Menuju konten utama

Aisah Bintang & Sejarah Berdirinya Wanito Oetomo

Wanita Oetomo dikritik sebagai "perkumpulan istri kaum bangsawan yang tidak punya pekerjaan".

Aisah Bintang & Sejarah Berdirinya Wanito Oetomo
Kongres Wanita Indonesia Pertama diselenggarakan di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres tersebut terlaksana atas inisiatif dari 3 tokoh pemrakarsa, yaitu: Ny. R.A. Sukonto dari Wanito Utomo sebagai ketua, R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dari Taman Siswa sebagai wakil ketua, dan Ny. Suyatin Kartowiyono dari Putri Indonesia sebagai ketua pelaksana. wikipedia/Fandy Aprianto Rohman

tirto.id - Raden Ayu Aisah Bintang hanya bisa gigit jari melihat rapat semalam suntuk yang rutin diadakan di serambi rumahnya di Sosrokusuman, Yogyakarta. Ia ingin sekali bergabung dan menyimak isi pembicaran bapak-bapak itu, tetapi menurut adat yang masih berlaku pada permulaan abad 20, perempuan ningrat seperti dirinya tidak diperkenankan keluar tanpa izin wali atau suami.

“Diam-diam saya merasa iri dengan keasyikan bapak-bapak itu bercengkrama membicarakan berbagai macam persoalan. Kesempatan seperti itu sungguh tidak pernah ada bagi kami para wanita,” ujar Aisah, seperti dikutip dari Femina (19/12/1978).

Menurut penuturan Aisah Bintang dalam kumpulan tulisan Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid III (1983: hlm.167), sejak suaminya yang seorang dokter Jawa sekaligus anggota Boedi Oetomo (BO) dipindahtugaskan ke Yogyakarta, rumahnya hampir tidak pernah sepi. Setiap hari ada saja pertemuan dan diskusi antara suaminya dengan anggota BO lain yang berasal dari luar kota. Tempat itu dijadikan tempat pertemuan berkat letaknya yang strategis.

“Yang menguntungkan rumah kami tidak terlalu menyolok karena agak masuk ke jalan kecil, tetapi dekat Stasiun Tugu, sehingga tamu yang turun di stasiun hanya berjalan kaki sedikit sudah sampai ke rumah,” tuturnya.

Aisah mengaku, sebelum para tamu berdatangan biasanya para pengurus BO cabang Yogyakarta, termasuk sang suami Raden Mas Abdulkadir Tjokroadisoerjo, sudah membuka obrolan di muka rumah. Setelah para tamu berdatangan, diskusi malah semakin sengit diselingi tawa yang memecah malam. Tidak jarang pertemuan ini berlangsung sampai fajar meyingsing.

Abdulkadir Tjokroadisoerjo memang orang terpandang di kotanya, bahkan dianggap memiliki kesaktian. Maka tidak heran, sebagian besar anggota BO merasa harus dekat dengan sosoknya. Sebelum mempersunting Aisah pada 1914, ia sudah berkawan dengan Putra Mahkota Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kemudian bertahta dengan gelar Hamengkubuwono VIII.

Pada 1921, atas titah Raja sekaligus kawannya itu Abdulkadir diangkat menjadi dokter keraton dengan gaji f. 700, empat kali lipat lebih tinggi dibanding gajinya sebagai dokter Pemerintah Belanda. Terkadang, pekerjaannya sebagai dokter dibantu pula oleh Aisah yang pandai meracik jamu ketika persediaan obat-obatan rumah sakit sedang habis.

Organisasi Pasangan Boedi Oetomo

Menyambung promosi jabatan yang diterima suaminya, Aisah pun semakin percaya diri mengutarakan pendapatnya tentang perlunya dibentuk perkumpulan istri. Akan tetapi, rencana ini tidak bisa terlaksana dengan mudah tanpa persetujuan pengurus BO lainnya.

Abdulkadir tampaknya tidak tega melihat istrinya yang selalu gelisah sambil mencuri-curi pandang ke arah serambi rumah. Berdasarkan kisah yang dituturkan dalam biografi Aisah Bintang Abdulkadir: Secerca Cahaya dari Abad Silam (2003: hlm.119), suatu hari Abdulkadir akhirnya mengizinkan istrinya untuk mengikuti rapat BO.

Kegiatan ini biasanya dilakukan Aisah setelah usai menyediakan makanan dan minuman untuk para tamu. Aisah akan duduk di barisan belakang sambil menyimak setiap pendapat yang diutarakan para anggota.

Lama-kelamaan timbul perasaan yang mengganjal di hati Aisah. Sebagai satu-satunya perempuan yang menghadiri rapat, ia merasa tidak punya teman berbagi pendapat. Begitu tiba di pengujung rapat, Aisah spontan mengajukan usul kepada bapak-bapak itu agar mengajak istri-istrinya menghadiri rapat di lain waktu.

“Permintaan saya hanya disambut dengan senyum oleh bapak-bapak, saya jadi penasaran dan mengajukan usul langsung kepada pengurus Boedi Oetomo cabang Yogyakarta,” kata Aisah.

Aisah lantas berkeliling mendatangi istri-istri pengurus BO di Yogyakarta. Mereka sangat antusias atas usulan Aisah. Kabar itu dengan cepat menyebar hingga menarik perhatian khusus dari perempuan-perempuan berpengaruh seperti Nyi Hajar Dewantara, Raden Ayu Gondoatmodjo, dan Nyonya Imam Sulandji.

Jerih payah Aisah membuahkan sebuah komite persiapan pembentukan organisasi. Tak lama kemudian, pada awal April 1921, lahirlah sebuah organisasi istri yang diberi nama Wanito Oetomo (WO). Kabar ini diwartakan oleh surat kabar Boedi Oetomo edisi 11 April 1921 yang isinya mengajak para pengurus BO beserta istrinya menghadiri rapat pertama di kediaman Abdulkadir pada Minggu, 24 April 1921.

Rapat pertama WO itu mendapat publikasi besar dalam serangkaian terbitan surat kabar Boedi Oetomo sejak April hingga September 1921. Salah satu terbitan memuat pidato Abdulkadir yang mengaitkan kemajuan kaum istri dengan kemajuan bangsa yang selama ini menjadi cita-cita BO.

“Di antara keperluan perempuan masih banyak yang harus diperhatikan dan dirembuk. Terutama mengingat bahwa suatu bangsa belum bisa disebut betul-betul maju, jika kaum istrinya belum maju,” kata Abdulkadir.

Pada perkembangannya, WO selalu tampil membantu program-program di bidang sosial dan pendidikan yang digagas BO. Menurut penuturan Aisah, organisasinya itu pernah membantu mendirikan sekolah Boedi Oetomo, Klinik Mata Dokter Yap, dan acara penggalangan dana yang diberi nama Seri Derma.

Dianggap Perkumpulan Istri Bangsawan

WO dengan cepat menyebarkan pengaruhnya ke seantero Jawa. Bahkan, tak lama setelah WO resmi berdiri, namanya sudah tersiar sampai ke Palembang melalui pemberitaan surat kabar. Berdasarkan penuturan Raden Ayu Soekonto, WO dapat maju pesat berkat nama-nama pengurusnya yang didominasi putri-putri bangsawan.

“Setiap kali membaca di surat kabar, WO selalu mengadakan rupa-rupa pelajaran. Apalagi ketika disebut nama pemimpinnya, yaitu Raden Ayu Abdulkadir, maka tidak terasa aneh bahwa harumnya WO merebak kemana-mana,” tutur RA Soekonto dalam biografi Aisah Bintang (hlm.74).

Pada 1929, cabang WO sudah tersebar di Purwokerto, Gombong, Puwerejo, dan Solo. Meskipun keanggotaannya bersifat umum dan tidak memandang kelas sosial, di setiap cabang tetap diangkat seorang anggota kehormatan dari kalangan bangsawan yang diharapkan dapat melindungi organsasi dari polisi-polisi Belanda yang selalu mengawasi setiap pertemuan dan rapat WO.

Kedekatan Abdulkadir dengan kalangan keraton secara tidak langsung juga membawa dukungan dari kalangan istana. Di Yogyakarta, WO dilindungi oleh Kanjeng Ratu Dewi, adik Sultan Hamengkubuwono VII sekaligus bibi dari Hamengkuwubono IX. Sementara di Solo, organisasi ini mendapat perlindungan dari salah satu permaisuri Pakubuwono X.

Akibat dominasi perempuan-perempuan ningrat tersebut, WO menuai dikritik dari organsiasi perempuan beraliran nasionalisme kiri, Isteri Sedar. Seperti yang dicatat Amelia Fauzia dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004: hlm.43), Isteri Sedar menilai muatan diskusi yang terdapat dalam Persatuan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) yang dibentuk WO dan organiasi-organisasi istri berhaluan Islam pada 1929 lebih banyak diisi masalah keluarga dan sedikit kerja sosial.

Infografik Wanita Oetomo

Infografik Wanita Oetomo. tirto.id/Fuadi

Menurut Isteri Sedar, baik WO dan PPII “tidak lebih dari perkumpulan istri kaum bangsawan yang tidak punya pekerjaan sehingga mengadakan acara kumpul-kumpul, makan-makan dan pergi tamasya sambil membicarakan cita-cita mereka menjadi pengisi rumah tangga yang sempurna.”

“Untuk rakyat Indonesia perkumpulan ini sama sekali tidak bermanfaat, karena tidak mengubah nasib kaum istri, tidak menuju ke arah kemerdekaan dan kesentosaan kaum perempuan,” demikian kritik keras yang dimuat dalam majalah Isteri, jurnal milik Isteri Sedar, terbitan tahun 1930.

Anggaran dasar yang terdatang dalam PPII memang mirip dengan anggaran dasar WO dan organisasi istri lainnya. Di dalamnya terkandung ajakan untuk mendidik perempuan menjadi istri pendamping yang baik, pendidik bagi anak-anak, serta kepala rumah tangga yang dapat mengatur rumah dan keuangan. Anggota WO banyak pula yang menjabat pengurus PPII.

Kembali mengutip Amelia Fauzia. Menganggapi kritikan tersebut, PPII menyatakan dengan tegas bahwa “pergerakan perempuan ini merupakan bagian dari pergerakan kebangsaan, namun PPII tidak mau terbuai dengan istilah-istilah manis seperti kemerdekaan dan kemuliaan perempuan.”

Pada masa pendudukan Jepang, baik WO maupun PPII dipaksa melebur ke dalam Fujinkai. Saat Jepang menyerah, dengan sendirinya Fujinkai bubar dan dilanjutkan dengan kelahiran Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Saat muncul usulan agar WO dihidupkan kembali, Aisah Bintang justru menolaknya.

“Karena sudah ada Perwari, lebih baik kita ikuti saja kegiatan yang ada, hanya saya mengusulkan agar Seri Derma digiatkam kembali,” kata Aisah menutup tulisannya dalam Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid III (hlm.174).

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 25 Oktober 2019 dengan judul "Cita-cita dan Kritik terhadap Wanito Oetomo". Redaktur melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali dalam rangkaian Laporan Khusus Hari Ibu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Eddward S Kennedy & Fadrik Aziz Firdausi