Menuju konten utama

Demi Klik, Kualitas Berita Teraniaya

Gara-gara ranking Google berpengaruh besar terhadap jumlah pengakses, media hari ini lebih mementingkan judul dan meta tag ketimbang isi.

Demi Klik, Kualitas Berita Teraniaya
Ilustrasi Clickbait. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Media apa yang pertama kali Anda baca? Saya sendiri majalah Bobo, dibelikan ayah tiap Kamis sepanjang masih berstatus siswa sekolah dasar (SD).

Majalah Bobo berhasil mengubah persepsi saya bahwa tulisan, dalam bentuk cerpen dan dongeng seperti kisah "Paman Kikuk, Husein, dan Asta", "Bona, Gajah Kecil Berbelalai Panjang", hingga "Putri Nirmala dan Oki" sama atau bahkan lebih menarik dibandingkan pelbagai serial kartun yang ditayangkan televisi (kecuali Hunter x Hunter, tentu saja). Dari persepsi tersebut saya akhirnya tertarik juga untuk membaca dan berlangganan tabloid Fantasi, Bola, Soccer (jujur, karena bonus poster yang diberikan), serta PC MILD (salah satu media bertema teknologi terbaik di Indonesia, dan menariknya kini saya bekerja menulis artikel Mild teknologi untuk Tirto) usai lepas dari bangku SD.

Berstatus sebagai warga Bandung, tentu Pikiran Rakyat (dan Galamedia) menjadi sumber informasi yang tak pernah saya lewatkan--untuk kemudian digantikan oleh Harian Kompas ketika hijrah ke Depok dalam rangka menimba ilmu, yang dibarengi dengan majalah National Geographic Indonesia serta Intisari.

Kini, bertahun-tahun usai lulus dari bangku kuliah, hampir tidak ada koran, tabloid, serta majalah yang menemani saya (juga mungkin Anda) menggali cakrawala dunia. Media-media cetak perlahan bertransformasi menjadi media digital/online--meskipun sebagian di antaranya mati karena gagal beradaptasi--untuk hidup di belantara world wide web (WWW), yang diciptakan oleh Tim Berners-Lee, ilmuwan komputer asal Inggris yang bekerja sebagai peneliti untuk European Organization for Nuclear Research (CERN), pada 1989 silam.

Baca juga: Revolusi WWW

Transformasi dari cetak ke digital ini tak bisa dibaca sebatas perubahan medium semata. Dibangun sebagai bentuk demokratisasi informasi, WWW memaksa media-media yang hidup di alamnya menggratiskan publikasi mereka--meskipun sebagian di antaranya tetap mematok bayaran. Hampir tidak ada lagi uang yang saya (juga Anda) keluarkan untuk membaca artikel/berita hari ini.

Untuk bertahan hidup, media saat ini terpaku pada iklan. Nahas, meskipun belanja iklan digital di seluruh dunia bernilai 465,5 miliar dolar AS pada 2021, sebagian besar di antaranya lari ke rekening Google (dan perusahaan IT besar lain seperti Facebook). Keadaan ini diperburuk oleh fakta bahwa Google, melalui Adsense, Admob, dan Google Search, menjadi penentu besar-kecil penghasilan iklan yang diterima media.

Tak hanya itu, sebagaimana dipaparkan Piet Bakker dalam studi berjudul "Aggregation, Content farms, and Huffinization: The Rise of Low-pay and No-pay Journalism" (Journalism Practice Vol. 6 2012), atas kekuasaannya sebagai "gerbang internet", secara tak langsung Google memaksa media-media di jagat maya untuk menurunkan kualitas publikasi mereka dengan mengejar kuantitas.

Logika Klik

Pada akhir dekade 2000-an, The New York Times yang gagal bersinergi dengan dunia maya mengalami masalah keuangan yang sangat akut. Meskipun menjadi salah satu media terbesar di Amerika Serikat dan bahkan dunia, The Times--yang kian ditinggalkan pembaca versi cetaknya--tidak tahu cara mengonversi berita-berita yang mereka publikasikan secara online menjadi penghasilan. Ini terjadi karena WWW ciptaan Tim Berners-Lee lahir dengan semangat "keterbukaan informasi"; semangat yang lebih mementingkan demokratisasi akses (informasi seharusnya dapat diperoleh masyarakat dengan mudah alias gratis) alih-alih cuan. Akibatnya, tatkala WWW mengemuka untuk pertama kali (Web 1.0), hampir tidak ada teknologi pembayaran (payment system) yang mudah digunakan.

Tak ingin melihat The Times sekarat, sebagaimana termuat dalam biografi Steve Jobs yang ditulis Walter Isaacson (2011), Steve Jobs bertindak. Melalui perangkat baru dari Apple, iPad, Jobs mengatakan, "Saya putuskan untuk membantu The Times, entah mereka suka dengan cara saya atau pun tidak, keluar dari masalah finansial."

Bagi Jobs, upaya membantu The Times merupakan "resolusi tahunan" yang harus dilaksanakan; diprioritaskan. Ini terjadi karena, seperti yang dikatakannya sendiri, "Saya benar-benar mencintai jurnalisme berkualitas. Kita seharusnya tidak menggantungkan diri memperoleh berita dari para blogger. Kita benar-benar butuh 'berita sungguhan' yang ditulis oleh para reporter dan diperiksa editor. Kini (di tengah revolusi digital) mereka tengah kebingungan dan saya dengan senang hati ingin membantu mereka."

Pada 2010 Jobs mendatangi The Times dan menyarankan media pemilik 132 Pulitzer Prizes ini untuk "mengambil jalan tengah," yakni menciutkan harga berlangganan hingga nyaris gratis (karena Jobs tahu The Times tidak mungkin menggratiskan berita-beritanya). Kala itu tarif berlangganan The Times adalah 300 dolar AS per tahun dan Jobs mengusulkan dipangkas menjadi 5 dolar AS per bulan.

Angka yang diusulkan Jobs terlihat sangat murah, tetapi menjanjikan. Mengapa? Sebab dunia maya tidak memiliki batasan apa pun. The Times tak hanya dapat menjual produknya di AS saja, tetapi di seluruh dunia.

Sejak April 2011 The Times mengikuti nasihat Jobs meski sesungguhnya kecewa. Mereka menjual berita seharga 5 dolar AS per bulan melalui, tentu saja, iPad dan teknologi pembayaran ala Apple, in-app subscription, di App Store.

Kini, berkat usulan Jobs, The Times telah menjadi media pemilik 8,4 juta pelanggan digital berbayar.

Masalahnya hanya The Times--dan secuil kompatriot media besar lain--yang dapat menjalankan strategi ini. Mayoritas media di seluruh dunia terpaksa menggantungkan hidup melalui iklan digital, iklan yang dibagi-bagi (terutama) oleh Adsense dan gerbangnya dijaga oleh Google Search.

Inda Prawira dalam "Search Engine Optimization in News Production Online Marketing Practice in Indonesia Online News Media" (Pertanika Journal of Social Science & Humanities Vol. 26 2018) menyebut kunci utama kesuksesan media digital/online adalah jumlah pengakses. Alasannya sederhana saja: Dengan memiliki jumlah pengakses yang besar, Adsense--pihak ketiga yang menjadi penengah antara pengiklan dan media--berani memberikan bayaran tinggi.

Sayangnya, untuk memperoleh pengakses yang besar, mau tak mau media harus berdamai dengan Google Search. Ini terjadi karena mayoritas pengguna maya di seluruh dunia mencari berita/informasi melalui layanan mesin pencari buatan Larry Page dan Sergey Brin ini, tidak langsung menuju laman situs/aplikasi media (mengetik suatu kata kunci di Google hingga Anda terbawa ke artikel ini vs mengetik langsung Tirto.id untuk membaca artikel ini, misalnya). Dan karena posisi teratas hingga tiga laman pertama hasil pencarian menjadi patokan utama pengguna internet mengklik atau tidak informasi yang disajikan, timbul persaingan yang tidak sehat antar media.

Gara-gara peringkat Google berpengaruh besar terhadap jumlah pengakses suatu media, dijelaskan dalam studi berjudul "Search Engine Optimisation in UK News Production" (Journalism Practive Vol. 5 2011) yang ditulis Murray Dick, media hari ini lebih mementingkan judul dan meta tag (kode HTML yang mengandung informasi suatu laman situs web) alih-alih konten di dalamnya. Langkah ini terpaksa dilakukan karena Google Search, melalui algoritma paling masyhurnya bernama PageRank, mementingkan hal ini (selain keterikatan dengan link luar). Media, misalnya, memilih menggunakan kata (dalam konteks bahasa Inggris) "pelacur" alih-alih "pekerja seks" dalam berita yang dipublikasikan karena dianggap lebih "SEO friendly".

Dalam "'Can I Click It? Yes You Can" (Journal of Ethical Space Vol. 15 2018) yang ditulis Jonathan Cable, kenyataan ini kemudian menggiring kelahiran media-media yang memublikasikan judul dan isi konten berbeda (clickbait). Satu contoh adalah Mail Sport yang menayangkan berita berjudul "Pemimpin Man Utd, City, Chelsea, Arsenal & Liverpool Berkumpul Secara Rahasia untuk Euro Super League" pada Maret 2016 silam. Isi berita jauh dari itu. Laporannya hanya tentang rapat pertandingan menjelang International Champion Cup, turnamen pramusim yang dilakukan di AS.

Singkatnya, sebagaimana dipaparkan Yimin Chen dalam studi berjudul "Misleading Online Content: Recognizing Clickbait as 'False News'" (dipaparkan dalam lokakarya Association of Computing Machinery bertema Multimodal Deception Detection pada 2015), ketergantungan terhadap iklan digital membuat media yang seharusnya menyajikan jurnalisme berkualitas berubah menjadi "media kuning"; media yang menjunjung tinggi sensasi.

Dan untuk menggenjot kue iklan digital lebih besar, dipaparkan Piet Bakker dalam artikel "Aggregation, Content farms, and Huffinization: The Rise of Low-pay and No-pay Journalism" (Journalism Practice Vol. 6 2012), kecenderungan media saat ini adalah menyajikan konten sebanyak-banyaknya, memaksa reporter hingga editor membuat berita melebihi kemampuannya.

Baca juga artikel terkait JURNALISME atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino