Menuju konten utama

Propaganda Efektif ISIS di Jejaring Sosial

ISIS memanfaatkan media sosial dan internet untuk menyebarkan pengaruhnya. Pola promosi yang indah dan segar, membuat banyak anak muda tertarik menjadi anggota ISIS.

Propaganda Efektif ISIS di Jejaring Sosial
Polisi Spanyol menangkap pria karena diduga menggunakan media sosial untuk merekrut orang-orang untuk kelompok-kelompok kekerasan seperti negara islam. [Foto/Reuters]

tirto.id - Jika Anda menonton film dokumenter Jihad Selfie yang dibuat oleh Noor Huda Ismail, Anda akan tahu bagaimana perekrutan ISIS bekerja. Mereka mulai dari sosial media, masuk ke anak-anak muda, memberikan pemahaman tentang citra ideal Islam versi mereka. Lantas, ketika si anak muda tadi tertarik, mereka diminta berbaiat menjadi gerombolan ISIS. Pada beberapa kasus, rekrutmen ini dilakukan secara terbuka di depan mata aparat negara tanpa ada sanksi apa-apa.

Sementara ISIS dengan gencar bekerja merekrut, mencari, dan menyebarkan paham mereka di Internet, beberapa dari kita berdebat tentang apakah melawan ISIS di Internet itu efektif? Memangnya ‪#‎hasthag‬ bisa ngubah keadaan? Perdebatan ini membuat banyak orang berhenti memerangi ISIS di media sosial.

Sementara ISIS, tak peduli akan debat itu, terus gencar mempropagandakan kebencian mereka setiap hari.

Berdasarkan laporan dari Brookings Institute pada Desember 2014 ada 46.000 akun Twitter yang berafiliasi dan mendukung ISIS. Tentu saja tidak semua akun itu hidup dan aktif .Namun, jika 10 persen saja aktif, bayangkan berapa banyak propaganda kebencian yang dilancarkan? Jika dari 10 persen itu mampu merekrut satu orang per hari, maka berapa orang yang bisa direkrut ISIS selama sebulan?

Mantan anggota keamanan nasional Amerika Serikat, Hillary Mann Leverett, pada Februari 2015 menyebut ISIS menggunakan setiap platform media sosial yang ada untuk melancarkan propaganda dan merekrut anggota baru. ISIS setiap harinya mengirimkan 90.000 pesan digital di akun media sosial mereka. Termasuk Twitter, video di Youtube, postingan di Facebook, blog dan sejenisnya.

Sementara kita masih berdebat bahwa percuma melawan propaganda ini, ISIS setiap hari mendapatkan simpatisan dan anggota baru.

J.M. Berger, seorang peneliti di Brookings Institution, pada 2015 memberikan kesaksian di Amerika Serikat terkait penggunaan media sosial oleh ISIS. Penelitian ini didanai dan difasilitasi oleh Google. Berger bersama koleganya menggunakan sistem yang mengidentifikasi dan melacak siapa saja pendukung ISIS di media sosial.

Hasil penelitian Berger semakin membuka mata tentang agresivitas ISIS dalam penggunaan media sosial. ISIS sebelumnya disebut melancarkan 90.000 pesan sehari. Namun, Berger menyebut angka paling ideal adalah 200.000 per hari. Angka itu termasuk berasal dari twit, postingan video, dan blog. Kebanyakan dari mereka berasal dari Iraq dan Suriah.

Berger juga menyebut bahwa ISIS menggunakan hastag tertentu untuk mengidentifikasi pendukung mereka. Setelah itu mereka akan merekrut dan mengajak mereka untuk bergabung. Setidaknya pada 2014, ada 3.000 relawan ISIS berasal dari negara-negara dengan non mayoritas penduduk islam, seperti Eropa dan Amerika.

John Little, pengamat keamanan dan teknologi di Blogs of War, menyebut ISIS menggunakan video, foto, dan kata-kata propagandis untuk menarik perhatian. Mereka menyasar anak-anak muda yang mencari jati diri untuk bergabung. Foto dan video tersebut juga digunakan untuk memulai konflik sektarian antara sunni - syiah, atau muslim - non muslim.

Menariknya, kebanyakan dari relawan ini berakhir menjadi "pengantin". Sejauh ini rekrutmen jihadis banyak menjadi pelaku bom bunuh diri ketimbang para perekrutnya. Dengan iming-iming surga, mereka mengajak orang untuk meledakkan diri, sementara para perekrutnya tidak melakukan hal itu.

Twitter tentu tidak diam saja. Pada Kamis, 11 Agustus lalu, mereka telah menutup lebih dari 235.000 akun yang mempromosikan terorisme sejak Februari. Angka ini melebihi penutupan 125.000 akun yang dilakukan Twitter tutup sebelumnya. Hingga hari ini, sudah ada 360.000 akun yang ditutup sejak Juni 2015. Penutupan ini merupakan sikap langsung Twitter merespons penyebaran kebencian dan promosi tindakan teror di platform media sosial mereka.

Selama dua tahun terakhir Twitter dikritik banyak pihak karena dianggap kurang melakukan tindakan nyata untuk melawan promosi teror. Penutupan akun baru dimulai pada awal 2014 dan mulai aktif dilakukan secara masif usai penembakan massal di San Benardino Desember lalu. Ini berkaitan dengan seruan presiden AS Obama yang meminta perusahaan berbasis teknologi untuk membuat teroris makin susah dalam menyebarkan kebencian mereka.

Twitter sendiri menyebut rata-rata penutupan akun penyebar teror dan kebencian naik 80 persen dibanding tahun lalu. Penutupan akun tersebut ditandai dengan penambahan alat untuk mendeteksi akun-akun yang dicurigai menyebar kebencian dan menyewa pakar bahasa dari berbagai negara untuk mengafirmasi konten kebencian mereka. Ini dilakukan karena sampai hari ini belum ada alogaritma untuk mendeteksi kebencian. Manusia masih menjadi pihak utama untuk mendeteksi konten itu.

Sejauh ini, para teroris baik yang tergabung dengan ISIS atau komunitas lain makin cerdik memanfaatkan teknologi internet. Insiden penyerangan teroris di Paris yang menewaskan 127 orang dan melukai 300 lainnya adalah produk dari media sosial dan internet. Para teroris ini merencanakan dan berkomunikasi via PSN Account di PS4. Cara ini tak pernah dipikirkan sebelumnya oleh penegak hukum, sehingga mereka kebobolan.

Peter Bergen analis CNN menyebut bahwa 10 tahun lalu amat sulit membayangkan seorang jihadist di Pakistan atau Suriah akan berkorespondensi dengan remaja tanggung di Philadelpiha. Atau Seorang ekstremis di Irak menjadi sahabat pemuda galau di Paris. Internet membuat semuanya mudah dan riset terbaru menunjukkan bahwa rata-rata pasukan yang direkrut ISIS masih berusia 24 tahunan atau dengan kata lain milenial.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Usai serangan bom yang terjadi di Jl. MH. Thamrin, 14 Januari lalu, komitmen masyarakat membantu pemerintah untuk menanggulangi terorisme di Indonesia sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya laporan dari masyarakat terkait munculnya situs radikal yang memberikan dukungan atas perjuangan ISIS atau situs yg mengajarkan membuat bom untuk mendukung perjuangan mereka, sebagaimana yang diperjuangkan oleh ISIS.

Dari 27 situs terindikasi berisi konten radikal, 24 (dua puluh empat) situs telah diproses untuk pemblokiran dan Tiga situs masih perlu didalami. Kemkominfo melalui akun resmi mereka di Twitter juga menambahkan hingga Juli 2016, ada 4.602 akun medsos dengan konten negatif diblokir atas aduan dari masyarakat.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti