Menuju konten utama

Stigma Rambut Keriting: Antara Diskriminasi & Standar Kecantikan

Anggapan sebelah mata terhadap rambut keriting adalah dampak standar kecantikan. Gerakan dari masyarakat bisa menggugat stigma tersebut.

Stigma Rambut Keriting: Antara Diskriminasi & Standar Kecantikan
Ilustrasi HL Indepth Rambut Keriting. tirto.id/Sabit

tirto.id - Gracia Indri, 27 tahun, lahir dengan rambut keriting dan ia menganggap rambutnya sebagai kutukan.

“Waktu aku kecil, Mama selalu bilang, ‘Kamu jangan keluar rumah ya kalau rambutnya belum diiket’,” kata Grace.

Kalimat itu terus diulang sampai-sampai membuat Grace beranggapan rambutnya buruk. Ia pun merasa tidak percaya diri dengan penampilannya.

Ketika inovasi rebonding hadir di salon-salon di Jakarta pada awal 2000an, Ibunya menyarankan Grace meluruskan rambut. Grace menuruti saran tersebut. Namun, tekstur rambut keriting yang kuat tidak bisa membuat rambut Grace benar-benar lurus. Hal itu bikin Grace semakin yakin bahwa rambutnya memang layak disembunyikan.

Di rumah, bukan hanya Ibu yang berusaha agar Grace tampil dengan gaya rambut lebih “rapi”.

“Kalau lagi mau ke gereja, Papa selalu bilang suruh rapiin rambut. Padahal rambut ini juga aku dapat dari dia.”

Selama melalui pendidikan dasar hingga menengah, Grace bilang tak ada satupun teman di sekolah yang mengetahui tekstur rambut aslinya. Ia takut membayangkan ledekan dari teman-teman bila mereka melihat rambut keritingnya.

“Anak-anak kecil omongannya suka judgmental. Terus ya aku jadi terlalu pintar menyembunyikan rambut keritingku.”

Saat produk alat pencatok rambut masuk ke Indonesia, Grace merasa menemukan juru selamat. “Sehari tiga kali nyatok. Bahkan ke gunung pun aku bawa walau aku tahu di sana gak ada listrik. Segitu attach-nya.”

Perasaan malu akibat memiliki rambut keriting tidak hanya dialami Grace. Gyta, remaja usia 14 tahun yang saat ini bersekolah di salah satu SMP di Kawasan Tangerang Selatan, juga sempat mengalami perasaan serupa dengan Grace.

Ia pernah menganut motto: “Lebih baik botak daripada keriting.”

Gyta besar di lingkungan keluarga yang menganggap rambut keriting berantakan atau tidak rapi.

Ia menceritakan ulang kejadian saat dirinya masih kelas 1 SD. Ibunya mengajak Gyta pergi ke salon. Petugas salon berkomentar bahwa rambutnya rusak dan kusut. Lantas, disepakatilah solusi paling cepat yakni mencukur habis rambut hingga tidak terlihat tekstur keritingnya.

Sejak itu Gyta memutuskan tidak akan pernah membiarkan rambutnya tumbuh melebihi telinga. Alasannya, ia tidak mau lagi mendengar orang lain merendahkan rambutnya. “Mereka bilang kering, ngembang, kinyis kinyis.”

Setiap selesai cukur, Gyta selalu berharap rambutnya bisa tumbuh lebih lurus. “Kayak tertanam di pikiran aku kata orang-orang dulu kalau habis dicukur tuh numbuhnya bisa lurus.” Ia pun selalu kecewa saat rambut keritingnya kembali tumbuh.

Sampai sekarang, ia masih saja sering mendengar perkataan, “Sering-sering disisir rambutnya biar lurus.”

Tapi bagi Gyta menyisir rambut adalah waktu paling menyiksa. “Sakit banget rasanya, Kak. Aku sampai nangis-nangis. Terus kalau nyisir selalu jadi berantem sama yang nyisir.” Menurut pengalaman Gyta, selain menyakitkan, momen menyisir rambut juga memakan waktu yang cukup lama.

“Orang rumah juga jadi suka kesal dan marah-marah kalau pas mau pergi liat aku belum selesai sisiran,” kisahnya.

Sementara itu, Yasintha Pattiasina, musisi, menganggap ejekan terhadap rambut keriting adalah hal yang lumrah terjadi saat seseorang masih anak-anak.

“Dikata-katain rambut kayak indomi, kribo, itu udah lumrah banget.”

Salah satu kenangan masa sekolah adalah mengadu pada guru karena teman-teman terus meledek rambutnya yang berbentuk afro.

Yasintha lahir dari kedua orangtua berambut keriting. Ia bercerita bahwa Ibunya tidak bisa menerima rambut keriting sehingga rutin meluruskan rambut. Ketika Yasintha kecil, sekitar awal 1990an, metode pelurusan rambut yang tersedia di Jakarta ialah meluruskan rambut menggunakan papan pelurus. Ia sempat mencoba metode itu karena diminta Ibu untuk meluruskan rambut.

“Hasilnya rambut kayak sapu ijuk, ancur banget, rambut patah-patah, warna jadi merah.”

Yasintha kemudian memutuskan memotong pendek rambutnya. “Sempet mikir, duh kenapa rambut gue mesti keriting sih?”

Bila pikiran-pikiran negatif terkait rambut itu tiba, Yasintha mengesampingkannya dengan berpikir, “Andai ini beneran jelek, masa iya Tuhan ngasih gue hal jelek?”

Infografik HL Indepth Rambut Keriting

Infografik HL Indepth Rambut Keriting. tirto.id/Sabit

Bukan Perkara Personal, Tapi Standarisasi Kecantikan

Persoalan rambut, rupanya tidak bisa dilihat sebagai permasalahan personal semata karena konstruksi sosial soal standar kecantikan sangat berpengaruh pada cara pandang terhadap rambut keriting.

Iman Fachruliansyah, Dosen Antropologi di Universitas Indonesia mengungkap bahwa cara pandang orang terhadap rambut keriting adalah “warisan” pemikiran zaman kolonial. Menurut Iman, orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia menciptakan sistem strata dalam masyarakat yang menempatkan orang-orang kulit putih dan berambut lurus ada di tingkatan teratas. Tingkatan di bawahnya ditempati orang-orang yang datang dari Timur Tengah dan Asia Timur. Sementara strata paling bawah ditempati oleh orang-orang Indonesia yang berkulit lebih gelap dan berambut tidak lurus.

Standar tersebut terus direproduksi hingga berpuluh-puluh tahun kemudian—bahkan sampai saat ini. Salah satunya melalui media massa dan juga produk-produk budaya populer yang bersumber dari barat.

Dampak lebih jauhnya pada saat ini adalah ketersediaan produk-produk yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari termasuk produk untuk kebersihan tubuh. Menurut analisa Iman, ketersediaan produk perawatan rambut yang ada di Indonesia juga dipengaruhi oleh siapa di balik industri produk tersebut dan bagaimana pandangan mereka.

“Industri sampo itu kan memang datangnya dari barat ya. Memang mayoritas rambutnya lurus kan. Jadi karena mereka punya power secara ekonomi, distribusi, produksi, secara enggak langsung itu juga mempengaruhi,” kata Iman.

Iman, yang mengkhususkan studi pada antropologi biologi, menegaskan bahwa orang-orang di Indonesia memiliki jenis rambut yang beragam akibat percampuran berbagai etnis yang menempati wilayah ini sejak puluhan ribu tahun lalu. Ia mengingatkan kembali bahwa gelombang migrasi pertama di Indonesia (dan juga berbagai daerah lainnya) adalah orang-orang dari Afrika.

Setelahnya disusul dengan gelombang migrasi dari bangsa-bangsa lain yang akhirnya mengakibatkan keragaman bentuk fisik dari orang-orang yang menempati wilayah Indonesia. Namun lagi-lagi, penciptaan sistem kelas oleh pemerintahan kolonial menciptakan pandangan soal mana yang dipandang lebih baik dari yang lain.

Pendapat Iman soal bagaimana para pemilik modal bekerja terasa berhubungan dengan pendapat Heru Gunadi, penata rambut. Ia pernah bekerja sebagai edukator di sebuah perusahaan produk perawatan rambut. Heru berkata produk perawatan rambut yang diperdagangkan secara luas di pasaran—istilahnya skala retail—dibuat dari kandungan kimia yang cenderung lebih mudah diaplikasikan pada tekstur rambut yang lurus.

“Rambut keriting memerlukan jenis komponen tertentu yang tingkat formulasinya lebih rumit dan tidak bisa dijual dengan harga yang sama dengan harga retail,” kata Heru. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa itu sebabnya mengapa mayoritas produk perawatan untuk rambut keriting tersedia di salon untuk kalangan kelas menengah ke atas.

“Aku lihat ada tiga masalah yang terkait rambut keriting ini. Masih ada pencitraan di iklan-iklan kalau rambut bagus tuh yang lurus dan berkilau, rambut keriting memang perlu komponen khusus di produk perawatannya, edukasi hair dresser untuk menangani rambut keriting masih sangat minim.”

Candra, artistic technical manager Matrix, berkata bahwa hasil survei yang dilakukan lini produk perawatan rambut tersebut menunjukkan para responden masih menganggap bahwa rambut yang baik ialah rambut panjang dan lurus.

“Sampai sekarang, smoothing udah seperti kebutuhan. Pemasukan dari sana lebih banyak dibanding layanan pewarnaan rambut, gunting, blow. Di semua daerah begini,” kata Candra mengisahkan layanan yang paling popular di salon kelas menengah.

Sepengamatannya, gaya rambut keriting hanya diminati untuk acara-acara tertentu. “Itu pun keritingnya kita buat. Tidak permanen dan lebih mudah ditata dibanding keriting asli. Peminatnya tetap enggak sebanyak smoothing karena harganya lebih tinggi.”

Menggugat standar kecantikan

Pada akhirnya, upaya-upaya untuk mempertanyakan ulang standar kecantikan dilakukan oleh individu-individu yang selama ini turut terstigmatisasi. Grace memutuskan untuk membuka usaha salon khusus rambut keriting dan membuat produk minyak dan gel rambut dengan harga yang relatif lebih rendah dibanding produk-produk perawatan rambut impor yang ada di salon.

Grace bercerita, sejak memutuskan membuat konten di YouTube soal rambut keriting dan membuat produk perawatan rambut; ia mendapat begitu banyak komentar orang yang menyatakan keluhan serupa dan bahagia punya teman “senasib” yang bisa diajak berbagi.

Ia tak menyangka salonnya yang berada di kawasan Jakarta Selatan bisa mendapat respons yang baik sejak awal dibuka pada beberapa tahun lalu. Banyak pula yang berkonsultasi via Instagram.

Grace kerap bertemu dengan para orang tua yang mengeluhkan kondisi rambut anaknya yang keriting dan kebingungan mereka dengan cara merawat rambut.

“Intinya kami mau edukasi temen-temen biar mereka lebih tahu cara merawat rambut dan bisa embrace rambut aslinya,” kata Grace.

Gyta adalah salah satu orang yang sempat berkonsultasi online kepada Grace soal rambut. Sejak berkonsultasi online pada akhir 2020 lalu, ia mulai berani memanjangkan rambut dan menggunakan produk perawatan rambut yang tersedia. Sekarang, Gyta mengaku bahagia karena mengerti cara menata rambut dan bisa melihat keindahan gelombang rambutnya.

Yashinta beranggapan bahwa sampai saat ini media-media masih perlu merepresentasikan berbagai bentuk fisik orang sehingga tidak lagi termakan pada satu standar tertentu.

“Kalau zaman gue SMA, kuliah dulu, gue bisa nganggep diri gue normal tuh nonton orang-orang afro tampil di MTV. Dari situ gue mulai ngerasa baik-baik aja. Kalau sekarang ya liat di YouTube. Ada banyak keragaman di sana.”

Sementara itu, Iman beranggapan bahwa dorongan publik yang konsisten dalam bentuk gerakan atau penciptaan tren bisa jadi mempengaruhi keputusan para pemain industri besar untuk berinovasi membuat produk perawatan rambut keriting dalam skala massal.

“Saya pikir ada kemungkinan pada akhirnya si produsen ini pun pastinya mereka melihat pasarnya bagaimana. Ada yang bisa mereka setting pasar, tapi ada juga yang dipengaruhi pasar.”

Baca juga artikel terkait RAMBUT KERITING atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi