Menuju konten utama

Maraknya Penggunaan Virtual Influencer di Bisnis Kecantikan

Penelitian VirtualHumans.org dan Hype Auditor menunjukkan, virtual influencer memiliki engagement rates 2 kali lebih tinggi daripada manusia.

Header Virtual Influencer. tirto.id/Quita

tirto.id - Desember tahun lalu, merek kecantikan Nars mengambil langkah berani dengan meluncurkan brand ambassador (duta merek) virtualnya bernama Maxine, Chelsea, dan Sissi. Ketiganya disebut Power Players yang terinspirasi dari 3 warna lipstik Powermatte terlaris milik Nars.

Ketiga metahuman tersebut berperan sebagai juru bicara digital Nars - mewujudkan komitmen perusahaan terhadap inovasi digital di berbagai ekosistem digital. Metahuman merupakan sebuah produk teknologi baru yang digadang-gadang akan mendorong tren virtual influencer di masa depan.

Sebagai duta merek virtual, Power Players tidak hanya merepresentasikan warna lipstik, tapi juga kepribadian orang yang akan memakainya.

Maxine adalah mewakili warna merah permen apel yang disebut Dragon Girl. Chelsea terinspirasi oleh mawar berdebu - American Woman. Dan Sissi, representasi visual dari maple merah - Too Hot To Hold. Tiap avatar memiliki cerita, passion, dan latar belakang yang berbeda.

Mereka adalah warna lipstik terlaris yang memiliki konektivitas emosional yang sangat kuat.

Dalam pembuatannya, ada dua aspek yang diambil yaitu warna produk dan persona individu. Tim kreatif kemudian membuat sketsa karakter yang kemudian menjadi tiga avatar Power Players, yang dikembangkan di Unreal Engine 5 dari Epic Games.

“Kami mengembangkan Nars Power Players dengan tujuan melibatkan pengguna secara asli dalam lingkungan metaverse dan web3 yang berkembang pesat” kata Dina Fierro, Wakil Presiden, Inovasi dan Strategi Digital Global.

“Seiring dengan perkembangan teknologi dan perilaku konsumen, kami mengaktifkan duta merek virtual kami melalui berbagai titik kontak, termasuk konten XR, format media, aktivasi metaverse, dan seterusnya”.

Nars memperkenalkan Power Players melalui media sosialnya: Instagram, TikTok dan, Douyin. "Kami melakukan yang terbaik untuk berpikir secara strategis daripada oportunis. Peluang tercipta saat kami melihat masa depan,” kata Fierro.

Ilustrasi Virtual Influence

Ilustrasi Virtual Influence. instagram/NARS

Pada bulan Juli, Nars juga meluncurkan Color Quest yang dapat dimainkan di game Roblox, yang menurut Fierro bermanfaat karena skala Roblox yang menarik (lebih dari 41,8 juta kunjungan).

Virtual influencer menawarkan peluang untuk meningkatkan keterlibatan digital di tingkat global. Selain AS dan Inggris, Asia adalah pasar utama Nars. “Di Asia, telah terjadi adopsi dan penerimaan yang luas pada avatar virtual,” kata Fierro.

“Memiliki trio influencer bermerek membuka level baru dalam eksekusi kreatif bagi kami.”

Perkembangan industri idola-virtual di China juga berkembang pesat.

Menurut platform teknologi kecerdasan buatan Qbit-AI, pasar virtualnya diperkirakan akan mencapai 270 miliar RMB (yuan) atau setara $40,47 miliar pada tahun 2030 mendatang.

Selain itu, menurut laporan Tren Terkini Instagram 2023,( about.instagram.com), lebih dari separuh pengguna media sosial gen Z berencana untuk mendapatkan inspirasi mode atau kecantikan dari avatar digital atau influencer.

Untuk gen Z, kecantikan dan fesyen akan berlanjut dan menarik minat mereka.

Di dunia metaverse, gen Z membangun dunia baru yang mereka harap dapat mengekspresikan individualitas dan dedikasi pada kewajaran di dunia digital. Sejumlah 67% pengguna merasa avatar harus merefeksikan berbagai tipe bentuk tubuh, pakaian dan warna kulit.

Berlomba Menggunakan Virtual Influencer

Virtual influencer dapat didefinisikan sebagai individu fiktif yang dihasilkan komputer yang sering digunakan untuk tujuan pemasaran, terutama strategi berbasis media sosial.

Virtual influencer diciptakan dalam bentuk avatar yang dibuat secara independen, dengan pembentukan brand personalities (kepribadian merek), yang mewakili perusahaan dalam berbagai aspek dunia digital.

Salah satu influencer virtual yang cukup diminati oleh gen Z adalah Lil Miquela (@lilmiquela) dari Los Angeles, Amerika Serikat yang memiliki 2,9 juta pengikut Instagram. Kemudian ada juga Lu do Magalu (@magazineluiza) dari Brasil, yang memiliki 6,2 juta pengikut.

Keduanya telah bekerja dengan berbagai merek, yaitu Prada dan Dior. Perbedaan mereka dengan influencer pada umumnya adalah bahwa mereka diciptakan oleh perusahaan teknologi canggih.

Magalu pertama kali muncul pada tahun 2019, dan awalnya diproduksi oleh perusahaan dengan nama yang sama sebagai sarana untuk mempromosikan iBlog TV melalui YouTube. Sedangkan Lil Miquela diluncurkan sebagai proyek Instagram oleh pengembang Trevor McFedries dan Sara DeCou pada tahun 2016.

Merek pakaian Pacsun bermitra dengan Miquela untuk kemitraan multi-musim yang dimulai pada bulan Agustus karena kehadirannya secara online.

“Saat Anda membuat avatar digital baru, Anda harus berupaya menciptakan kepribadian itu,” kata presiden Pacsun Brieane Olson kepada Vogue Business. "Posisi Miquela adalah sebagai penarik minat gen Z. Miquela juga memiliki sejarah mode dan kesadaran sosial yang membuatnya sangat cocok untuk kami,” katanya.

Sementara itu, merek pakaian asal Inggris, Marks & Spencer membuat virtual influencer pertamanya bernama Mira dan memiliki akun Instagram khusus.

Perusahaan itu mengatakan peluncuran Mira ada sebagai upaya untuk terhubung dengan audiens yang lebih muda dengan membangun komunitas baru yang berfokus pada teknologi.

Tren ini mengikuti inisiatif serupa oleh grup fesyen mewah LVMH, yang memperkenalkan Livi, duta virtualnya, yang diresmikan pada upacara LVMH Innovation Award, awal tahun ini.

Tak mau kalah, Prada juga membuat avatar Candy untuk mempromosikan koleksi wewangian bernama Candy.

Salah satu studio yang banyak menciptakan influencer ini, Reblika, telah membuat individu yang lebih dari 'kenyataan'. Perusahaan ini bekerja sama dengan berbagai merek untuk menciptakan ‘manusia digital’ yang dapat digunakan untuk pemasaran, mode, gim, dan film.

Menurut penelitian dari VirtualHumans.org dan Hype Auditor virtual influencer memiliki engagement rates 2 kali lebih tinggi daripada manusia. Hal ini disebabkan karena komunitas penggemar avatar yang kuat.

Selain itu, dengan menggunakan virtual influencer , merek-merek tersebut akan dapat mengontrol pengeluaran dan strategi pemasaran influencer-nya dengan lebih baik.

Infografik Virtual Influencer

Infografik Virtual Influencer. tirto.id/Quita

Standar Kecantikan yang Sama dan Terus Berulang

Kecantikan telah terbukti menjadi industri yang resilien selama setahun terakhir, bertahan di tengah krisis tingginya biaya hidup dan berdampak besar pada sektor lain.

Rachel Douglass mengatakan, tahun ini bisnis kecantikan lebih kuat dari tahun sebelumnya, karena digitalisasi yang cepat.

Konsumen setia mendukung tingkat pertumbuhan tahunannya sebesar 4,64% seperti yang diprediksi oleh Statista, dengan pasar sudah mencapai 528,6 miliar dolar pada tahun 2022.

Salah satu tren kecantikan di tahun ini adalah penggunaan teknologi baik itu AI, AR, dan VR. Hampir setiap industri dihadapkan pada kebutuhan untuk melakukan digitalisasi dengan cepat tahun ini.

Lebih banyak merek kecantikan akan berupaya meningkatkan upaya mereka dalam memanfaatkan Artificial Intellegence (AI), Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) khususnya, dengan masing-masing memberikan berbagai manfaat bagi mereka yang mengoptimalkannya.

Liao Mao Lin, CEO dan Founder Reblium dan Reblika, mengatakan, ada banyak peluang bagi merek untuk ketika mengadopsi virtual influencer .

Fakta bahwa virtual influencer tidak pernah sakit secara fisik dan karena itu selalu dapat diandalkan, Liao mencatat bahwa mereka sepenuhnya setia dan tidak memiliki kemampuan untuk menyebabkan skandal apa pun yang dapat merusak merek.

“Avatar juga sesuatu yang sangat futuristik,” tambahnya.

“Memiliki brand ambassador yang dapat dibentuk sendiri oleh merek adalah hal yang langka. Tak perlu menemukan seseorang yang terkenal, sekarang Anda dapat benar-benar mulai mempromosikan merek Anda dengan memasukkan cerita.”

Keuntungan lebih lanjut, merek terhubung dengan audiens gen Z yang mungkin lebih akrab dengan penggunaan avatar dan keterlibatan digital.

Dalam percakapan dengan FashionUnited, Christopher Travers, pendiri dan pemimpin redaksi Virtual Humans, sebuah platform berita dan penerbitan yang didedikasikan untuk individu digital mencatat, bahwa evolusi ini telah berjalan seiring dengan semakin banyaknya merek yang mengadopsi maskot ke dalam strategi pemasaran mereka selama beberapa tahun terakhir.

Dia menambahkan: “Merek mana pun yang tidak memperkenalkan maskot mereka ke media sosial dalam bentuk influencer virtual kini kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kisah mereka."

Meski banyak keuntungan, namun respon dari konsumen tidak dapat diprediksi.

Mira, dari Mark&Spencer misalnya, sejak diluncurkan Oktober tahun lalu, selain pujian juga mendapat kritikan tajam dari pelanggan.

Salah satunya menulis di Instagram, “Ini sangat salah, kita harus mempromosikan orang yang nyata dan tidak sempurna – bukan membuat avatar 'sempurna' yang menciptakan 'standar kecantikan' yang mustahil.” Ia mengkritik karena menurutnya Marks & Spencer kurang menghargai keragaman rupa manusia.

Liao dengan tepat mencatat bahwa ini tidak semua tentang penampilan. Beberapa kesalahan dibuat oleh merek ketika mereka ingin mengadopsi influencer virtual adalah fokus pada penampilan influencer, padahal yang lebih penting adalah storytelling kontennya, (cerita) tentang mereka dan latar belakang serta karakternya.”

Penggunaan virtual influencer merupakan tren yang sedang berkembang di industri kecantikan dunia yang menuai pro dan kontra. Meski sampai saat ini belum ada merek kecantikan yang menggunakan virtual influencer, sepertinya Indonesia tidak akan lama lagi akan mengadopsi tren ini di bisnis kecantikan.

Baca juga artikel terkait TREN GAYA HIDUP atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi
-->