Menuju konten utama
Populasi Rusia

Tugas Negara ala Uni Soviet: Melahirkan Anak Sebanyak-banyaknya

Di era Soviet, perempuan didorong terus punya anak. Ini dibingkai sebagai tugas negara.

Tugas Negara ala Uni Soviet: Melahirkan Anak Sebanyak-banyaknya
Joseph Stalin. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Baru-baru ini, dalam rangka mendorong angka kelahiran di Rusia, Presiden Vladimir Putin mencanangkan kembali pemberian gelar “Mother Heroine” dan hadiah uang ratusan juta kepada ibu yang membesarkan sepuluh anak atau lebih. Dikatakan “kembali” karena memang penghargaan ini berasal dari masa lalu.

Gelar Mother Heroine atau ‘Pahlawan Ibu’ awalnya diinisiasi oleh pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin pada 1944. Setidaknya 430 ribu perempuan sudah dianugerahi medali berbentuk bintang dari emas tersebut sampai programnya dihentikan seiring Uni Soviet bubar pada 1991.

Ia adalah bagian dari kampanye pronatalisme atau upaya untuk meningkatkan angka kelahiran bayi yang digaungkan sejak 1930-an atau menjelang Perang Dunia II. Program ini dibuat tidak lain ketika terdapat tren penurunan jumlah kelahiran.

Kala itu marak propaganda yang mengglorifikasi perempuan sebagai pilar nilai-nilai keluarga tradisional yang fungsi reproduktifnya tidak tergantikan.

Upaya Memperbanyak Penduduk

Revolusi Oktober 1917 menjanjikan kebebasan bagi kaum perempuan di berbagai aspek kehidupan, terutama untuk bekerja dan berkontribusi langsung pada proyek-proyek industrialisasi. Akan tetapi, pejabat Soviet dan pakar demografi mulai mendapati fakta tak mengenakkan tentang hubungan antara tingkat kesuburan perempuan dan progres pembangunan.

Survei empat tahun (1928-1932) dari pakar statistik S. G. Strumilin, dikutip dari David L. Hoffmann dalam studi berjudul “Mothers in the Motherland: Stalinist Pronatalism in Its Pan-European Context” (2000), menemukan tingkat kelahiran per seribu perempuan merosot dari 42,2 jadi 31. Strumilin menegaskan penurunan ini berkorelasi dengan urbanisasi dan terjunnya perempuan ke dunia kerja—fenomena-fenomena yang menggambarkan proses industrialisasi tengah berlangsung.

Lebih spesifik Strumilin menjabarkan bahwa kalangan buruh punya tingkat kesuburan lebih rendah daripada golongan petani. Tingkat kelahiran yang paling rendah ditemui pada kelompok kerah putih atau pekerja kantoran.

Temuan tersebut memaksa elite politik Soviet untuk mengubah asumsinya selama ini bahwa kemakmuran mendorong orang untuk memiliki anak lebih banyak. Kemakmuran justru dilihat sebagai faktor yang memberikan perempuan lebih banyak pilihan terkait keputusan punya anak.

Masih dilansir dari studi oleh Hoffmann, otoritas Soviet juga mulai menuding aborsi sebagai penyebab turunnya angka kelahiran. Di mata elite pejabat, aborsi dilakukan oleh perempuan yang secara finansial mampu membesarkan anak namun memutuskan tidak melakukannya karena keinginan sendiri.

Aborsi sebenarnya dilegalkan di Soviet sejak 1920. Praktiknya dimaklumi karena ia sering jadi solusi bagi pihak-pihak yang terbelit kesulitan ekonomi akibat Perang Sipil (1917-1923). Legalisasi juga dipandang penting untuk melindungi perempuan dari komplikasi kesehatan akibat aborsi ilegal, meskipun pemerintah kala itu tidak membingkainya sebagai hak perempuan atau hak individu.

Terlepas dari itu, pertentangan terhadap aborsi perlahan bermunculan, terutama sejak media memberitakan praktik aborsi marak ditemui di wilayah perkotaan sampai jumlahnya menyalip angka kelahiran bayi pada awal dekade 1930-an.

Pada 27 Juni 1936, lahirlah landasan hukum pertama: dekret yang melarang aborsi kecuali karena alasan medis. Dekret sekaligus mengecap aborsi sebagai “kejahatan sosial yang serius.” Dekret tersebut juga kian mempersulit proses perceraian—tak lain untuk menekankan pentingnya mempertahankan institusi perkawinan.

Pejabat Soviet terang-terangan mengaitkan larangan aborsi dengan kepentingan pembangunan negara. Dalam satu artikel kampanye antiaborsi karya staf pemerintah, larangan tersebut dijustifikasi sebagai “tugas negara” untuk meningkatkan jumlah penduduk. Staf lainnya menyebut aborsi dilarang karena negara butuh banyak manusia untuk mendukung pembangunan sosial dan pertumbuhan ekonomi.

Dekret larangan aborsi juga disisipi aturan tentang pemberian insentif bagi ibu-ibu yang anaknya banyak, yakni tunjangan senilai 2.000 rubel setelah mereka punya anak ke-7 (nominalnya naik jadi 5.000 rubel setelah anak ke-11). Perempuan dari kalangan petani dikabarkan paling banyak menerima manfaat tersebut.

Uniknya, masih dilansir dari studi Hoffman, usaha untuk mendorong angka kelahiran tidak mengecualikan kelompok etnis atau kalangan dari kelas sosial tertentu, termasuk musuh ideologi atau lawan politik pemerintah. Perempuan yang suaminya pernah ditahan karena gerakan kontrarevolusi juga berhak dapat insentif.

Menariknya lagi, meski menggencarkan kampanye tentang fungsi reproduktif perempuan, pemerintah tidak membatasi ruang gerak mereka di rumah saja. Otoritas Soviet tetap mendorong partisipasi perempuan di pasar kerja seiring tingginya permintaan dari industri terutama untuk kepentingan menghadapi Perang Dunia II.

Sebagai contoh, pada bulan Oktober 1936, Politbiro mengeluarkan dekret baru untuk mengkriminalisasi perusahaan atau pemberi kerja apabila mereka menolak mempekerjakan perempuan hamil atau memangkas upah mereka.

Segala upaya untuk mendorong perempuan punya banyak anak kala itu gagal membuahkan efek jangka panjang alias tidak awet. Meskipun sempat ada tren kenaikan jumlah bayi, angkanya kembali merosot sampai akhirnya tingkat kesuburan perempuan pada 1940 malah lebih rendah daripada tahun 1936.

Program tunjangan untuk ibu dengan anak banyak juga tidak berdampak signifikan karena penerimanya lebih banyak perempuan petani, yang pada dasarnya sudah lazim punya anak banyak, alih-alih perempuan pekerja atau buruh di kawasan urban.

Infografik Banyak anak banyak rezeki di Rusia

Infografik Banyak anak banyak rezeki di Rusia. tirto.id/Tino

Insentif atau penghargaan semacam gelar Mother Heroine pada akhirnya mencerminkan bagaimana perempuan sedari era Stalin dibebani dengan tuntutan berlipat: tak hanya didorong berkontribusi langsung pada ekonomi dan industri namun juga terus menghasilkan keturunan yang esensial bagi pembangunan generasi baru.

Pada waktu sama, perempuan juga masih menanggung pekerjaan mengurus rumah tangga dan mengasuh anak.

Memang betul sejak 1930-an, melalui Departemen Kesejahteraan Ibu dan Anak, pemerintah Soviet menyokong lewat berbagai fasilitas penunjang seperti panti khusus ibu hamil, layanan penitipan anak, sampai klinik khusus anak. Akan tetapi, semua bantuan itu dipandang masih kurang memadai karena jauh lebih banyak sumber daya yang dialokasikan untuk kepentingan pembangunan industri nasional.

Tapi toh program itu tetap berjalan. Di era pasca-perang, meningkatkan populasi dianggap penting dalam rangka merekonstruksi negara. Terlebih dalam Perang Dunia II atau Perang Patriotik Besar, nyawa yang paling banyak melayang tidak lain berasal dari Uni Soviet—lebih dari 20 juta jiwa.

Baca juga artikel terkait POPULASI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino