Menuju konten utama

Membebaskan Diri dari Si Jago Merah

Melalui program Desa Bebas Api, masyarakat lebih senang mendapatkan upah tebas ketimbang harus bakar lahan

Membebaskan Diri dari Si Jago Merah
Ilustrasi Hutan Tropis di Indonesia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Membuka lahan pertanian dengan cara membakar menjadi tradisi sebagian masyarakat Indonesia. Di Kalimantan Barat, misalnya, hal demikian dinamakan gawai serentak. Di pedalaman Banten, setelah nyacar dan nukuh—membersihkan rumput dan ranting-ranting kemudian mengeringkannya—masyarakat Baduy melakukan tradisi ngaduruk untuk menyiapkan lahan. Sedangkan di kawasan Sumatera, hal serupa disebut merun.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 99% kebakaran lahan dan hutan di Indonesia terjadi akibat ulah manusia. "Antara lain, tidak sengaja karena buang puntung rokok atau membakar sampah, disengaja karena ingin membuka lahan, dan disengaja karena dibayar," kata Kepala BNPB Doni Monardo, (4/3). BNPB mencatat, pada 2015, kerugian ekonomi Indonesia akibat kebakaran hutan mencapai 221 triliun atau 2x lipat kerugian ekonomi lantaran bencana tsunami di Aceh.

Menjaga lingkungan adalah tugas bersama umat manusia. Karenanya, hal demikian tidak menjadi tanggungan segelintir pihak saja—bukan tugas pemerintah maupun perusahaan yang diberikan izin mengelola kawasan. Di bagian bumi mana pun, masyarakat sama-sama punya andil untuk ikut serta mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun ini akan lebih kering dari tahun sebelumnya akibat fenomena El Nino. Selain kekeringan, BMKG juga mengingatkan adanya potensi kebakaran hutan dan lahan gambut, terutama pada puncak kekeringan yang diperkirakan terjadi di bulan Agustus.

Karena itulah sejak 2014 lalu, pelibatan masyarakat dalam pencegahan karhutla menjadi fokus Program Desa Bebas Api atau Free Fire Village Programme (FFVP). Diinisiasi oleh APRIL Group, induk usaha PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), FFVP menjadi terobosan untuk mencegah karhutla dengan turut mengajak dan menumbuhkan kepedulian masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar wilayah operasional perusahaan akan bahaya dan dampak dari api, terutama penggunaan metode tebang bakar (slash-and-burn) dalam membuka lahan pertanian.

FFVP dimulai dengan memberikan pengetahuan dan bantuan penyiapan lahan tanpa bakar kepada warga setempat. Hal demikian amat fundamental peranannya mengingat ketika masyarakat diminta untuk tidak membakar lahan, mereka juga harus diberikan solusi yang nyata.

Infografik Advertorial RAPP 5

Infografik Membebaskan Diri Dari Si Jago Merah. tirto.id/Mojo

Antusiasme Masyarakat

Sebagai bentuk apresiasi, desa yang berhasil menjaga lahannya bebas dari karhutla dalam kurun waktu tertentu akan diberikan penghargaan atau reward berupa dana bantuan infrastruktur sebesar Rp100 juta.

Desa Mekar Sari, Kecamatan Merbau, Kabupaten Meranti contohnya.

Desa dengan luas wilayah 29 km persegi tersebut tercatat dua kali diganjar penghargaan Desa Bebas Api. Pada 2017, hadiah yang diberikan pihak RAPP berupa bantuan penerangan jalan. Sedangkan untuk tahun 2018, hasil musyawarah masyarakat menyepakati agar dana bantuan 100 juta dialokasikan untuk mushola.

“Awalnya lumayan susah membiasakan mereka untuk tidak membuka lahan dengan cara bakar. Tapi lama kelamaan mereka mengerti bahwa program Desa Bebas Api ini membawa banyak kebaikan,” ujar Erman, sang Kepala Desa.

Program Desa Bebas Api digalakan RAPP dengan menyediakan Crew Leader, yakni tenaga yang secara kontinyu mendampingi dan mengingatkan masyarakat agar tidak membakar lahan.

“Kami senang sekali dan sangat termotivasi mengikuti program ini, terlebih dari segi infrastruktur terasa sekali perkembangannya. Masyarakat juga lebih senang mendapatkan upah tebas ketimbang harus bakar lahan,” tegas Erman.

Terbukti, upaya RAPP menggelar program Desa Bebas Api efektif membantu menurunkan angka kebakaran khususnya di daerah dimana RAPP beroperasi di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau. Pada 2014, area yang terbakar mencapai 0,18% dari total area yang dicakup. Angka tersebut terus menurun menjadi 0,01%, 0,07%, dan 0,03% pada tiga tahun berikutnya. “Pada 2018, area yang terbakar berkurang menjadi 0,02%,” terang Dirut RAPP Sihol Aritonang.

Sebagai gambaran, saat ini, tercatat ada 50 desa di 7 Kabupaten se-Provinsi Riau yang tercatat sebagai mitra RAPP. 30 desa di antaranya, yang ada di tahap desa bebas api, total wilayahnya mencapai 600 ribu hektar. Karena itulah Sihol menegaskan, program Desa Bebas Api yang digagas pihaknya tidak semata-mata merupakan edukasi bagi masyarakat, namun juga salah satu bentuk dukungan terhadap program pemerintah.

“Ketika ada warga yang punya lahan dan punya bibit berencana membakar lahannya, kami tawarkan bantuan untuk buka lahan tanpa bakar. Selanjutnya, kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa membakar itu tidak baik buat mereka dan lingkungan,” ujar Manajer FFVP Sailal Arimi saat dihubungi Tirto, Senin (8/7).

Selain fokus pada FFVP, APRIL Group juga melakukan serangkaian inisiatif untuk mengantisipasi periode rawan kebakaran di wilayah sekitar konsesinya sejak 1 Juli hingga 30 September mendatang. Selain memberikan peringatan periode rawan kebakaran, perusahaan juga aktif mensosialisasikan hal tersebut melalui saluran komunikasi dan pertemuan dengan masyarakat. APRIL juga meningkatkan frekuensi patroli baik darat dan udara serta terus berkoordinasi dengan masyarakat dalam pencegahan karhutla selama periode rawan kebakaran.

Siapa pun yang tak bisa memperhatikan hal-hal kecil tak kan sanggup mencapai sesuatu yang besar. Bahwa menjaga lingkungan menjadi tanggungjawab bersama umat manusia, RAPP memulainya lewat program Desa Bebas Api—itulah arti lain dari pepatah “satu langkah pertama menentukan capaian 1000 langkah berikutnya.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis