Menuju konten utama

Menghayati Indonesia Lewat Musik Seriosa

Musik seriosa mencapai puncak popularitas di Indonesia saat dilombakan di RRI dalam acara Bintang Radio.

Menghayati Indonesia Lewat Musik Seriosa
Seriosa. foto/ Tim SSAS dan IdeaTul

tirto.id - Pada bulan Mei silam, saya menyaksikan lagi pertunjukan musik klasik yang sudah sekian lama absen karena pandemi.

Sebagai sebuah konser, pertunjukan yang digelar di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) ini bukan konser musik klasik biasa yang menyajikan repertoar dari tradisi musik Barat. Konser bertajuk Seriosa Tembang Puitik Indonesia ini menampilkan lagu-lagu klasik Indonesia gubahan sejumlah komposer lawas seperti Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul, FX Soetopo, Ismail Marzuki, Nortier Simanungkalit, Djudju Djauhari, dan Yongky Djohary.

Konser yang diselenggarakan oleh SSAS bersama IDEAtuls ini sekaligus merupakan pertunjukan peluncuran album musik berjudul Seriosa Tembang Puitik Indonesia Vol. 01 yang berisi 17 lagu dan bisa diakses oleh publik lewat kanal music streaming. Ada 8 dari 17 lagu di album tersebut yang dibawakan di Ruang A SSAS oleh Farman Purnama (tenor) dan Renardi Effendi (piano).

Ruang A SSAS lebih tepat dikatakan sebuah galeri ketimbang gedung konser. Meski demikian, sekitar 50 undangan yang hadir pada konser tersebut tampak berbaur dengan suasana khusyuk yang dibangun tidak hanya oleh penampilan dua musisi yang brilian, melainkan juga oleh tata cahaya yang bersahaja tapi mengena, sekaligus latar karya Sunaryo yang memberikan kesan artistik yang kuat.

Kehadiran para uudiens di sana juga memberi kekuatan tersendiri. Bagaimana tidak, beberapa undangan adalah keluarga para komposer yang pastinya punya hubungan emosional dengan komposisi yang dibawakan.

Sekali lagi, konser Seriosa Tembang Puitik Indonesia bukanlah konser musik klasik biasa. Penonton tidak sedang menikmati karya orang-orang nun di sana—misalnya Mozart, Beethoven, atau Tchaikovsky. Mereka sedang mengapresiasi karya-karya yang ditulis oleh manusia Indonesia, yang meski nama dan reputasinya mungkin lebih jarang didengar ketimbang nama-nama komposer besar dari Eropa, tapi tetap saja: mereka adalah komposer Indonesia.

“Lagu Seriosa Indonesia adalah pahatan karya seni dari masa ke masa. Meskipun terinspirasi dari lagu klasik Barat, namun tetap sarat dengan sentuhan karakter manusia Indonesia yang bersahaja dalam pengungkapan romansa,” bunyi keterangan pihak SSAS.

Seriosa
Seriosa. foto/ Tim SSAS dan IdeaTul

Karya komposer Indonesia ini tidak kalah secara estetik dari karya para komposer kenamaan Barat. Bahwa karya-karya para komposer Indonesia kalah popular, bisa jadi persoalannya adalah minimnya pendokumentasian, sebagaimana disampaikan oleh kurator SSAS Heru Hikayat.

“Di mana kita bisa dengarkan karya-karya musik klasik Indonesia? Mungkin kita hanya punya dokumentasi dalam bentuk partitur, tetapi untuk mendengarkan musiknya, bisa jadi susah sekali diakses. Itu sebabnya SSAS dan IDEAtuls menginisiasi rekaman ini, yang hasilnya mudah didengarkan melalui kanal digital,” ujar Heru sebelum konser dimulai.

Cita Rasa Indonesia

Penampilan Farman dan Renardi sangat prima saat membawakan karya demi karya. Durasi setiap karya terhitung pendek (total delapan karya bisa selesai dalam waktu kurang dari 45 menit—sedangkan pada konser musik seriosa pada umumnya 45 menit adalah waktu yang lumrah buat satu babak). Sebab itulah konser ini sama sekali tidak mengandung terlalu banyak variasi yang menyulitkan musisi sekaliber Farman dan Renardi. Namun, bukan pada persoalan itu letak kesulitan sesungguhnya dari repertoar yang dimainkan.

Tantangannya lebih pada bagaimana menghayati lagu demi lagu yang ditulis oleh orang Indonesia dan bercerita tentang Indonesia. Beberapa komposisi seperti "Melati di Tapal Batas", "Bukit Kemenangan", dan "Puing" adalah lagu dengan tema-tema perjuangan yang lebih indah jika ditampilkan tidak hanya dalam atmosfer patriotik, tapi juga punya daya nostalgik, membawa pendengar membayangkan suatu ruang dan waktu yang pernah berlangsung di Indonesia.

Bagi saya, inilah yang kemudian menjadi poin mengapa gelaran Seriosa Tembang Puitik Indonesia adalah proyek penting sekaligus bersejarah: membawa pendengar untuk lebih memahami setiap konteks karya yang dibawakan. Lebih dari itu, hemat saya, pendengar juga adalah sekaligus bagian dari kisah yang disampaikan dalam karya.

Seriosa
Seriosa. foto/ Tim SSAS dan IdeaTul

Pendengar tidak sedang dibuai oleh, misalnya, nomor-nomor "Nutcracker"-nya Tchaikovsky yang seolah sanggup membawa imajinasi pada aneka tarian padahal sebagai pendengar kita tidak punya ikatan yang jelas dengan muatan karya tersebut, dan karena itu pula imajinasi pendengar kepada karya itu tidak pernah benar-benar utuh.

Mengapresiasi Tchaikovsky bukannya tidak penting, tentu. Sebagai seni, musik klasik Barat tetap ada di posisi yang canggih dan adiluhung, yang dalam arti tertentu punya nilai keindahan universal sebagai sebuah musik. Namun mengapresiasi Tembang Puitik adalah domain yang lain: domain ketubuhan kita sebagai manusia Indonesia.

Alhasil, perasaan haru hingga menitikkan air mata menjadi pemandangan wajar dalam konser akhir bulan kemarin—termasuk bagi Farman yang kelihatan begitu tersentuh saat menceritakan proyek ini di masa jeda antara dua babak.

Pendek kata, untuk menyimak Tembang Puitik, seorang Indonesia tidak perlu benar-benar mempunyai pengetahuan memadai tentang musik klasik: cukup membawa tubuhnya saja, ia akan terserap dengan sendirinya.

Ikhtiar Mengenalkan Seriosa pada Generasi Muda

Seluruh nomor yang dibawakan di konser tersebut adalah istimewa. Namun jika harus memilih nomor mana yang paling menarik perhatian, saya memilih "Bukit Kemenangan" karya Djauhari. Pada komposisi tersebut, terjadi perubahan ritmik yang dimainkan dengan canggih oleh Renardi sebagai pianis. Di bagian awal, pendengar dibuai dengan tempo yang agak mendayu, sebelum diajak mengikuti tempo yang lebih cepat. Duet manis Renardi dan Farman, lagi-lagi, tampak tidak kesulitan menaik-turunkan dinamika.

Lagu lain seperti "O Angin" juga tidak kalah menggoda. Dengan iringan piano yang lembut dan tipis-tipis, pendengar diberi kesempatan untuk menyimak bagaimana Farman menyanyikan lagu yang liriknya diambil dari puisi Sanusi Pane dalam "Madah Kelana".

O, angin, bawa keluhku bersama kau/ Melalui pegunungan hijau/ Kepada Dinda/ Yang amat tercinta.

Hal lain yang tidak kalah menarik untuk dibicarakan adalah istilah “seriosa” sendiri yang ternyata merupakan istilah asli Indonesia. Untuk memahami pengertian musik seriosa, penting untuk terlebih dahulu dibedakan dari musik lain seperti musik pop atau keroncong yang lebih ditujukan buat kepentingan hiburan.

Musik seriosa adalah musik yang dibawakan secara serius dan memerlukan apresiasi yang juga serius. Keseriusan tersebut salah satunya muncul dari vokal yang ditampilkan dengan gaya resitatif opera atau bisa juga diturunkan dari tradisi lied atau art song di Eropa—yang lirik lagunya biasa diambil dari puisi.

Musik seriosa mencapai puncak popularitas di Indonesia saat dilombakan di RRI dalam acara Bintang Radio. Program yang diinisiasi tahun 1951 tersebut awalnya hanya menampilkan penyanyi musik keroncong. Namun sejak 1955, para penyanyi musik seriosa dan musik pop mulai ikut ditampilkan dan ternyata mendapat sambutan hangat dari para pendengar. Pranadjaja, Rose Pandanwangi, dan Aning Katamsi adalah contoh penyanyi seriosa legendaris yang pernah memenangkan lomba Bintang Radio.

Dengan demikian, proyek Seriosa Tembang Puitik Indonesia memang secara spesifik ingin menghidupkan kembali musik seriosa yang mungkin di kalangan generasi muda hari ini kurang populer. Hal ini dirasa memprihatinkan karena musik seriosa, bagaimanapun, adalah bagian dari sejarah musik Indonesia dan bahkan bisa diklaim sebagai “musik klasik Indonesia”.

Maka, dengan merekam dan memasukkannya pada kanal digital (termasuk menyelenggarakan konser-konser) yang mudah diakses publik, Farman selaku musisi sekaligus bagian dari IDEAtuls berharap musik seriosa kian dikenal oleh generasi muda.

Baca juga artikel terkait SERIOSA atau tulisan lainnya dari Syarif Maulana

tirto.id - Musik
Kontributor: Syarif Maulana
Penulis: Syarif Maulana
Editor: Nuran Wibisono