Menuju konten utama
4 Maret 1193

Sisi Kejam Saladin dalam Perang Salib

Kisah mengenai Shalahuddin Al-Ayyub atau Saladin kerap diwarnai sanjungan. Namun ada sisi lain soal kekejaman sang panglima dalam Perang Salib Jilid Kedua yang membuatnya sangat ditakuti lawan.

Sisi Kejam Saladin dalam Perang Salib
Ilustrasi Mozaik Shalahuddin Al-Ayuubi. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - “Yusuf, kemasi barangmu! Kita akan berangkat!”

Saat itu Desember 1168. Lebih dari dua puluh tahun sebelum pecah Perang Salib Kedua yang akan jadi peristiwa penting Kerajaan Islam merebut Kota Yerusalem. Sosok yang diperintah adalah keponakan dari pendekar bermata satu bertubuh tambun. Panglima tua bernama Shirkuh.

Pemuda yang sedang diperintah ini sangat berbeda dengan pamannya. Kurus, ringkih, dan usianya masih 31 tahun. Tampan, berkulit cerah, dan punya garis wajah melankolis. Namanya Yusuf bin Najmuddin. Dari Suku Kurdi. Pada hari itu ia ditugaskan Sultan Nuruddin untuk mengantar Shirkuh membawa pasukan Kerajaan Islam dari Damaskus untuk menuju Mesir guna membebaskan Mesir dari serangan orang-orang Kristen. Saat itu Yusuf begitu takut.

“Seperti seorang pria yang diantar menuju kematiannya,” kesan Yusuf seperti yang dikisahkan Karen Amstrong dalam Holy War: The Crusades and Their Impact an Today’s World (2001: 372-410).

Setelah memasuki Mesir beberapa bulan kemudian, sang paman mendadak meninggal dunia. Mesir sudah berhasil dikuasai kembali. Masalah kemudian muncul, siapa yang harus menggantikan sang paman?

Banyak amir (pemimpin) yang lebih layak daripada Yusuf, tapi beberapa petinggi ingin seseorang yang loyal dengan kepribadian yang lebih bersahabat. Yusuf adalah yang termuda dan tampak tidak berpengalaman serta paling lemah di antara para amir dalam pasukan Shirkuh, ia pun dipilih untuk memimpin Mesir.

Namun siapa sangka, sosok yang dikira lemah dan terlalu lembek ini malah menjelma jadi sosok yang kuat dan efektif dalam kampanye jihadnya merebut Yerusalem. “Ketika Tuhan memberiku negeri Mesir, aku yakin bahwa Dia juga bermaksud memberiku tanah Palestina,” kata Yusuf dalam pelantikannya sebagai Wazir (semacam gubernur) di Mesir.

Dan pada akhirnya orang-orang akan lebih mengenal dengan nama julukannya: Shalahuddin, yang berarti “keadilan agama”. Atau pasukan salib mengenalnya dengan panggilan “Saladin”. Panglima perang paling dihormati—sekaligus ditakuti—pasukan salib.

Shalahuddin tidak mendapatkan takhtanya begitu saja. Ia lebih dulu harus bersitegang dengan Sultan Nuruddin yang memberinya perintah beserta pamannya saat ia masih muda dan begitu polos beberapa tahun sebelumnya. Beruntung, takdir seperti menunjuk Shalahuddin memimpin pasukan muslim dalam kampanye jihadnya. Di tengah Sultan Nuruddin bersiap memerangi “pemberontakan” Shalahuddin di Mesir, pada 15 Mei 1174 Sang Sultan meninggal dunia. Membuat kursi “khalifah” kosong begitu saja.

Reputasi Shalahuddin sebagai sosok yang sangat religius memudahkan para fanatik balik menaruh dukungan kepadanya. Provinsi-provinsi Islam yang tersebar dan tercerai berai bersatu di bawahnya.

Pada akhirnya pasca 1181, untuk pertama kalinya—dan satu-satunya—dalam sejarah Islam, berdiri kerajaan-muslim yang begitu besar dan bersatu dalam satu panji. Dan di saat bersamaan, nama Yusuf tenggelam ditelan kebesaran nama julukannya sendiri: Shalahuddin Al-Ayyubi.

Kekejaman Shalahuddin

Dalam salah satu pertempuran paling dahsyat dalam Perang Salib jilid kedua, ada kisah yang terus menjadi gambaran pasukan salib betapa mengerikannya pasukan Shalahuddin di tanah Palestina. Pertempuran yang terjadi di Bukit Hattin, orang-orang Eropa menyebutnya “Battle of Hattin”.

Pasukan Salib saat itu dipimpin oleh Guy de Lusignan. Seorang fanatik yang menjadi Raja Yerusalem setelah kematian anak Sibylla, Raja Baldwin V yang menggantikan pamannya, Raja “Lepra” Baldwin IV yang dikenal sangat bijaksana. Guy sangat berambisi menghabisi “pasukan kafir” dan yakin bahwa serbuannya ke Tiberias (tempat mukim pasukan Shalahuddin) adalah takdir Tuhan.

Pertempuran Hattin juga sempat mengubah persepsi mengenai Shalahuddin yang dikenal welas asih pada musuhnya. Imaduddin al-Ishfakhani, sekretaris Shalahuddin membeberkan kesaksiannya, “Pada hari itu aku menyaksikan bagaimana Shalahuddin membunuh kaum tak beriman untuk memberi napas bagi Islam dan menghancurkan politeisme untuk membangun monoteisme.”

Adalah Reynauld dari Chattilon, tangan kanan Guy Sang Raja Yerusalem, yang membuat Shalahuddin berubah jadi sosok kejam. Empat tahun sebelumnya, Reynauld membunuh adik perempuan Shalahuddin saat gencatan senjata masih terjalin antara pasukan salib dengan pasukan muslim. Memperkosa dan membantai seluruh kafilah muslim yang melewati tanah Palestina. Mengeksekusi dan menjarah wilayah-wilayah muslim.

Ketika seorang muslim mengingatkan akan gencatan senjata yang masih berlaku, Reynauld malah menghardik, “Biar Muhammad-kalian datang dan menolong kalian!”

Seolah belum cukup memprovokasi Shalahuddin, Reynauld juga memiliki rencana akan menyerang kota suci umat muslim: Mekkah. Rencana yang kelewatan ini justru memberi kekuatan berlipat di pihak pasukan muslim. Semua kabilah-kabilah kemudian bersatu di bawah panji Shalahuddin dan menghilangkan perselisihan masing-masing. Shalahuddin pun bersumpah, “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Maka terjadilah pertempuran terbesar dalam sejarah Perang Salib Jilid Kedua yang begitu kejam dan menentukan.

Kekalahan Kaum Fanatik

Sekalipun kampanye jihad merupakan cara yang membuat seluruh pasukan muslim bersatu, di pihak lawan kampanye yang sama malah dijalankan dengan cara yang jauh lebih banal. Mematikan akal sehat dan seolah-olah mempercayai bahwa Tuhan akan membantu Pasukan Salib dengan mukjizat.

Salah satu tanda-tanda itu datang ketika Guy menyetujui usulan Reynauld untuk mendatangi langsung pasukan Shalahuddin di Tiberias. Para kaum fanatik buta ini mengabaikan penalaran militer. Memburu pasukan Shaluhddin di tempat terbuka dan bukannya menunggu di balik tembok kastil Kota Yerusalem.

Bersama 20 ribu pasukannya, Guy dan Raynauld menyeberangi lembah-lembah Galilea dalam musim panas yang terik. Terbebani dengan baju zirah mereka yang berat. Shalahuddin—walaupun seseorang yang sangat religius—adalah panglima militer dengan kecerdasan strategi luar biasa. Ia tahu bahwa akses air adalah penentu jalannya pertempuran kali ini.

Shalahuddin membendung persediaan air dan mengeringkan banyak mata air. Memerintahkan pasukan pemanah grup kecil untuk mengincar tentara musuh yang terpisah dari rombongan. Para pasukan salib setengah gila karena kehausan. Pada akhirnya mereka sampai ke Laut Galilea dalam keadaan kelelahan dan baru menyadari bahwa satu-satunya sumber air adalah tempat di mana perkemahan pasukan Shalahuddin berada.

Sekalipun tanpa taktik semacam ini, Shalahuddin sebenarnya tetap bisa memenangi pertempuran--pasukan muslim 10 ribu lebih banyak, tapi Shalahuddin tahu, di belakang Guy dan Reynauld, ada Kota Yerusalem yang mesti direbut. Dalam rencana Shalahuddin, akan sia-sia jika kemenangan di Bukit Hattin tidak berlanjut ke kemenangan berikutnya.

Dalam kondisi lelah dan dehidrasi yang luar biasa, pasukan salib beristirahat di Bukit Hattin. Sorak-sorai pasukan Shalahuddin sudah terdengar dari kejauhan. Menunjukkan betapa siap pasukan Shalahuddin menyambut kemenangan yang bertepatan pada tanggal 26/27 Ramadhan.

Infografik Mozaik Sisi Kejam Saladin

Infografik Mozaik Sisi Kejam Saladin

Pada akhirnya saat fajar 4 Juli 1187, berangkatlah pasukan Shalahuddin menyerbu Bukit Hattin tempat pasukan salib berkemah. Mengalahkan begitu telak dan hanya menyisakan sedikit dari mereka. Beberapa baron dan ksatria memang ada yang lolos dari kepungan pasukan Shalahuddin. Beberapa di antaranya adalah Balian de Ibelin, sosok yang akan memimpin milisi dan tentara rakyat Yerusalem mempertahankan kota dari pasukan Shalahuddin beberapa bulan kemudian.

Setelah pertempuran usai, Shalahuddin membawa dua tawanan yang paling berharga ke dalam tendanya. Raja Guy dan Reynauld. Dua pria yang sangat kelelahan sekaligus kehausan. Shalahuddin memberi Guy sebuah air es yang menyegarkan. Guy meminumnya, kemudian memberikan kepada Reynauld.

Sudah dalam tradisi Arab bahwa seorang tuan rumah tidak boleh membunuh lelaki yang ia beri makan dan minum. Ketika Reynauld minum dengan begitu entengnya tanpa perintah tuan rumah, Shalahuddin bertanya, “Siapa yang mengizinkanmu minum?”

Reynauld cuma bergeming. Shalahuddin pun melanjutkan kalimatnya, “Karena itu aku tidak diharuskan menunjukkan belas kasihan kepadamu.” Seketika kalimat itu usai, Shalahuddin langsung mencabut pedang dari sabuknya dan memenggal kepala Reynauld di hadapan Guy yang ketakutan dan yakin bahwa gilirannya akan tiba.

Melihat Guy yang ketakutan Shalahuddin kemudian berkata, “Raja tidak membunuh Raja. Mengapa kamu tidak mendekati seorang raja agung untuk belajar dari keteladanannya?”

Raja agung yang dimaksud adalah Raja Baldwin IV, raja yang menderita penyakit lepra sampai akhirnya meninggal dunia. Meninggalkan Kerajaan Kristen Yerusalem dalam genggaman Raja Guy sang fanatik buta dan membuat Kerajaan Islam akhirnya mampu menguasainya.

Shalahuddin meninggal pada 4 Maret 1193 di Damaskus, Suriah.

===

Catatan: Pada naskah, redaksi melakukan ralat bagian Pertempuran Hattin karena kekeliruan referensi.

Baca juga artikel terkait PERANG atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Suhendra