Doa Niat Makan Sahur Puasa Ramadhan 2023, Jam Berapa Waktunya?

tirto.id - Puasa Ramadhan merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat muslim. Puasa diawali dengan sahur sebelum terbit fajar dan diakhiri dengan berbuka ketika petang (magrib). Bagaimana doa dan niat makan sahur dan jam berapa batas waktunya?

Niat merupakan hal penting sebelum melaksanakan ibadah. Secara bahasa, niat berasal dari bahasa Arab al-qashd yang berarti keinginan. Sementara itu, dalam istilah syar’i, niat berasal dari kata azzam, yakni tekad untuk mengerjakan suatu ibadah dengan ikhlas karena Allah.

Membaca doa niat puasa saat makan sahur sesuatu yang penting, terutama sebagai bentuk ketulusan dalam menjalankannya.

Rasulullah saw. menganjurkan makan sahur sebelum menunaikan ibadah puasa. Hal itu merujuk pada hadis riwayat Anas bin Malik. Berikut ini sabda beliau:

Artinya: “Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Doa Niat Makan Sahur Puasa Ramadhan 2023

Berikut ini bacaan niat makan sahur yang diajarkan dalam Islam, sebelum menjalankan ibadah puasa.

Latin: Nawaitu shauma shahri Ramadhan lillahi ta'ala.

Artinya: "Aku niat puasa bulan Ramadhan karena Allah Ta'ala."

Membaca Doa Saat Sahur

Selain niat, Rasulullah saw. juga mengajarkan doa sebelum sahur. Berikut ini lafal latin doa sahur yang diajarkan Nabi Muhammad.

Latin: Yarhamullâhul mutasahhirîn.

Artinya, "Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya bagi mereka yang bersahur."

Doa tersebut merujuk pada hadis riwayat Imam At-Thabrani.

Berikut penjelasan Syekh Abdul ‘Azhim al-Mundziri dalam Kitab At-Targhib wat Tarhib, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah], cetakan pertama, juz II, halaman 90.

Artinya, "Diriwayatkan oleh As-Saib bin Zaid RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sebaik-baik hidangan sahur adalah kurma." Rasulullah SAW lalu berdoa, 'Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya bagi mereka yang bersahur,'" (HR At-Thabarani).

Jam Berapa Waktu Sahur Puasa yang Baik?

Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, yang dinukil dari buku Tuntunan Ibadah Puasa Ramadhan terbitan Muhammadiyah, dijelaskan bahwa salah satu sunah saat hendak menunaikan ibadah puasa adalah melaksanakan makan sahur pada akhir waktu.

Artinya: “Dari Abu Dzarr [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Umatku senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka dan menta’khirkan sahur” (HR Ahmad).

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai [datang] malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Merujuk firman tersebut, batas waktu sahur untuk berhenti makan dan minum yakni saat fajar subuh terbit.

Sementara itu, dalam hadis riwayat Abu Daud dijelaskan lebih detail bahwa batas waktu makan sahur adalah saat adzan subuh berkumandang.

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud no. 2350. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan shahih).

Jika menganut pada perhitungan waktu Indonesia barat (WIB), khususnya wilayah Yogyakarta, azan subuh akan berkumandang sekitar pukul 04.26 hingga 04.30.

Apa yang dimaksud imsak dan fungsinya?

Konsep imsak lahir dari sikap kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mengamalkan ajaran agama. Dalam hal ini, imsak ibarat lampu kuning bahwa waktu menjalankan makan sahur segera berakhir.

Adapun batas waktu untuk menjalankan sahur berakhir ketika adzan subuh berkumandang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Daud yang sudah dibahas di atas.

Hal itu juga ditegaskan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu‘in.

Artinya, “Makan masih dibolehkan bila menduga keberadaan malam berdasarkan ijtihad atau kabar dari seseorang. Demikian juga [masih dibolehkan makan] bila seseorang ragu karena pada asalnya malam masih ada. Tetapi [makan] makruh. Kalau orang terpercaya mengabarkan terbit fajar kepadanya, maka ia harus mempercayainya. Sama halnya [ia harus mempercayai] orang fasik yang diduga keras kejujurannya,” (Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 265-266).