Menuju konten utama

Matt Le Tessier, "Tuhan" yang Berbahagia di Klub Semenjana

Matt Le Tissier mengubah pertandingan walau malas diet, makan seenaknya dan ogah latihan fisik. Ia sanggup melewati tujuh atau delapan pemain dengan santai, seperti berjalan dan numpang lewat saja.

Matt Le Tessier,
Mantan pesepakbola Inggris, Matthew Le Tissier. FOTO/The Sun

tirto.id - Membicarakan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, sampai taraf tertentu, ialah membicarakan rutin; tentang bagaimana diet, latihan, dan lain-lain yang dilaksanakan dengan kepatuhan pemeluk teguh.

Sepuluh hari sebelum pertandingan, Messi memangkas asupan karbohidrat habis-habisan, lalu meningkatkannya secara bertahap, sedikit demi sedikit, untuk memperoleh kadar gula darah yang ideal. Lima hari sebelum bertanding, ia menambahkan sup sayuran penuh rempah, yang berfungsi memperlancar peredaran darah, ke dalam daftar pangannya. Kemudian, sehari menjelang pertandingan, ia akan melahap udang atau ikan atau ayam plus kentang rebus.

Messi kembali mengurangi karbohidrat enam jam sebelum bertanding, mengganti makanan berat berbahan gandum dan umbi-umbian dengan bubur dan melengkapinya dengan putih telur. Dan, terakhir, sembilan puluh menit sebelum turun ke lapangan, ia hanya makan buah-buahan yang mengandung banyak serat dan sedikit gula.

Diet Ronaldo berbeda tetapi tak lebih longgar ketimbang Messi: dada ayam dan putih telur dan sayuran dan dada kalkun dan putih telur dan sayuran dan kacang polong dan begitu terus.

Itulah mengapa tubuh Messi dan Ronaldo menerbitkan selera banyak orang sedangkan perut pria kebanyakan, yang serupa dandang bocor, lebih mungkin mengundang tukang patri, dan mengapa mereka sanggup berlari dan melompat dan menendang bola ke sana-kemari selama 120 menit sedangkan Anda selalu ingin muntah setelah menguber Pokemon sejauh 212 meter.

Alasan berikutnya tentu saja latihan. "Sejak kecil, saban menggiring bola, saya selalu berusaha menciptakan gaya menggiring dan tipuan baru,” ujar Ronaldo suatu kali. Dan pada Desember 2005, ia berkata: "Kalau Anda ingin menjadi yang terbaik, seperti saya, Anda harus berlatih setiap saat."

Namun, sepakbola tak selalu demikian. Adakalanya seorang pesepakbola di kompetisi terberat dapat memperlakukan profesinya cuma sebagai salah satu, bukan satu-satunya, kesenangan dalam hidup dan tetap menjadi yang terbaik.

Misalkan Ronaldo membanggakan ketekunannya itu tiga puluh tahun lalu, barangkali Matthew Le Tissier akan bilang “Ah, yang betul?” sambil menggocek bola melewati pemain-pemain sangar macam Pepe, tak peduli pemilik nama terakhir merangsek ke arahnya seperti anggota ormas menyerbu warung yang memajang miras.

Gelandang serang yang bermain untuk Southampton selama enam belas tahun (1986-2002) itu mencetak 100 gol dalam 270 pertandingan Liga Primer Inggris, mengubah 47 dari 48 tendangan penalti menjadi gol, dan menampilkan sepakbola yang menyihir tanpa berusaha kelewat keras. Jauh sebelum Zlatan Ibrahimovic melucu di hadapan media massa dengan menyebut dirinya Tuhan, Le Tissier sudah dijuluki “Le God” oleh para penggemar Southampton.

Xavi, salah seorang pesepakbola terbaik zaman ini, berkali-kali menyatakan bahwa Le Tissier adalah idola masa kecilnya. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Fourfourtwo, misalnya, ia berkata, “Di Catalonia pernah ada acara televisi mingguan yang menampilkan gol-gol terbaik Liga Primer Inggris. Setiap pekan pasti ada Matt Le Tissier. Setiap Pekan,” ujarnya. Xavi dan keluarganya yang selalu menonton acara itu tergila-gila kepada Le Tessier.

“Dar! Bola meluncur ke pojok atas gawang; sentuhan ringan kaki kiri, lalu kaki kanan, kanan lagi, bola melambung di atas kepala bek, dan, der! Gol ke gawang Newcastle,” katanya. “Dor! Tendangan bebas yang menakjubkan.”

“Keterampilan Le Tissier di luar kelaziman. Ia sanggup melewati tujuh atau delapan pemain dengan santai, seperti berjalan dan numpang lewat saja,” ujar Xavi dalam kesempatan lain.

Semua itu dicapai Le Tissier dengan setelan kendor.

Michael Gibbons dalam When Football Came Home menulis bahwa Le Tissier pernah pingsan dalam sesi latihan karena sebelumnya ia kelewat bersemangat mengganyang sosis dan telur ceplok McMuffins. Tetapi kejadian itu jelas tak menjauhkan jari-jari Le Tissier dari makanan cepat saji. Ia makan burger Big Mac nyaris setiap hari dan senang minum-minum di pub bersama penggemar Southampton. Pada 2010, kepada Fourfourtwo, ia mengaku bahkan ia kerap makan fish and chips pada malam sebelum pertandingan.

Dan Le Tissier membenci latihan kebugaran. “Saya mau saja berlatih seharian kalau latihan itu melibatkan bola, tetapi di waktu pramusim kau cuma disuruh lari, dan itu membuatku bosan sampai terberak-berak,” katanya.

Banyak orang mengatakan Le Tissier menyia-nyiakan bakatnya, bahwa ia terlalu gampang puas, bahwa ia kurang ambisius, bahwa ia kelewat malas.

Pandangan itu mungkin benar, tetapi juga tidak adil karena kesempatan yang diberikan kepada Le Tissier terlampau sempit. Ia hanya bermain delapan kali untuk tim nasional Inggris, jauh lebih sedikit ketimbang Paul Gascoigne (57 kali), yang berbagi tempat dengannya dalam “Tim Inggris Impian” versi Xavi; dan bahkan lebih sedikit ketimbang Carlton Palmer (18 kali), makhluk langka yang, menurut Le Tissier, menendang bola lebih keras sewaktu menggiring ketimbang saat mengumpan atau berusaha mencetak gol.

Dalam pertandingan tim Inggris “B” melawan Rusia “B” untuk menentukan skuat Inggris pada Piala Dunia '98, Le Tissier mencetak hatrik. Lewat gol pertama dan ketiga, ia menunjukkan penempatan posisi kelas satu, dan gol kedua jelas mencerminkan daya tahan serta kerja keras—meski diseruduk tiga bek sampai terseok-seok, Le Tissier berhasil melancarkan tendangan akurat dari sisi kiri gawang Rusia.

Tetapi Glenn Hoddle, pelatih Inggris kala itu, tidak memilih Le Tissier dan malah mengangkut Robert Lee, gelandang lain yang sudah berumur 32 tahun, dan cuma menurunkannya selama 11 menit dalam pertandingan melawan Kolombia, ketika Inggris sudah unggul dua-nol.

Kemudian, di babak 16 besar, Inggris dikalahkan Argentina lewat adu penalti, sebagaimana mereka tumbang di Turin, Italia, pada semifinal Piala Dunia '90 oleh Jerman Barat dan dipermalukan di Wembley pada semifinal Euro '96 oleh Jerman.

INFOGRAFIK Matthew Le Tissier

Yang menyedihkan, atau, dalam bahasa Mark Gibbs dari situs 90min, “paling tolol”, ialah keputusan tak menyertakan penendang penalti terbaik yang dimiliki Inggris, siapa lagi kalau Le Tissier, dalam skuat Inggris untuk ketiga turnamen tersebut.

Gibbs menyatakan bahwa para pelatih tim nasional Inggris (Bobby Robson, Terry Venables, dan Glenn Hoddle) tidak pernah menjelaskan pengabaian mereka terhadap Le Tissier. Namun, ia menduga, selain soal kebugaran, pelatih-pelatih itu “tidak mau mengubah formasi yang telah mereka kembangkan hanya buat mengakomodasi pemain yang terkenal buruk dalam disiplin taktikal.”

Di tingkat klub, Le Tissier juga tak memenangkan piala apa pun. Ia memutuskan untuk terus bercokol di Southampton, kenyang hanya dengan tak tersingkir dari Liga Primer, dan menolak tawaran dari Tottenham Hotspur (1994) dan Chelsea (1996) yang memiliki peluang serta tekad lebih besar buat menjadi juara. Ia dan timnya juga tak pernah menjajal kancah Eropa. Maka, tidak sedikit penggemar dan pemerhati sepakbola Inggris yang berkesimpulan Le Tissier takut terhadap kompetisi.

Namun, dari sudut pandang yang lebih simpatik, karier Le Tissier dapat pula dibaca sebagai kisah tentang pesepakbola yang memahami habitat terbaik bagi dirinya. Di Southampton, Le Tissier pernah bekerja bersama sembilan pelatih dan mengalami masa terbaiknya di bawah kepemimpinan Alan Ball, yang memberinya kebebasan dan kesempatan menampilkan permainannya yang alamiah. Pada paruh kedua musim 1993-94, Le Tissier mencetak 15 gol hanya dalam 16 pertandingan.

Kegagalan di klub baru bukan cerita langka dalam sepakbola. Lagi pula, kata Le Tissier di kemudian hari kepada Telegraph, gaji yang ditawarkan Tottenham, misalnya, hanya lebih banyak beberapa sen ketimbang bayaran yang ia terima dari Southampton.

Le Tissier mengaku tidak menyesali keputusan-keputusan yang diambil sepanjang kariernya. Namun, ujarnya, jika ia harus bugar agar tak terjerembab dalam kompetisi, ia siap menjadi lebih bugar, sekalipun itu berarti perpisahan dari makanan cepat saji yang lezat dan kewajiban menjalani latihan-latihan yang membosankan. Persoalannya, 30 tahun lalu, Le Tessier tak memerlukan disiplin untuk menjadi salah satu yang terbaik.

“Saya tahu saya semestinya menjaga kebugaran, tetapi saya juga tahu saya sanggup mengubah permainan meski tidak sebugar pemain-pemain lain,” ujarnya.

Pada masa itu, Le Tessier bukan satu-satunya pemain luar biasa di Liga Primer Inggris. Eric Cantona dari Manchester United (1992-97) dan kemudian Thierry Henry dari Arsenal (1999-07), misalnya, sampai dijuluki “raja” berkat kemampuan mereka. Namun, buat apa menjadi raja kalau bisa menjadi Le God, menjadi Tuhan, seperti Le Tessier?

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Olahraga
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS