Menuju konten utama
Final Liga Champions 2019

Di Tangan Bob Paisley, Liverpool Tak Cuma Klub Sepakbola

Bob Paisley adalah legenda Liverpool yang tak termakan zaman.

Di Tangan Bob Paisley, Liverpool Tak Cuma Klub Sepakbola
Penggemar Liverpool memegang spanduk melawan Unirea Urziceni sebelum pertandingan sepak bola Liga Eropa di Anfield, Liverpool, Inggris, Kamis 18 Februari 2010. Bill Shankly Bob Paisley, Joe Fagan, Kenny Dalglish dan manajer saat ini Rafa Benitez. AP / Tim Hales

tirto.id - Bagi penggemar Liverpool, Bob Paisley tak ubahnya legenda — dan juga mitos. Namanya dielu-elukan, diabadikan, serta dijadikan inspirasi dari satu generasi ke generasi lain untuk menjumput kejayaan di panggung sepak bola.

Ada alasan mengapa Paisley menjadi figur besar di Anfield. Selama hampir setengah abad, hidup Paisley dihabiskan di Liverpool: Entah sebagai pemain, staf, hingga akhirnya duduk di kursi pelatih.

Dari rentang waktu yang panjang itu, pencapaian emasnya lahir saat ia membawa Liverpool meraih 20 trofi antara 1974 sampai 1983. Paisley pun disebut-sebut sebagai pelatih terbaik Inggris sepanjang masa.

Paisley, yang sebelumnya bekerja sebagai penambang dan tukang batu, memulai karier sepakbolanya di Liverpool pada 1946. Delapan tahun kemudian, Paisley pensiun akibat cedera. Ia meneruskan perjalanannya dengan bergabung dalam staf kepelatihan Liverpool sebagai fisioterapi.

Tak lama setelahnya, Paisley seperti kedapatan durian runtuh: Ditunjuk untuk menggantikan Bill Shankly, pelatih Liverpool sebelumnya. Paisley panik. Ia sempat menolak tawaran manajemen. Meski begitu, Paisley akhirnya menerima tanggung jawab baru tersebut. Di titik inilah kejayaan Liverpool berawal.

No Shankly, No Problem

Kepergian Shankly meninggalkan kesedihan—sekaligus lubang—teramat untuk Liverpool. Pasalnya, Shankly merupakan sosok di balik kebangkitan Liverpool. Di bawah komandonya, Liverpool memenangkan tiga gelar liga serta sepasang Piala FA.

Keadaan itu bikin permulaan karir kepelatihan Paisley tak mudah. Terlebih, namanya diragukan banyak penggemar untuk dapat mendatangkan prestasi bagi The Reds — julukan Liverpool.

Benar saja. Musim pertama Paisley, sebagaimana ditulis Taha Memon dalam “Bricklayer Who Built the Bastion – Bob Paisley’s Liverpool Legacy Through Anecdotes” (2017), dilalui dengan buruk. Kekalahan demi kekalahan datang silih berganti. Paisley dikritik dan dihina habis-habisan oleh media. Di saat bersamaan, penggemar yang tak sabar meneriakkan kembali nama Shankly.

Alih-alih melempar handuknya, Paisley justru bertekad untuk merombak Liverpool. Ia, misalnya, membatasi kedatangan Shankly di Melwood—area latihan Liverpool. Meski Paisley menghormati sosoknya, namun ia tak ingin kehadiran Shankly justru membuat anak asuhannya hilang fokus. Singkatnya, Paisley hendak mengurangi pengaruh Shankly dan menancapkan otoritasnya sendiri.

Kemudian, Paisley juga berani menyingkirkan mereka yang dianggap bermain setengah-setengah. Ini terjadi pada Larry Lloyd yang dijual Paisley dengan harga £240 ribu. Menjual Llyod merupakan pernyataan sikap yang besar mengingat ia adalah tulang punggung Liverpool di era Shankly. Penjualan itu pula yang memicu perlawanan di antara pemain-pemain peninggalan rezim lama.

Paisley cuek saja. Ia tak peduli bila harus kehilangan pilar penting. Untuknya, totalitas adalah hal yang utama dan tak bisa ditawar. Ia lebih memilih pemain muda yang minim pengalaman tapi berkomitmen besar untuk maju daripada pemain senior yang kehilangan antusiasme.

Setelah semuanya dirasa terkendali, barulah Paisley menginjak ranah teknis. Di mata anak asuhannya, Paisley tergolong pelatih yang memperhatikan betul detail sekecil apa pun. Ia ingin taktiknya dipahami tanpa kurang oleh para pemain. Jika Shankly hanya memberi arahan dan sisanya dilakukan pemain, Paisley menunjukkan bagaimana cara kerjanya.

Contohnya terlihat jelas manakala Paisley terlibat dalam pengembangan kiper muda bernama Ray Clemence. Saat itu, Clemence punya kelemahan yang sangat kentara dalam situasi bola mati. Para pemain lawan pun memanfaatkan celah yang ada pada Clemence untuk dijadikan peluang mencetak gol. Tak ingin kondisi tersebut muncul terus-menerus, Paisley segera memberikan pendampingan latihan kepada Clemence secara rutin.

Lambat laun, upaya Paisley membuahkan hasil. Usai nir-gelar di musim pertama, sentuhan Paisley mulai terlihat hasilnya di musim berikutnya dengan juara Liga Inggris dan Piala UEFA. Pencapaian tersebut cuma permulaan.

Di tingkat lokal, Liverpool sangat dominan dengan menyabet juara Liga Inggris sebanyak enam kali berturut-turut. Di level Eropa, pencapaian Paisley dan Liverpool lebih mentereng lagi. Mereka tiga kali menggondol trofi Si Kuping Besar setelah mengalahkan Borussia Mönchengladbach (1977), Club Brugge (1978), serta Real Madrid (1981). Prestasi ini membawa Paisley ke catatan sejarah. Ia menjadi pelatih (Inggris) pertama yang mampu menjuarai Liga Champions sebanyak tiga kali dalam satu klub.

Dalam perjalanannya, Paisley mengambil pendekatan taktik yang cukup konservatif. Baginya, permainan yang menawan bukanlah prioritas. Ia cenderung meminta anak asuhnya untuk piawai mengatur jalannya laga serta tak terpancing jebakan lawan dan, yang paling penting, Paisley selalu menekankan kepada pemainnya untuk terus berlari.

“Ini mungkin tidak baik untuk sepakbola dan mungkin juga tidak menghibur [penonton]. Tapi, untuk memenangkan kejuaraan, Anda harus berkompromi. Kami berkomitmen untuk bermain dengan cara tertentu di Anfield karena penggemar. Jika kami harus bermain dengan cara lain ketika jauh dari Anfield demi mendapatkan gelar juara, maka itulah yang harus terjadi,” katanya.

Taktik Paisley tak akan berjalan dengan baik bila tak didukung barisan pemain yang kompeten. Skuat Paisley adalah gabungan antara pemain muda dan senior. Paul Wilson, dalam catatannya di The Guardian, menulis, kejayaan Liverpool di era itu disokong pemain-pemain macam Grobbelaar, Phil Neal, Mark Lawrensen, Hansen, Alan Kennedy, Sammy Lee, Craig Johnston, Souness, Ronnie Whelan, Dalglish, serta Rush.

Publik sempat meragukan konsistensi Liverpool ketika salah satu pemain kuncinya, si striker ulung Kevin Keegan, memutuskan pindah ke Hamburg pada 1977. Akan tetapi, Paisley dengan cekatan langsung mencari pengganti Keegan yang kemudian jatuh pada sosok Kenny Dalgish.

Pendukung Liverpool pun dengan cepat kembali terpikat.

Tetap Rendah Hati

Paisley boleh saja sukses mendatangkan banyak trofi ke Anfield. Namun, itu tak mengubah kepribadiannya yang rendah hati, humanis, serta pendiam.

Ada banyak momen yang memperlihatkan hal tersebut. Dalam bukunya, Quiet Genius: Bob Paisley, British Football's Greatest Manager (2017), Ian Herberth menerangkan bahwa saat Liverpool berhasil menjuarai Liga Inggris pada 1977, misalnya, Paisley tak ikut larut dalam perayaan. Ia berjalan tenang menyusuri lapangan seperti lelaki tua yang menikmati suasana taman, dibanding seorang pelatih yang baru saja menaklukan kerasnya kompetisi Inggris. Tak sekadar itu, Paisley juga tak minum alkohol dalam jamuan pesta juara.

Pemandangan serupa juga muncul ketika Liverpool melakukan parade kemenangan Liga Champions. Massa yang menyambut tak disangka justru mengelu-elukan serta menyanyikan nama Shankly. Paisley, yang mendengar teriakan tersebut, sama sekali tak marah. Ia mengambil mikrofon, mengucap beberapa patah kata, dan pulang meninggalkan acara dengan wajah yang bahagia.

Infografik Bob Paisley

Infografik Bob Paisley

Kerendahan hati Paisley terpancar pula dari sikapnya yang tidak ragu meminta pendapat orang lain, kendati statusnya sudah pelatih “besar.” Suatu waktu, pada awal 1978, Paisley mendatangi Roy Evans, pelatih tim cadangan. Ia bertanya kepada Evans soal pemain muda mana yang bisa dipromosikan dalam pertandingan kandang melawan Middlesbrough: Sammy Lee atau Kevin Kewley.

“Aku seorang pria berusia 25 tahun dan dia sedang menanyakan pendapatku,” kenang Evans, mengutip The Independent. “Ia memberi kamu suara, kepercayaan diri, dan pada akhirnya itulah cara belajar yang sebenarnya. Itu memperlihatkan bahwa ia ingin orang-orang di bawahnya memiliki suara dan berani mengemukakan pendapatnya.”

Hal-hal inilah yang kemudian membuat Paisley dikenang dengan baik oleh para pemain dan orang-orang sekitarnya. Paisley membuktikan bahwa untuk jadi pemenang di dunia sepak bola yang penuh ego, intrik, dan mengagungkan kultus pribadi, seseorang tak selalu harus menonjolkan diri sendiri. Menjadi pemenang, dalam pikiran Paisley, adalah tentang bagaimana tetap bisa menundukan kepala, sekalipun kejayaan sudah di depan mata.

“Aku ragu ada yang bisa menandingi kedekatan pelatih-pemain seperti halnya para pemain Liverpool dengan Bob [Paisley],” terang Keegan. “Kami menghendaki ia untuk menang. Kami ingin menang untuknya.”

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Olahraga
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara