedl diberhentikan pada 13 Juli 2011. Tak lama berselang, sepakbola Indonesia dilanda polemik usai tumbangnya Nurdin Halid dari pucuk pimpinan PSSI. Kepengurusan PSSI pun jatuh ke kubu seberang yang diotaki oleh pengusaha nasional, Arifin Panigoro. Sementara sisa-sisa pendukung Nurdin Halid membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) di bawah komando La Nyalla Mattalitti.

Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI tanggal 17 Maret 2013 menandai kembalinya rezim lama yang dipimpin oleh La Nyalla Mattalitti. PSSI kemasan baru dengan muka-muka lama ini pun memanggil Alfred Riedl untuk mengawal Timnas Indonesia di AFF Cup 2014. Kesempatan keduanya di timnas membuahkan hasil nol besar. Tim Garuda tersingkir di fase penyisihan grup dan Riedl pun harus meletakkan jabatannya.

Jelang AFF Cup 2016 di Myanmar dan Filipina pada 19 November mendatang, Riedl didatangkan lagi. Mantan pelatih tim nasional Austria, Liechtenstein, Vietnam, Palestina, dan Laos ini langsung mengusung target tinggi, yakni ingin meloloskan skuat Merah-Putih ke final meskipun Indonesia harus mengalami degradasi sebagai tim yang tidak lagi diunggulkan.

Pertaruhan di AFF Cup 2016

Sepanjang keikutsertaannya di AFF Cup sejak 1996, Indonesia memang belum pernah meraih posisi terbaik. Namun, itu bukan berarti Indonesia adalah tim lemah di kancah Asia Tenggara. Kecuali tahun ini, tim Garuda selalu menjadi salah satu tim unggulan meskipun senantiasa gagal membawa pulang trofi juara.

Thailand dan Singapura adalah dua negara ASEAN yang paling sering menjuarai AFF Cup, yakni sebanyak 4 kali. Pasukan Gajah Putih meraih kampiun untuk edisi 1996, 2000, 2002, dan 2014, sedangkan tim nasional Negeri Singa memenangi ajang ini pada 1998, 2004, 2007, serta 2012. Sementara Vietnam dan Malaysia masing-masing pernah sekali juara, yakni pada 2008 dan 2010.

Adapun Indonesia selama ini menjadi spesialis finalis alias hanya mentok sebagai juara kedua. Tim Merah-Putih menyandang gelar runner-up terbanyak di ajang yang sebelumnya bernama Tiger Cup ini, yaitu tampil di final AFF Cup 2000, 2002, 2004, serta 2010.

Target Alfred Riedl yang ingin membawa Indonesia menginjak partai puncak seperti yang pernah dilakukannya pada 2010 silam boleh jadi sulit untuk diwujudkan mengingat persiapan yang sangat mepet, juga situasi persepakbolaan nasional yang belum sepenuhnya bebas dari berbagai macam intrik.

Di sisi lain, diakui atau tidak, Indonesia kian tertinggal oleh negara-negara ASEAN lainnya. Contoh paling nyata adalah Thailand yang kini sanggup menyejajarkan diri dengan negara-negara kuat di level Asia. Juga Vietnam, Myanmar, Singapura, dan Malaysia yang tetap bisa mempertahankan konsistensinya untuk bersaing, setidaknya di tingkat Asia Tenggara.

Belum lagi fenomena Filipina yang sepakbolanya menunjukkan perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. The Azkals saat ini bukan lagi berstatus sebagai tim pecundang di ASEAN berkat peran krusial barisan pemain naturalisasinya.

Meskipun begitu, Alfred Riedl yakin Indonesia bisa membuat kejutan selayaknya Leicester City yang meruntuhkan semua ramalan dengan meraih gelar juara Liga Premier Inggris musim lalu.

Pelatih veteran berusia 66 tahun ini juga berjanji bakal melakukan penyegaran di skuat Merah-Putih dengan menyertakan lebih banyak pemain baru dan talenta muda berbakat untuk tampil di AFF 2016. Riedl seolah-olah ingin menepis anggapan bahwa kehadirannya akan menghambat cita-cita reformasi persepakbolaan nasional.

Patut ditunggu, apakah Riedl mampu menunjukkan Indonesia masih layak bersaing di pentas sepakbola ASEAN atau tidak. Ajang AFF Cup 2016 akan menjadi pembuktian diri bagi Riedl bahwa ia memang pantas diberi kesempatan ketiga untuk membawa armada Garuda terbang lebih tinggi, bukan menjadi tim kurcaci.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti