Menuju konten utama

Menyambut Temuan Vaksin Kanker, Kardiovaskular, dan Autoimun

Penelitian untuk menemukan vaksin kanker sudah mulai dilakukan oleh para ilmuwan di dunia sejak puluhan tahun yang lalu.

Menyambut Temuan Vaksin Kanker, Kardiovaskular, dan Autoimun
Ilustrasi Sel Kanker. Foto/iStockphoto

tirto.id - Sejak ditemukannya vaksin pada abad ke-15, sudah tak terhitung banyaknya nyawa yang berhasil diselamatkan dari serangan penyakit berbahaya.

Dan daftar ini akan semakin panjang karena saat ini sebuah perusahaan farmasi asal Amerika sedang mengembangkan jenis vaksin baru untuk mencegah penyakit kanker, kardiovaskular (seperti serangan jantung dan stroke), dan gangguan autoimun.

Seperti dilansir The Guardian, Dr. Paul Burton, kepala petugas medis di perusahaan farmasi Moderna menyatakan bahwa dirinya yakin perusahaannya akan dapat meluncurkan jenis-jenis vaksin tersebut hanya dalam tempo lima tahun ke depan.

Jangka waktu yang terbilang singkat, mengingat prosedur pembuatan dan uji coba vaksin tidak dapat dilakukan secara instan.

Selama pandemi melanda dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, riset terkait metode vaksinasi telah mengalami kemajuan pesat. Sejumlah peneliti menyatakan bahwa perkembangan selama 15 tahun di bidang vaksin telah berhasil dipangkas menjadi 12 hingga 18 bulan saja berkat keberhasilan vaksinasi COVID-19.

Vaksin yang bisa membantu menekan risiko serangan jantung dan kanker sudah lama dinantikan kehadirannya di dunia. Betapa tidak, kedua jenis penyakit tersebut termasuk ke dalam daftar sepuluh penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian secara global.

American Cancer Society menyatakan bahwa ada lebih dari 1600 orang di Amerika meninggal karena kanker setiap harinya pada tahun 2022.

Data WHO tahun 2020 juga menyebutkan bahwa 1 dari 6 angka kematian di dunia disebabkan oleh penyakit kanker. Lebih dari 70% di antaranya terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia.

Sedangkan data WHO tahun 2019 menyebutkan bahwa 32% angka kematian di dunia disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, yang sekitar 85% di antaranya adalah akibat serangan jantung dan stroke.

Hingga saat ini, penyakit kardiovaskular masih menempati peringkat teratas penyebab kematian tertinggi di dunia dan juga di Indonesia.

Burton mengungkap bahwa jenis vaksin kanker yang sedang dikembangkan di laboratorium ini merupakan jenis vaksin yang bisa dipersonalisasi untuk melawan tipe tumor yang berbeda-beda.

Cara kerjanya diawali dengan mengidentifikasi sel yang hendak dibasmi—dalam hal ini sel mutasi (sel abnormal) pada tumor; yang diambil dari tubuh pasien melalui prosedur biopsi.

Setelah sel mutasi pada tumor berhasil diangkat, algoritma mesin kemudian akan mengidentifikasi sel mutasi mana yang bertanggung jawab mendorong pertumbuhan kanker. Seiring waktu, algoritma mesin juga akan mempelajari bagian mana dari sel mutasi ini yang paling mungkin memicu respon imun tubuh.

Selanjutnya ilmuwan akan menyuntikkan molekul RNA (mRNA) dari sel mutasi yang sudah dipilih. Molekul mRNA ini berperan memberikan instruksi pada tubuh untuk memproduksi sejenis protein tertentu.

Keberadaan protein ini bisa memicu produksi zat antigen pada sistem kekebalan tubuh. Pada gilirannya, zat antigen inilah yang kemudian bertugas memerangi sel mutasi tanpa mengusik sel-sel tubuh yang sehat.

Metode yang kurang lebih sama juga digunakan untuk mengidentifikasi sel mana yang bertanggung jawab meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung, stroke, gangguan autoimun, dan jenis penyakit lainnya.

Cara kerja inilah yang menjadikan teknologi vaksin mRNA ini bisa digunakan untuk mengatasi berbagai jenis penyakit yang berbeda. Termasuk juga untuk mengatasi beberapa jenis penyakit infeksi pernapasan sekaligus hanya dengan sekali suntik. Sebelumnya, tipe vaksin mRNA juga sudah digunakan untuk membuat vaksin Covid-19.

Perjalanan Panjang Menemukan Vaksin Kanker

Meski menjanjikan hasil fantastis, tak sedikit pula orang yang menyambut kehadiran jenis vaksin baru ini secara pesimis. Sebagian menyangsikan efektivitas vaksin dan berpendapat bahwa penerapan gaya hidup sehat saja sudah cukup untuk menghalau aneka jenis penyakit termasuk kanker.

Sebagian lainnya beranggapan bahwa vaksin yang disebut bisa mencegah serangan jantung ini tak lebih dari sekadar "obat penawar"untuk menetralisir peningkatan risiko gangguan jantung akibat suntikan vaksin Covid-19 produksi perusahaan farmasi yang sama.

Terkait hal ini, sebuah artikel di Medical News Today menyebutkan bahwa efek samping berupa gejala peradangan jantung memang pernah dilaporkan setelah suntikan vaksin Covid-19. Namun hal tersebut amat jarang terjadi.

Selain itu, peradangan jantung juga merupakan risiko yang bisa disebabkan oleh infeksi Covid-19 dan infeksi saluran pernapasan lain. Karenanya, terlalu berlebihan apabila jenis vaksin baru ini disebut sebagai "obat penawar" risiko gangguan jantung akibat vaksin Covid-19.

Seperti dilansir Horizon--media riset dan inovasi yang diterbitkan oleh Komisi Eropa; Dr. Madiha Derouazi, CEO Amal Therapeutics dan salah satu dari tiga penerima penghargaan Uni Eropa untuk Women Innovators tahun 2020 menyatakan bahwa, penelitian untuk menemukan vaksin kanker sudah mulai dilakukan oleh para ilmuwan di dunia sejak puluhan tahun yang lalu.

Namun hingga saat ini, dunia medis baru berhasil menemukan vaksin HPV untuk mencegah penyakit kanker serviks.

Perjalanan panjang menemukan vaksin kanker sudah berawal pada sekitar tahun 1891, ketika seorang ahli bedah bernama Dr. Coley memerhatikan bahwa ketika pasien menderita kanker dan juga infeksi bakteri pada saat yang sama, maka tumor pada tubuhnya akan menyusut.

Selanjutnya, Coley mengembangkan campuran bakteri yang ia berikan kepada pasien untuk mendukung pengobatan kanker, dan beberapa kali menunjukkan hasil yang mengesankan.

Obat ini — yang disebut "racun Coley"; beredar di pasaran sampai setelah Perang Dunia Kedua, yaitu ketika FDA mensyaratkan uji klinis sebelum suatu obat disetujui untuk digunakan.

Infografik Vaksin Masa Depan

Infografik Vaksin Masa Depan. tirto.id/Quita

“Dari kisah Dr. Coley ini, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya sistem kekebalan tubuh — baik secara spontan ataupun dengan stimulasi tertentu; bisa mengenali sel kanker sebagai ancaman dan menyerangnya. Hanya saja, sel-sel kekebalan tubuh ini terkadang belum sepenuhnya aktif sehingga kita perlu memberikan sedikit dorongan untuk membuatnya bekerja,” jelas Derouazi.

Lanjut Derouazi, setiap jenis platform vaksin memiliki kelebihan dan kekurangan. Vaksin yang menggunakan protein lebih mudah dibuat daripada virus. Tetapi terkadang protein tidak menghasilkan respon kekebalan sesuai yang dikehendaki.

Untuk vaksin kanker diperlukan sel T sitotoksik yang mampu membunuh sel kanker. Tubuh juga perlu memiliki sinyal bahaya untuk mengaktifkan sistem kekebalan.

Selain itu ada pula isu heterogenitas genetik manusia yang memengaruhi apakah suatu jenis vaksin akan cocok digunakan pada tubuh seseorang dan tidak cocok digunakan pada tubuh orang lainnya.

Ini mirip dengan mekanisme pencangkokan organ baru, dimana dokter harus memilih pendonor yang memiliki kecocokan dengan tubuh penerima organ tersebut.

Idealnya, vaksin harus mampu mengatasi masalah heterogenitas genetik sehingga dapat bekerja secara efektif di tubuh orang Eropa, Asia, Afrika, dimana karakter genetik penduduknya sangat berbeda.

Derouazi juga menekankan bahwa vaksin kanker tidak akan pernah bekerja sendirian, melainkan perlu tetap disertai dengan operasi atau kemoterapi agar bisa bekerja secara efektif.

Ketika diwawancara pada tahun 2020, Derouazi dan timnya sudah tiba di fase uji klinis 1B (mencari tahu efek samping dan dosis yang tepat) untuk menemukan vaksin kanker usus besar. Ketika itu ia menyatakan sudah membaca dua publikasi hasil penelitian tentang vaksin kanker yang amat menjanjikan keberhasilan.

“Saya amat yakin bahwa dalam tempo lima tahun ke depan, kehadiran vaksin kanker akan menjadi kenyataan,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait TIPE KANKER atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi