Menuju konten utama

Laki-laki Rapuh Memelihara Ego dengan Bermain Serong

Konon, perempuan lebih sering berselingkuh dibanding pria. Kenyataannya, ada cara pandang yang beda di antara keduanya dalam memahami arti perselingkuhan.

Laki-laki Rapuh Memelihara Ego dengan Bermain Serong
Ilustrasi selingkuh. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Belakangan ini, sebuah survei keluaran aplikasi kencan daring JustDating mendadak jadi populer. Pasalnya, survei tentang tabiat perselingkuhan itu menempatkan kecenderungan serong orang Indonesia di urutan kedua terbesar di Asia. Lebih mengejutkan lagi, survei itu juga menyebut perempuan menjadi golongan manusia paling banyak berselingkuh.

Survei itu sekaligus ingin mematahkan persepsi publik terhadap perilaku seksual layak pada perempuan. Selama ini, konstruksi sosial membentuk perempuan menjadi makhluk paling tak berdaya jika menghadapi perselingkuhan. Sementara itu, laki-laki adalah pelaku paling tak bermoral lantaran berani mendua dalam komitmen monogami.

Jadi, jika dalam semesta ini terdapat perempuan dengan tabiat kontradiktif, dia akan dilabeli dengan sebutan yang merujuk pada nominal uang receh: murahan. Nah, survei JustDating itu menemukan fakta tak lazim ini.

Sejatinya, JustDating telah mempublikasikan hasil survei itu pada 2017 lalu. Namun belakangan, isinya kembali disalin dan menjadi buah bibir di berbagai platform media sosial. Dalam lingkup wilayah Asia, Indonesia menjadi negara nomor dua dengan persentase selingkuh paling besar, mengekor Thailand.

Thailand sebagai pemuncak klasemen punya persentase jumlah tukang serong mencapai lebih dari 50 persen, selisih tipis dibanding Indonesia sebanyak 40 persen. Urutan selanjutnya adalah Singapura dan Taiwan di angka 30 persen, dan terakhir Malaysia diberi predikat sebagai yang paling setia dengan jumlah peserong paling kecil, 20 persen.

“Kecenderungan perempuan untuk berselingkuh lebih tinggi dibanding laki-laki,” demikian kesimpulan survei tersebut.

Tapi, yang tidak ditulis kebanyakan media adalah perbedaan persepsi tentang “selingkuh” di antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menganggap perselingkuhan terjadi jika sudah terkait dengan kontak fisik secara seksual dengan orang yang bukan pasangannya. Sementara itu, perempuan mengartikan perselingkuhan sebagai ketertarikan pasangan terhadap lawan jenis secara emosi, meski belum sampai ke tahap fisik.

Jadi dalam versi perempuan, inisiatif berkenalan atau saling berkirim pesan dengan lawan jenis sudah dikategorikan sebagai selingkuh. Kemungkinan, responden juga menerapkan pemahaman selingkuh versinya masing-masing kala mengisi kuesioner survei itu.

“Setiap kontak fisik dapat dianggap pengkhianatan oleh laki-laki, sementara perempuan lebih mementingkan emosi,” tulis JustDating.

Berdasar perbedaan persepsi tersebut, wajarlah jika JustDating menyimpulkan bahwa perempuan cenderung lebih mungkin berselingkuh. Padahal, kenyataannya mereka tidak melakukan kontak fisik yang berarti.

Perselingkuhan Memvalidasi Ego si Tukang Serong

Pada akhirnya kesimpulan deduktif survei tersebut tetap saja sama seperti yang sudah-sudah: perempuan menjadi pihak yang terjebak dalam sistem misoginis. Perempuan kerap kali dinarasikan lebih sering berselingkuh dan tak punya kesempatan untuk menebus dosa. Sementara itu, ketika menjadi korban perselingkuhan, mereka juga tak bisa berbuat banyak selain memaafkan pasangan.

Hal itu tercermin dari respon masing-masing gender ketika menghadapi kenyataan pengkhianatan dari pasangannya. Perempuan, seperti bisa kita tebak, akan terus memberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya kepada si pasangan sampai pada titik jenuh untuk kembali memberi ampun.

Sementara itu, sekira 40 persen laki-laki tidak akan menerima perselingkuhan. Mereka akan langsung memutus hubungan dan membalas pengkhianatan itu dengan ikut latah bermain serong. Persis perlombaan untuk mencari siapa yang paling digandrungi lawan jenis.

“Perempuan baru memutuskan berpisah ketika sudah memaafkan, tapi pasangannya kembali berulah. Laki-laki sebaliknya, tak ada ampun jika menemukan pasangannya berkhianat.”

Psikolog sekaligus seksolog Zoya Amirin mendedah alasan-alasan orang berselingkuh menurut standar gender masing-masing. Perempuan lazimnya berpaling karena kurang mendapat sisi romantis dari pasangan, sementara laki-laki seringnya memilih pasangan serong untuk memuaskan ego mereka.

Perempuan ketika kekurangan seks sanggup bertahan, tapi tidak dengan laki-laki. Mereka bisa selingkuh hanya untuk pembuktian bahwa ‘gue bisa loh’,” ungkap Zoya ketika berbincang bersama Tirto beberapa waktu lalu.

Alasan itu juga yang akhirnya menjawab pertanyaan tentang mengapa banyak laki-laki memilih nikah siri, poligami tanpa izin, kawin kontrak, atau “jajan”. Padahal, mereka sudah memiliki pasangan resmi.

Infografik Selingkuh

Infografik Selingkuh. tirto.id/Fuad

Alasan selingkuh untuk memberi makan ego, seperti pernyataan Zoya sudah dibuktikan berbagai macam studi, termasuk oleh Illicit Encounters, platform kencan dari daring dari Inggris. Setelah melakukan survei kepada 10 ribu pengguna pada 2017, mereka menyimpulkan adanya ciri khusus pada tukang serong.

Pada laki-laki, peluang berkhianat semakin besar ketika mereka punya kesempurnaan. Deskripsi “sempurna” dalam studi itu merujuk kepada pria dengan tinggi badan proporsional, pintar, dan kaya. Perselingkuhan mereka selalu didorong oleh ego, kesombongan, dan nafsu, dibanding rasa kesepian.

Di lain sisi, perempuan—utamanya ibu rumah tangga—menurut penelitian tersebut cenderung berselingkuh karena terdorong oleh rasa sepi dan terabaikan oleh pasangan. Mereka banyak menghabiskan waktu berjam-jam di rumah, tanpa aktualisasi, dan interaksi dengan teman atau kolega, tapi masih harus “melayani” suami.

“Setelah berkutat dengan pekerjaan rumah, suaminya mengabaikan mereka ketika pulang kerja. Kondisi itu membikin mereka tak puas dengan pernikahan,” ungkap Christian Grant, juru bicara Illicit Encounters.

Kembali mengutip penjelasan Zoya, perselingkuhan lebih mungkin terjadi pada pihak yang memiliki jaringan lebih luas sehingga mereka punya lebih banyak pilihan “pasangan”. Sementara itu, perempuan dibentengi tekanan sosial atas perilaku seksual yang layak. Celah untuk berselingkuh pada mereka juga dipersempit oleh kondisi karena sebagian besar waktu dihabiskan bersama anak-anaknya.

Namun, artikel ini bukan pula ditulis untuk membenarkan perselingkuhan oleh perempuan. Khianat, siapa pun pelakunya, tak pantas mendapat pembelaan. Hanya saja agar batasan berperilaku kepada lawan jenis menjadi terang, hendaknya pasangan menyamakan definisi “perselingkuhan”.

“Selingkuh atau tidak itu tergantung pasangan. Bisa saja niat ngobrol, hore-hore main aplikasi kencan tidak tergolong selingkuh, asal bilang sama pasangan dan disepakati berdua tanpa paksaan,” kata Zoya menguraikan.

Baca juga artikel terkait SELINGKUH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi