tirto.id - Hari-hari setelah Natal dan sebelum tahun baru tak hanya menggembirakan bagi anak-anak yang merayakannya, tetapi juga bagi para investor dan trader saham. Mereka menunggu reli Sinterklas, berharap keajaiban dari Sinterklas yang membuat harga saham terdongkrak.
Menurut Stock Trader Almanac 2015, sejak 1969, harga saham di hampir setiap libur Natal memang menunjukkan kenaikan. Ini tentu tak terjadi di setiap tahun. Ada 44 musim liburan Natal dalam rentang tahun 1969 sampai 2014. Sebanyak 34 musim dari 44 musim ini, selalu ada tren positif dalam perdagangan lima hari setelah Natal dan dua hari setelah tahun baru.
Imbal hasil akumulatif dari musim libur itu adalah 1,6 persen. Namun, Stock Trader Almanac mencatat, harga saham akan turun setidaknya dalam satu hari di antara hari-hari itu.
Kepercayaan para trader dan investor akan mitos reli Sinterklas ini juga didukung data sejarah yang lebih panjang. Sejak 1896 sampai 2015, Dow Jones Industrial Average mencetak imbal hasil rata-rata 1,7 persen selama periode perdagangan tujuh hari itu.
Menanjaknya harga saham di hampir setiap libur Natal tentu bukan karena dikerek oleh kereta Sinterklas. Ada alasan-alasan ekonomi yang menyebabkannya.
Seperti dikutip Business Insider, Kepala Strategi Investasi PNC Financial Service, William Stone memaparkan beberapa penyebab. Optimisme dan kepercayaan para investor pada mitos itu sendiri sebenarnya ikut mendongkrak harga saham.
Ketika para investor percaya akan adanya kenaikan harga saham di akhir tahun, maka mereka akan ramai-ramai membeli saham. Semakin banyak aksi beli, harga saham semakin terdongkrak. Selain itu, sejumlah manajer investasi juga menjual beberapa saham dan membeli yang lain untuk mengunci pengurangan pajak.
William juga mengatakan, banyak orang yang menginvestasikan bonus Natal-nya di akhir tahun sehingga ikut mendongkrak harga. Karena tujuh hari itu adalah masa liburan, menurutnya, ada banyak sekali trader yang sedang berlibur.
Dalam perdagangan saham, trader adalah pembeli saham jangka pendek. Ia akan membeli ketika murah, dan segera menjual ketika harga naik. Jadi, ketika para trader menghabiskan waktu untuk berlibur, aksi jual dalam waktu singkat akan menurun. Harga saham akan lebih beik ketika tak terlalu banyak dihantam aksi jual.
Sejak tahun 1990, ada beberapa tahun yang memupus harapan para penanti reli Sinterklas. Tahun 1990, 1999, 2004, 2007, dan 2014, reli Sinterklas tak terjadi. Saham menunjukkan tren negatif dalam masa libur Natal itu. Bahkan imbal hasil pada 1999 dan 2007 pada lima hari setelah Natal dan dua hari setelah tahun baru tercatat negatif. Lalu bagaimana dengan tahun ini?
Awal Desember lalu, salah satu manajer investasi ternama, Schroders, meliris data tentang berapa persen kemungkinan Reli Sinterklas benar terjadi pada sejumlah bursa saham di dunia. Kecenderungan reli Sinterklas terbesar terjadi di Inggris. Sejak tahun 1993, FTSE 250, salah satu indeks saham di Inggris mencatatkan imbal hasil rata-rata 2,29 persen selama tujuh hari pasca-Natal. Menurut Schroders, peluang terjadinya reli Sinterklas pada FTSE sebesar 96 persen, terbesar di antara bursa lainnya.
Sementara itu, indeks FTSE All yang berisi seluruh saham di Inggris memiliki peluang terbesar kedua, yakni 83 persen. Sejak tahun 1984, ia memberikan imbal hasil rata-rata 1,82 persen pada akhir tahun.
Dow Jones, indeks di Amerika Serikat berada di posisi ke lima. Peluang terjadi reli Sinterklas pada indeks ini hanya 72 persen. Rerata imbal hasil yang diberikan pun tak sampai 1 persen, hanya 0,97 persen.
Para investor bursa saham Jepang, Nikkei, harus berhati-hati. Jangan berharap terlalu tinggi akan adanya reli Sinterklas tahun ini. Sejak 1988 hingga saat ini, rata-rata pertumbuhan harga saham pada seminggu setelah Natal hanya 0,49 persen. Schroders mencatat peluang terjadinya reli Sinterklas di Nikkei hanya 59 persen. Ia berada di urutan ke sembilan dan sembilan indeks yang diurutkan Schroders.
“Perayaan Natal di Jepang tidak semeriah di Eropa atau Amerika, fakta ini bisa menjelaskan mengapa kinerja Nikkei pada akhir tahun tak begitu terpengaruh reli Sinterklas, jika Anda percaya kemeriahan bisa menggerakkan pasar,” tulis Ben Arnold dari Schroders. Indeks di Indonesia pun tak masuk dalam daftar peluang reli Sinterklas yang disusun Schroders.
Dalam dunia investasi, reli Sinterklas atau Santa Rally hanyalah takhayul, tak lebih dari sekadar mitos. Ia seperti mitos investasi di Inggris yang berbunyi “Jual pada Mei dan pergilah, beli lagi pada hari St Leger”.
Teorinya adalah, musim panas biasanya kinerja saham menjadi yang terburuk. Waktu terbaik menjual saham adalah Mei. Lalu simpan uang itu, untuk kemudian beli lagi pada September, saat pacuan kuda St Leger.
Mitos-mitos ini bukanlah panduan berinvestasi yang benar. Tetapi kerap dipercaya dan dijadikan panduan oleh para investor. Adakah reli Sinterklas tahun ini? Schroders sudah mengeluarkan prediksi, ada atau tidak, jawabannya tentu baru bisa diketahui setelah merayakan Natal hari ini.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti