Menuju konten utama

Kendala KY Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM: Minim Pendaftar

KY juga dibatasi jangka waktu pelaksanaan seleksi calon hakim Ad Hoc HAM hanya 6 bulan dan batas usia minimal 50 tahun.

Kendala KY Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM: Minim Pendaftar
komisi yudisial. tirto/andrey gromico

tirto.id - Komisi Yudisial mengakui tidak dalam kondisi yang ideal saat melakukan seleksi calon Hakim Ad Hoc HAM Mahkamah Agung. KY mengklaim sudah melakukan upaya maksimal dalam menyeleksi calon Hakim Ad Hoc HAM.

Hal ini menjawab kritik yang disampaikan Kontras yang menilai pemahaman dan kompetensi calon Hakim Ad Hoc HAM tak mumpuni.

"Komisi Yudisial berpandangan yang sama bahwa seleksi terhadap calon Hakim Ad Hoc HAM Mahkamah Agung tidak berada dalam kondisi ideal. Terutama disebabkan pendaftar yang terbatas sekalipun penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin," ucap Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting, dalam keterangan tertulis, Senin (6/2/2023).

Miko menjelaskan KY sejatinya sudah memperpanjang waktu pendaftaran dan mendapatkan 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus dan dari 13 orang ada 3 calon yang mengundurkan diri.

Berdasar 10 calon tersebut, terang Miko, pada tahap seleksi kualitas hanya 6 calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak.

Selanjutnya hanya 5 calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara.

Sementara di sisi lain, KY dibatasi jangka waktu pelaksanaan seleksi menurut undang-undang, yaitu maksimal 6 bulan.

Terlebih pengajuan kasasi sudah dilakukan oleh kejaksaan terhadap putusan tingkat pertama perkara pelanggaran HAM di Paniai, yakni terdakwa diputus bebas dari tuntutan.

Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim agung pada tingkat kasasi melalui seleksi oleh Komisi Yudisial.

Miko melanjutkan, dalam seleksi ini tetap menerapkan mekanisme dan standar seleksi sebagaimana layaknya seleksi calon hakim agung, terutama pada aspek integritas.

"Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas," jelas Miko.

Miko menambahkan kendala KY dalam melakukan seleksi calon Hakim Ad Hoc HAM adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun.

Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial, tapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar.

Persoalan lain yang lebih struktural adalah ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini hanya satu perkara, yaitu perkara Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan.

Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama.

Padahal selama menjabat sebagai Hakim Ad Hoc HAM, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain. Selanjutnya, problem lain yang kerap muncul dari para calon adalah soal insentif.

Hingga saat ini, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim ad hoc tersebut.

Tiga persoalan pokok itu adalah problem struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual.

Dengan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat Kasasi, maka Komisi Yudisial mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada. Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda.

"Kami berpandangan jika seleksi diulang kembali, yang dengan demikian kami juga melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal 6 bulan, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?" pungkas Miko.

Baca juga artikel terkait HAKIM AD HOC HAM atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto