Menuju konten utama

Benarkah Sukarno Memohon Ampun Kepada Belanda?

Inggit Ganarsih mengakui Sukarno pernah mengundurkan diri dari Partindo. Namun, ia menolak percaya Sukarno memohon ampun kepada pemerintah kolonial.

Benarkah Sukarno Memohon Ampun Kepada Belanda?
Surat permohonan ampun Sukarno kepada pemerintah kolonial Belanda. FOTO/Istimewa

tirto.id - Medio September 1980 sebuah polemik terjadi. Pemicunya adalah artikel Rosihan Anwar di harian Kompas. Dalam artikel berjudul “Perbedaan Antara Politik Soekarno dan Hatta”, Rosihan coba membandingkan konsistensi perjuangan antara Sukarno dan Hatta.

Dengan memanfaatkan surat-surat permohonan ampun yang diduga ditulis Sukarno kepada pemerintah kolonial, Rosihan menyimpulkan bahwa Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya, tulis Rosihan dalam artikel yang tayang pada 15 September 1980, "Sukarno, ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi.”

Yang disebut sebagai surat permohonan ampun Sukarno pada intinya berisi pernyataan tobat Sukarno sebagai pejuang kemerdekaan. Surat itu dipercaya ditulis saat Sukarno menjadi tahanan politik di Sukamiskin dan ditujukan kepada Jaksa Agung Hindia Belanda. Tujuannya agar terhindar dari hukuman keras yang saat itu banyak menimpa para pejuang kemerdekaan, salah satunya diasingkan ke Boven Digul di Papua.

Sukarno memang sudah pernah mencicipi pahitnya penjara. Ia divonis bersalah dan dihukum empat tahun penjara oleh pengadilan kolonial pada 1930. Kendati demikian, ia berhasil memanfaatkan pengadilan tersebut untuk membacakan sebuah naskah gugatan yang mengguncang -- sebuah pledoi yang termasyhur dengan judul: "Indonesia Menggugat".

Masa hukuman Sukarno dikurangi dua tahun dan ia sudah bebas kembali pada pengujung 1931. Ia langsung berkiprah lagi dalam politik. Saat itu ia sempat bergabung dengan Partindo. Namun, haluan konservatif di pemerintahan Belanda kembali memukul pergerakan nasional. Penangkapan besar-besaran terjadi. Hatta dan Sjahrir, misalnya, dibuang ke Digoel.

Isi Surat Permohonan Ampun

John Ingleson dalam Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934 menyebut ada setidaknya empat surat permohonan ampun yang pernah ditulis Sukarno kepada Jaksa Agung. Surat pertama tertanggal 30 Agustus 1933, surat kedua tertanggal 7 September 1933, surat ketiga tertanggal 21 September 1933, dan terakhir surat keempat tertanggal 27 September 1933.

Bagi pejuang yang getol mengkritik sistem kolonial, isi surat yang menurut Ingleson ditulis Sukarno terasa sangat mengenaskan. Ia misalnya merengek dibebaskan dari hukuman dengan mengatasnamakan istri, anak, ibu dan bapaknya.

“Maksud surat ini adalah memohon dengan hormat agar diri saya juga istri, anak dan ibu bapak saya yang sudah tua diselamatkan dengan membebaskan saya dari proses pengusutan hukum atau penahanan lebih lanjut. Saya memohon untuk ini kepada tuan dan kepada pemerintah agar membebaskan saya,” tulis Sukarno dalam surat kepada Jaksa Agung pada 30 Agustus 1933.

Dengan nada tak kalah menyedihkan Sukarno berjanji mengundurkan diri dari segala kehidupan politik. Ia akan bekerja sebagai arsitek dan insinyur untuk menghidupi keluarganya.

“Selanjutnya saya berjanji untuk mengundurkan diri dari segala kehidupan politik dan menghidupi keluarga saya sebagai warga negara yang damai dengan bekerja sebagai arsitek dan insinyur yang selama ini telah saya lalaikan akibat kegiatan politik saya,” janji Sukarno.

Demi meyakinkan pemerintah kolonial Sukarno mempersilahkan surat-suratnya diumumkan kepada publik jika di kemudian hari ia melanggar janji dengan kembali ke dunia politik.

“Saya tak akan pernah mengingkari janji saya. Surat ini adalah jaminannya: bila saya menyalahi janji, maka sebarluaskan kalimat-kalimat ini dan segeralah penjarakan atau hukumlah saya. Saya hanya akan merusak diri saya bila saya mengingkari janji: penyebarluasan surat ini berarti kematian sosial saya,” tutup Sukarno.

Pada 7 September 1933, Sukarno mengirim surat kedua. Isinya tidak jauh berbeda dengan surat pertama: merengek minta dibebaskan dari hukuman dengan mengatasnamakan keluarga. Bahkan dalam surat itu ia menekankan kesediaan dirinya untuk memenuhi segala syarat dari pemerintah kolonial, meski itu berarti bekerjasama — satu perbuatan yang sebelumnya sangat ia tentang. “Saya bersedia menerima persyaratan apa pun,” janji Sukarno.

Dalam surat ketiga 21 September 1933 Sukarno membuktikan janjinya bertobat dengan melampirkan surat pengunduran diri sebagai Ketua Partindo. Selanjutnya pada surat keempat ia menulis: “Saya merendahkan diri saya di hadapan tuan dan pemerintah agar dibebaskan dari penderitaan saya,” kata Sukarno.

Kabar pertobatan Sukarno dan pengunduruan diri Sukarno sebagai ketua maupun anggota Partindo dengan cepat menyebar di kalangan kaum pergerakan. Hatta yang sebelumnya ini menjadi seteru Sukarno tak kuasa melontarkan kritik pedas. Dalam tulisan berjudul “Tragedi Sukarno” yang dimuat Daulat Ra’jat pada 30 November 1933, Hatta menyesalkan sikap hipokrit Sukarno yang tidak konsisten antara kata dan perbuatan.

“Masya Allah. Dua kali dasar Partindo diubah kedua-dua kalinya adalah atas kemauan dan pengaruhnya Sukarno. PPPKI yang terlantar dihidupkan kembali dengan dasar baru dan si pengarang dasar itu tidak lain dari Sukarno sendiri,” tulis Hatta.

“Sekarang Sukarno tidak lagi bisa berkata bahwa ia menjadi korban pemerintahan. Kali ini menjadi korban dirinya sendiri, korban moralnya yang lemah, dan selain itu jelaslah sekarang bahwa ia tidak mempunyai kepribadian,” kecam Hatta.

Hatta juga menegaskan kesulitan yang dihadapi kaum pergerakan – khususnya Partindo adalah akibat ulah Sukarno sendiri yang terus beragitasi mendorong prinsip non-kooperasi dengan pemerintah jajahan.

Infografik Surat Sukarno

Selain Ingleson, ada juga sarjana lain yang percaya kebenaran surat tersebut. Lambert Giebels mengatakan jika benar pemerintah kolonial membuat surat permohonan ampun tersebut, mestinya surat itu sudah mereka gunakan untuk menekan Sukarno.

“Sebenarnya aneh juga kalau pemerintah Belanda memalsukan surat-surat itu, lalu tidak pernah menggunakannya,” tulis Giebels dalam Soekarno: Biografi 1901-1950.

Giebels kemudian mengutip dua indonesianis yang dinilainya cukup serius meneliti Indonesia: R.C Kwantes dan Bob Hering. Keduanya berpendapat surat-surat permohonan ampun Sukarno yang disimpak di Algemeen Rijksachief/ ARA (Arsip Umum Kerajaan Belanda) adalah asli. Kesimpulan itu mereka dapat dari berita acara hasil interogasi yang dilakukan seorang ahli hukum Belanda bernama Jongmans terhadap Sukarno saat yang bersangkutan berada dalam tahanan di Sukamiskin, Bandung.

“Berita acara dari interogasi Sukarno tentang pokok-pokok yang menjadi pertanyaan, masih tersimpan, dan selama interogasi itu Sukarno sudah bertobat. Berita acara itu dibubuhi tanda tangan Sukarno,” tulis Giebels mengutip Hering dan Kwantes.

Terlepas dari benar atau tidaknya Sukarno pernah menulis surat permohonan ampun, faktanya pada Februari 1934, pemerintah kolonial mengasingkan Sukarno ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Bantahan dari Berbagai Kalangan

Tidak semua orang percaya surat-surat itu ditulis Sukarno. Bantahan paling banyak didasarkan pada tidak adanya surat Sukarno yang asli, yang ada hanyalah berupa salinan hasil ketikan yang tidak dibubuhi tanda tangan Sukarno.

Mahbub Djunaidi, kolomnis yang cukup dekat dengan Sukarno, mengaku terkejut dengan kesimpulan Rosihan. Di harian Kompas ia membuka tulisannya dengan kalimat satire yang khas: “Saya terlongo-longo membaca artikel sohib saya, al-ustadz Haji Rosihan Anwar.”

Mahbub mengaku telah mengonfirmasi isi surat permohonan ampun Sukarno kepada Inggit Ganarsih. Inggit ialah istri yang menemani Sukarno dalam perjuangan maupun pembuangan sebelum Si Bung Besar akhirnya bertemu dengan Fatmawati.

Kata Inggit: “Itu mah mustahil. Pamali buat si Kus (sebutan Inggit untuk Sukarno) minta ampun segala ke Belanda.”

Alih-alih percaya, Mahbub menduga surat permohonan ampun Sukarno merupakan ciptaan intel kolonial. “Apa bukan hasil ciptaan kaum intel yang sering punya bakat besar mengarang cerita fiktif,” tulis Mahbub.

Inggit dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan K.H. sempat menyinggung perihal mundurnya Sukarno dari Partindo dan permohonan ampun kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menurut Inggit dua kabar itu menjadi perbincangan hangat masyarakat saat itu. Ia sendiri sebagai istri Sukarno mengaku tidak tahu persis kebenaran kabar yang beredar.

"Apakah benar Kusno-ku, suamiku, 'singa podium' itu telah meminta maaf, meminta ampun?" tanya Inggit dalam Sukarno Ku Antar ke Gerbang. "Mungkinkah ia telah menulis surat minta ampun, tetapi sebenarnya itu cuma tipu muslihatnya? Menurut firasatku, ia tak berbuat demikian."

Didorong rasa ingin tahu, Inggit akhirnya memberanikan diri bertanya langsung kepada Sukarno. Menurut Inggit, suaminya tidak memungkiri kabar keluar dari Partindo. Namun Sukarno tidak menjawab saat ditanya soal kabar yang menyebut dirinya telah memohon ampun kepada pemerintah kolonial.

"Ada-ada saja ocehan orang, omongan orang di luar, Kus. Orang bilang, Kusno sudah minta ampun, minta maaf pada pemerintah. Gila omongan orang!" kata Inggit coba mencari jawaban kepada Sukarno.

"Kusno tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia diam. Aku pun tidak meneruskan percakapan itu. Aku merasa aku telah mendapatkan jawabannya. Ia tidak berbuat begitu. Kalau ia berbuat begitu, pikirku, tentu ia akan mengatakan 'ya' seperti waktu kami bicara mengenai keluarnya dia dari Partindo. Aku merasa akan menyakiti hatinya saja kalau aku teruskan percakapan itu," ujar Inggit.

Bantahan juga datang dari Mohammad Roem, bekas tahanan politik Sukarno saat menjadi presiden. Roem adalah tokoh penting Masjumi, bersama M. Natsir. Partai itu merasakan benar kerasnya kebijakan politik Sukarno di periode akhir kekuasaan Si Bung Besar. Masjumi dibubarkan, dan Roem (juga Natsir) menjadi tahanan politik.

Cukup bisa dipahami jika Roem menyimpan "ganjalan serius" dengan Sukarno. Kendati merasakan pahitnya menjadi tahanan di masa Demokrasi Terpimpin, hal itu tak menghalangi Roem untuk mengatakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran.

Dan dalam soal surat pengampunan Sukarno, Roem yakin jika Sang Putra Fajar itu tak menulis surat yang disebut oleh Inglesson -- dan kemudian diramaikan lagi oleh Rosihan. Menurut Roem, surat permohonan Sukarno ganjil karena tidak pernah ditemukan versi aslinya.

Selain itu, Roem juga mempertanyakan mengapa pemerintah kolonial tidak pernah menggunakan surat itu untuk menghentikan perjuangan Sukarno. Roem menyimpulkan selama surat versi asli yang ditulis atau ditandatangani Sukarno tidak ditemukan, maka isi surat permohonan ampun tersebut tidak bisa diterima.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS