Andai saja sudah dibuat pemetaan mendetail soal sebaran patahan dan zonasi rawan gempa, bisakah kita mengerem lajur pertumbuhan mal, hotel, dan apartemen di provinsi DIY?
Lonjakan nilai properti membuat sebagian orang tertarik berinvestasi di provinsi DIY. Tapi peluang ini dimanfaatkan para pengusaha nakal untuk melakukan dugaan kasus penipuan. Ratusan miliar rupiah duit konsumen lenyap.
Pembangunan apartemen dan hotel di Yogyakarta mulai jadi tren sejak 2012. Sayangnya, tren ini diiringi polemik, termasuk dugaan-dugaan kecurangan yang dilakukan pihak pengembang.
Warga Karangwuni dan Balirejo, keduanya di Sleman dan Kota Yogya, menolak pembangunan apartemen. Pihak pengembang melakukan beragam upaya, termasuk memanipulasi mekanisme sosialisasi, buat memuluskan rencana mendirikan bangunan gigantik tersebut.
Gedung-gedung tinggi semakin marak di Yogyakarta. Sudah ada 55 bangunan bertingkat hingga 18 lantai di Yogyakarta. Padahal, kota tersebut sangat rentan bencana gempa.
Apartemen dan hotel marak di Yogyakarta bukan sekadar karena kampus, wisata, dan (rencana) bandara, tapi dipengaruhi harga jual tanah yang semakin tinggi.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan moratorium izin pembangunan hotel akan berakhir pada 31 Desember 2016. Melihat okupansi hotel masih rendah, Yogyakarta memutuskan memperpanjang batas waktu pemberian izin mendirikan hotel selama setahun kedepan.