Menuju konten utama
Kisah-Kisah Judi

Melawan Legalisasi Judi: Soeharto Dalang Segala Bencana

Orde Baru melegalisasi judi dan masyarakat melawannya. Salah satu program, SDSB, dipelesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana.

Melawan Legalisasi Judi: Soeharto Dalang Segala Bencana
Ilustrasi Soeharto bermain Golf. FOTO/tirto.id

tirto.id - (Artikel sebelumnya dapat dibaca di tautan berikut: Orde Baru adalah Rezim Penyelenggara Judi)

Soeharto Dalang Segala Bencana.

Demikian orang-orang memelesetkan kepanjangan SDSB. Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah adalah salah satu program undian berhadiah yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru. Orang-orang membeli kupon dan akan mendapat uang jika tebakannya berhasil--yang peluangnya sangat kecil.

Memelesetkan SDSB bahkan bukan hanya dilakukan mereka yang tak sepakat dengan legalisasi judi, tapi para oposisi yang pada dasarnya jengah dengan Orde Baru. Poster “Soeharto Dalang Segala Bencana” ada dalam demonstrasi menuntut Soeharto mundur.

Sudomo yang waktu itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan tidak sepakat dengan protes masyarakat. Dia menuding orang-orang “tidak memahami” tentang konsep SDSB dan “melemparkan tuduhan seolah-olah pemerintah memacu judi.”

Buku Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan (1997) yang ditulis Julius Pour menyebut Sudomo merasa agen-agen SDSB yang tidak mengikuti aturan jadi awal mula penolakan masyarakat. Hal ini Sudomo simpulkan setelah melakukan penyelidikan ke lapangan.

Selain itu, Sudomo juga merasa SDSB memang tidak berhasil dijelaskan dengan baik. Tapi penjelasan apa pun tentang SDSB akan berakhir pada anggapan bahwa itu memang judi. Konsepnya jelas: menebak angka, kalau kita mujur maka akan dapat hadiah.

Alasan Sudomo tetap mendukung SDSB pada akhirnya adalah ekonomi. Uang yang didapat dari SDSB sangat membantu pemerintah.

“Perlu kita pertimbangkan tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai, walaupun tentunya kita harus sadari tentang ekses-ekses yang dapat timbul, kalau pelaksanaannya tidak baik,” kata Sudomo.

Tapi toh akhirnya SDSB diakhiri juga pada 1993. Itu diputuskan setelah ada aksi penolakan besar-besaran dari masyarakat, terutama mahasiswa. Pendiri PAN Amien Rais dan Komisioner KPU Hasyim Asy’ari adalah dua di antaranya.

Satu tokoh lain yang cukup terkenal adalah Nuku Sulaiman. Dia biang kerok penyebaran stiker “Soeharto Dalang Semua Bencana”. Setelah berhasil ditangkap, dia dijebloskan ke penjara Cipinang.

Penangkapan Nuku, yang merupakan pendiri Yayasan Pijar tak mampu membungkam gelombang protes. Meski jelas ada kisah positif seperti larisnya kios yang menjajakan kupon SDSB, negatifnya tak kalah banyak. Majalah Tempo November 1993 menyebut mereka yang kalah “ada yang mati, gila, bunuh diri, bahkan ada pula yang menyerahkan anak gadisnya ke dukun.”

Masyarakat sepakat, SDSB harus hilang.

Salah satu demonstrasi yang cukup besar terjadi di daerah Sampang, Jawa Timur. Massa menuntut Bupati Kolonel Bagus Hinayana untuk turun dari singgasana. Karena tuntutan massa bertemu bupati tak dipenuhi, kios-kios penjaja SDSB dirusak dan baku hantam dengan aparat tak terelakkan.

Di Jakarta, pengunjuk rasa memenuhi Jalan Veteran sampai Istana Negara dan Bina Graha. Tuntutan mereka hanya satu: Stop SDSB. Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) dan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) NU termasuk di antara kelompok yang melakukan demonstrasi.

Meski diusahakan terus dengan berganti nama, izin soal kupon berhadiah tak pernah berhasil diloloskan lagi. Keuntungan yang didapat negara dianggap tak sebanding dengan kerugian masyarakat.

Tapi judi tak pernah hilang. Judi dilakukan diam-diam sampai sekarang. Bahkan ada dugaan praktiknya didukung oleh aparat.

Judi, atau secara umum taruhan, terkadang dilakukan dalam lingkup internal untuk bersenang-senang. Banyak artis memopulerkan konsep taruhan dalam bentuk uji ketangkasan atau kuis untuk konten di media sosial. Misalnya: “Tebak 1 nama negara dapat Rp 100 ribu.”

Bedanya, tidak ada kerugian apa-apa jika toh orang tersebut gagal memenuhi tebakannya. Seperti yang dibahas di artikel sebelumnya, permainan dengan “taruhan” ini pada dasarnya hanya untuk senang-senang dan interaksi sosial.

“Taruhan” tiap orang tentu berbeda-beda, kadang hanya konyol belaka, dan tidak terikat konsensus hukum.

Saya, misalnya, pernah bertaruh soal masa depan dengan pasangan ketika main mesin capit di sebuah pusat permainan. “Kalau dapat tuh boneka, kulamar kamu,” katanya. Saya dapat satu boneka setelah sekitar lima percobaan. Bayangkan jika permainan tantangan cum taruhan ini dilegalkan: saya bisa dapat istri hanya dengan modal satu buah boneka Timezone.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait JUDI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino