Menuju konten utama

Pergilah Perlahan, Mp3

Fraunhofer yang memegang lisensi mp3, memutuskan tak memperpanjang paten. Mereka sudah mulai meninggalkan format lawas itu dan beralih ke format audio yang lebih modern. Apakah ini akhir dari format audio yang berjaya lebih dari 3 dekade ini?

Pergilah Perlahan, Mp3
Ilustrasi MP3 Player. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Ismail malu-malu bercerita sore itu, tahun 2005. Ia menghidupkan komputer. Menunggu wallpaper hamparan rumput hijau muncul, pria asal Jawa Tengah ini membuka Winamp. Ia memasukkan "Sexual Healing.mp3" milik Marvin Gaye, dan menekan tombol play. Suara empuk Marvin memecah kesunyian kamar kosnya sore itu.

"Ya lagu ini yang kuputar keras-keras supaya suara kami enggak terdengar," katanya.

Sore itu ia berkisah: sejak tadi malam, keperjakaannya sudah tak lagi di tempat. Tempat kejadian perkara adalah kamar kosnya. Supaya suara mencurigakan tak terdengar tetangga kosnya, ia memutar lagu keras-keras. Sebelumnya tentu ia sudah memasukkan sandal si pasangan ke dalam kamar.

Sekitar 12 tahun kemudian, tadi malam, ia mengirim pesan pendek pada saya. Isinya tautan tentang usainya izin paten mp3. Tautan itu sudah saya baca beberapa hari sebelumnya.

"Aku jadi ingat 'Sexual Healing'," katanya.

"Yang pertama memang sukar dilupakan," balas saya.

Kami, generasi yang tumbuh di era 1990-an sudah kehilangan banyak hal manis yang menemani tumbuh besar. Winamp, pemutar musik yang dipakai kawan saya untuk menemani kegiatan menyenangkan itu, sudah berhenti beredar sejak 20 Desember 2013. Sekarang, Fraunhofer Institute, pemilik lisensi mp3 mengumumkan akan menghentikan lisensinya.

Dalam rilis resminya, Fraunhofer menyatakan, "Meski ada beberapa format audio yang lebih canggih hari ini, mp3 masih amat populer di kalangan para pemakai. Namun, sebagian besar layanan media seperti streaming atau tv dan siaran radio sudah menggunakan codecs IS0-MPEG modern, seperti di kelompok AAC atau MPEG-H di masa depan. Format baru itu bisa memberikan fitur audio yang lebih baik dan dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang mp3."

Begitu saja akhir paten dari mp3, format musik yang pernah jadi paling populer.

Sejarah Panjang Mp3

Secara sederhana, mp3 dapat diartikan sebagai format audio yang telah dikompres sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Format ini menghilangkan komponen audio yang tidak begitu kentara bagi pendengaran manusia. Kelemahannya, suara mp3 tidak sebagus format audio asli.

Jika dibandingkan dengan file audio dari CD, kompresi mp3 bisa mengecil antara 75 hingga 95 persen. Menurut situs Digital Preservation, ukuran bit umum mp3 adalah 128 kbit/s. Dengan kompresi 91 persen, ukuran file audio bisa mengecil tinggal 9 persen dari format asli dari CD. Bit rate ini bisa menentukan kualitas mp3. Semakin besar angka bit-nya, semakin bagus kualitas suaranya.

Format mp3 dibuat oleh Moving Picture Expert Groups (MPEG). Ini adalah kelompok yang terdiri dari beberapa pakar dan merupakan pihak yang berwenang untuk membuat standar audio dan kompresi video. Kelompok ini dibentuk pada 1988. Saat ini ada 350 anggota yang terdiri dari berbagai kalangan. Mulai pakar suara, institusi riset, pekerja industri, hingga kampus.

Jika mau merujuk jauh ke belakang, mungkin ide awal menghilangkan bagian-bagian yang tak tertangkap indera pendengaran manusia itu berawal dari 1894. Saat itu fisikawan Alfred Mayer melaporkan bahwa sebuah nada bisa tidak terdengar oleh telinga jika ada nada yang lebih rendah. Penemuan Mayer ini kemudian yang mengilhami para ahli suara di MPEG untuk menghapus bagian-bagian yang kurang tertangkap telinga manusia.

Karena itu akan ada perbedaan suara antara format mp3 dengan format semisal piringan hitam. Philips Vermonte, peneliti CSIS yang menyukai piringan hitam, pernah mengatakan alasan kenapa ia suka mendengarkan musik dari vinyl. Jika mendengarkan piringan hitam, ada detail-detail yang tak akan bisa dihadirkan oleh mp3.

"Mp3 dan format digital lain memang sangat praktis. Tapi suaranya terlalu kering," ujar salah satu pendiri situs Jakartabeat ini.

infografik matinya mp3

Meski dianggap inferior soal kualitas suara, format mp3 sukar dibendung. Ia punya penggemar setia. Sebab format inilah yang membuat musik jadi lebih mudah dibagi. Saat Fraunhofer resmi merilis nama .mp3 pada 14 Juli 1995, dunia musik berputar lebih cepat. Dengan segera format ini dipakai di seluruh dunia.

Format mp3 kemudian memicu banyak lahirnya produk audio digital. Mulai dari Sony Walkman, iPod, Dell DJ, Microsoft Zune, hingga Philips GoGear.

Ada beberapa alasan kenapa format mp3 ini bisa sangat populer. Saat itu, kapasitas penyimpanan belum sebesar sekarang. Disket hanya berukuran beberapa ratus kilobyte. Flash disk? Itu teknologi alien dari planet mana? Karena ukurannya yang kecil itu, mp3 amat cocok pada masa itu. Orang bisa menyimpan lagu dalam jumlah banyak dengan ukuran mini.

Pada awal 1990, Internet Underground Music Archive mulai mencoba mendistribusikan lagu berformat mp3 melalui internet. Ini juga keunggulan mp3. Kala itu, kecepatan internet macam menunggu keong berjalan. Ukuran mp3 yang kecil mempermudah orang mengunggah maupun mengunduh.

Format ini makin populer saat Nullsoft, perusahaan perangkat lunak asal Arizona, merilis Winamp pada 1997. Saking populernya Winamp, tidak sampai setahun, perangkat lunak ini sudah diunduh hingga 3 juta kali. Pada 2000, Winamp punya pengguna resmi berjumlah lebih dari 25 juta.

Di Indonesia, perangkat lunak bajakan Winamp beredar bebas. Membuat peredaran lagu format mp3 juga berputar kencang. Dari warnet ke warnet. Dari forum ke forum lain. Dari situs berbagi seperti Napster, hingga ke Limewire.

Dengan mudahnya format ini beredar ilegal, para perusahaan rekaman menuduh bahwa sistem berbagai file di internet ini adalah penyebab penjualan album menurun. Saat itu pula beredar istilah "music piracy", alias pembajakan seperti yang kita kenal sekarang.

Para perusahaan rekaman raksasa lalu mulai menggugat para penyamun digital ini. Yang paling monumental adalah kasus A&M Records melawan Napster pada 2001. Saat itu, 18 perusahaan rekaman menuntut Napster karena pembajakan. Termasuk The Big Four di industri musik: Universal Music Group, Sony Music Entertainment, EMI, dan Warner Music Group.

Ini adalah kasus besar pertama yang berkaitan dengan hak cipta dalam dunia digital dan tradisi berbagi file antar pengguna (peer-to-peer file sharing). Kasus ini ibarat Goliath melawan David. Napster adalah situs yang didirikan oleh Shawn Fanning pada 1999. Saat itu Shawn adalah mahasiswa baru di jurusan ilmu komputer, Northeastern University.

Tak seperti David dalam legenda yang menang melawan Goliath, di sini Shawn dan Napster harus tersungkur. Pada 11 Juli 2001, hakim memutuskan Shawn harus menutup Napster. Pada September, Napster harus membayar 26 juta dolar pada para pemilik hak cipta lagu yang disebarkan lewat situsnya. Mei 2002, Napster mengumumkan bangkrut.

Namun tumbangnya Napster seperti jadi martir. Setelah itu, kultur berbagi lagu di internet dalam format mp3 seperti tak bisa dibendung. Ia terus ada dan punya semakin banyak pengguna. Ia juga memaksa industri musik berubah dan berbenah mengikuti gerak zaman.

Selamat Datang Format Baru

Sejak beberapa tahun terakhir, dunia audio memang mengalami kemajuan yang cepat. Ini dibarengi dengan semakin banyak orang yang "rewel" tentang kualitas suara. Para hipster kembali menggali harta karun audio berupa piringan hitam. Membuat mp3 mulai ditinggalkan.

Fraunhofer, perusahaan riset yang bermarkas di Jerman --negara dengan produk-produk audio kualitas wahid selain Jepang-- menyadari betul hal ini. Mereka terus mengembangkan format-format audio baru yang disiapkan untuk menggantikan mp3.

Salah satunya adalah Advanced Audio Coding (AAC). Teknologi ini sebenarnya tidak baru, sudah dirilis sejak 1997 namun baru disempurnakan belakangan ini. Menurut Karlheinz Brandenburg dari Fraunhofer, format AAC ini bisa menghasilkan kualitas lebih baik ketimbang mp3, dengan ukuran bit rate yang sama. Saat ini AAC adalah format standar yang dipakai di YouTube, Nintendi DSi, Playstation 3, hingga berbagai jenis produk Apple semisal iPhone, iPod, atau iPad. Juga di layanan streaming seperti Spotify.

Seiring hak paten yang tak diperpanjang, dan berbagai layanan digital sudah menggunakan format AAC sebagai standar, maka bisa dibilang ini adalah akhir perjalanan mp3. Dalam email pada NPR, direktur Fraunhofer, Bernhard Grill mengatakan format AAC sebagai "standar de facto untuk unduhan musik dan video di ponsel karena lebih efisien ketimbang mp3 dan menawarkan lebih banyak fungsi."

Namun ini bukan akhir dari format mp3. Hanya izin patennya yang tidak diperpanjang. Meski pengguna AAC sudah banyak, pengguna mp3 juga tak kalah banyak. Fraunhofer mengatakan bahwa mp3 masih amat populer saat ini dan diprediksi masih akan demikian hingga beberapa tahun ke depan.

Ini bukan kiamat tentu saja. Hanya mungkin akan melahirkan nostalgia bagi para pecinta mp3. Mereka yang kagum akan teknologi baru yang memungkinkan file musik jadi mudah dibagi. Atau bagi mereka yang melewati harinya dengan memutar lagu format mp3 di Winamp, seperti Ismail.

Baca juga artikel terkait MUSIK DIGITAL atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti