Menuju konten utama

Cuma di Papua Kamisan Dilarang, Filep Karma: Masih Eranya Soeharto

“Di provinsi Indonesia yang lain betul berlaku demokrasi, di Papua tidak demokrasi, masih eranya Soeharto di sini” (Koordinator Aksi Kamisan Papua Filep Jacob Semuel Karma).

Cuma di Papua Kamisan Dilarang, Filep Karma: Masih Eranya Soeharto
Siluet Widodo (penyintas tragedi Mei 98) bersama penyintas lain pada Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (31/5/2018). Kamisan kali ini merupakan peringatan Aksi Kamisan yang sudah berjalan sepuluh tahun dan untuk pertama kalinya penyintas bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Aksi Kamisan di Papua, menjadi satu-satunya Aksi Kamisan yang dilarang di Indonesia. Hal itu diungkapkan Maria Catarina Sumarsih, pendiri Aksi Kamisan. Dia menegaskan sejauh ini, lebih dari 30 daerah di Indonesia menggelar Aksi Kamisan tanpa penolakan dari pemerintah.

Koordinator Aksi Kamisan Papua Filep Jacob Semuel Karma pelarangan tersebut membuktikan bahwa Provinsi Papua sengaja dibedakan dari provinsi lainnya.

“Di provinsi Indonesia yang lain betul berlaku demokrasi, di Papua tidak demokrasi, masih eranya Soeharto di sini,” kata Filep melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Jumat (28/12/2018).

Aksi Kamisan di Papua menjadi bagian yang penting. Sebab berdasarkan laporan penyelidikan Amnesty International Indonesia bertajuk 'Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua", sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018, ada 69 kasus pembunuhan yang tidak diproses hukum di Papua. Dari angka itu, 39 kasus pembunuhan sewenang-wenang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.

Kronologi Pelarangan

Filep menginisiasi Aksi Kamisan pertama kali di Papua pada Kamis (20/12/2018). Dia didukung oleh Jaringan Kerja Rakyat Papua untuk Perlindungan Sumber Daya Alam, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jerat Papua), Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP), Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua. Meski dilarang, Aksi Kamisan yang pertama itu tetap digelar.

Kemudian untuk menggelar Aksi Kamisan kedua, sebagai koordinator, Filep melayangkan surat pemberitahuan ke Polresta Jayapura yang ditembuskan ke Polda Papua pada, Senin (24/12/2018).

Isinya surat itu: Aksi Kamisan digelar di depan Gedung Sarinah, Taman Imbi, Jayapura. Bentuknya berupa aksi diam memegang payung hitam dengan atribut satu spanduk dan lima belas buah payung hitam. Dicantumkan pula durasinya hanya 120 menit.

“Tidak ada orasi,” tuturnya.

Kamis (27/12/2018) pada pukul 12.30 WIT, staf Intelkam Polresta Jayapura mengabarkan bahwa Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) terkait Aksi Kamisan telah diterbitkan. Namun sesampainya di Polresta Jayapura, Filep dikabari bahwa Kapolresta Jayapura tak mengizinkan adanya Aksi Kamisan. Jika memaksakan diri, Aksi Kamisan akan dibubarkan.

“Jadi saya bingung. Lho UU kan mengatakan bahwa kita hanya menyampaian pemberitahuan dan polisi wajib mengamankan supaya tidak diganggu dan tidak mengganggu,” ujarnya.

Namun Filep tetap nekat menggelar aksi tersebut. Sesampainya di Taman Imbi, dia didatangi Kasat Intelkam Polresta Jayapura AKP Beddu Rachman. Beddu menegaskan ulang, Aksi Kamisan tak diizinkan. Akhirnya massa Aksi Kamisan membubarkan diri.

“Jadi kasat intelkamnya yang menolak, Pak Racmad, alasannya perintah dari kapolres [Kapolres Jayapura Kota AKBP Gustav Urbinas],” terangnya.

Infografik Hilangnya HAM dari Pidato Jokowi

Infografik Hilangnya HAM dari Pidato Jokowi

Mantan tahanan politik Papua yang pernah dipenjara 15 tahun itu tetap kekeuh akan menggelar Aksi Kamisan di Papua. Pada 3 Januari 2019 nanti Aksi Kamisan ke-3 akan digelar.

“Kalau nanti tanggal 3 [Januari 2019] kami Aksi Kamisan lagi enggak boleh, berarti Papua ini otonomi khusus tapi merupakan daerah operasi militer. Sehingga tertutup untuk aksi-aksi damai,” tegasnya.

Kami menghubungi Gustav Urbinas beberapa kali sejak kemarin untuk menanyakan alasan pelarangan aksi Kamisan, namun tak diangkat. Gustav juga tak membalas pesan singkat yang kami kirimkan terkait alasan pelarangan Aksi Kamisan di Papua.

Sedangkan Kabid Humas Polda Papua, Kombes Polisi Ahmad Mustofa Kamal saat dikonfirmasi kemarin, hanya menyatakan sedang mencari tahu informasi pelarangan itu. Namun hingga hari ini dia belum memberikan informasi terang.

Pembatasan Hak Sipil di Papua

Ketua Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Maria Catarina Sumarsih menegaskan, Aksi Kamisan di Jakarta sejak 18 Januari 2007 tak pernah memakai surat izin. Mereka hanya mengirimkan surat pemberitahuan melalui faksimile.

Peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award Tahun 2004 itu kecewa terhadap pelarangan Aksi Kamisan di Papua.

“UUD 1945 pasal 28i ayat (4) itu menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM menjadi tanggung jawab negara terutama pemerintah. Tapi kenyataannya nilai-nilai kemanusiaan rakyat Indonesia itu diinjak-injak oleh penguasa,” ujar Sumarsih melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Kamis (27/12/2018).

Aksi Kamisan bertujuan menyuarakan kasus pelanggaran HAM berat dan masa lalu. Selain itu juga sebagai wadah saling menguatkan di antara para penyintas. Kemudian di era Jokowi, aksi tersebut mengawal “Sembilan Agenda Prioritas Jokowi-Jusuf Kalla”, salah satunya pada halaman 9 poin 4, menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Kalaupun di Papua itu infrastrukturnya dibangun dengan pesat tetapi selama tidak menghormati HAM, kekerasan akan terus terjadi,” kata Ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, korban Tragedi Semanggi I, 13 November 1998 tersebut.

Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua Latifah Anum Siregar menganggap aneh mengapa hanya di Papua Aksi Kamisan dilarang.

“Pelarangan ini makin menunjukkan betapa kebebasan masyarakat sipil dibatasi. Bahkan tidak diberikan tempat yang sepatutnya sesuai aturan yang ada,” kata Latifah melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Kamis (27/12/2018).

Masalah utamanya, menurut Latifah, karena pola pikir pemerintah yang mencurigai dan ketakutan pada masyarakat sipilnya sendiri. Ketakutan itu akan terus tumbuh seiring dengan membesarnya perlakuan represif pada masyarakat sipil.

“Pemerintah tidak akan dihargai oleh rakyatnya jika memelihara ketakutan seperti itu,” kata perempuan yang dianugerahi The Gwangju Human Rights Award 2015, penghargaan yang pernah diberikan pada Xanana Gusmao dan Aung San Suu Kyi tersebut.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM PAPUA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Current issue
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana