Menuju konten utama

Duduk Perkara AC Milan Terkena Sanksi UEFA

Li Yonghong membeli Milan pada April 2017. Daripada menjadi juru selamat, pengusaha asal Cina tersebut justru memperkeruh keaadan

Duduk Perkara AC Milan Terkena Sanksi UEFA
Krzysztof Piatek dari AC Milan merayakan setelah mencetak gol kedua timnya selama pertandingan sepak bola perempat final Piala Italia antara AC Milan dan Napoli di stadion San Siro, di Milan, Italia, Selasa, 29 Januari 2019. (AP Photo/Antonio Calanni)

tirto.id - Setelah finis di peringkat kelima Serie A musim 2018-2019, AC Milan seharusnya menjadi salah satu kontestan Liga Europa musim 2019-2020. Namun sebelum kompetisi tersebut dimulai, UEFA memberikan sebuah kejutan pada Jumat (28/6/2019). Otoritas tertinggi sepakbola Eropa itu mencoret Milan dari daftar peserta.

Pencoretan terjadi lantaran Milan terbukti menyalahi aturan Financial Fair Play (FFP). Berawal dari hitung-hitungan Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), wakil UEFA, Milan dinilai gagal menyeimbangkan neraca keuangan mereka pada periode 2014-2017 dan pada periode pengawasan 2015-2018. Kala itu, Milan mengalami kerugian di atas batas maksimal (30 juta euro) yang sudah ditetapkan dalam FFP.

CAS sebetulnya sudah mengendus pelanggaran itu sejak musim panas 2018. Namun, agar tetap bisa tampil dalam gelaran Liga Europa musim 2018-2019, Milan mengajukan banding dengan alasan sedang berada dalam fase transisi kepemilikan. CAS pun menerima banding tersebut.

Sayangnya, Milan ternyata gagal memperbaiki finansial mereka hingga tengat waktu yang diberikan pada akhir Juni 2019. Vonis akhirnya diketok, Milan pun tak punya jalan untuk melawan keputusan UEFA.

“Klub mengakui bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima sanksi, karena itu merupakan bentuk usaha untuk kembali menaati peraturan,” tulis situs resmi klub.

“Kami tetap berkomitmen mengembalikan klub ke tempat yang semestinya... Keputusan hari ini akan merangsang upaya untuk memaksimalkan usaha agar kami bisa benar-benar memenuhi aturan FFP... dan membuat kami bisa menyongsong masa depan dengan lebih positif.”

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ceritanya Milan terperosok ke jurang gelap tersebut?

Kena Tipu Daya Li Yonghong

Masalah keuangan Milan sebenarnya sudah terjadi sejak jauh hari, tepatnya saat Silvio Berlusconi, mantan bos Milan, gagal menjadi Perdana Menteri Italia dan terbukti bersalah dalam kasus penggelapan pajak pada 2013. Ditambah dengan jumlah pendapatan yang terus menurun setiap tahunnya, Berlusconi pun tak punya jalan lain selain menjual Milan.

Dari sana, Li Yonghong, seorang pengusaha asal Cina, datang menjadi juru selamat. Menurut Financial Times, Li resmi mengakusisi Milan dengan harga sebesar 740 euro pada April 2017. Namun, saat sebagian orang mengganggap pembelian itu sebagai kabar gembira, sebagian lainnya terkejut dengan pembelian itu: siapa Li Yonghong sebenarnya?

Menurut New York Times, Li Yonghong sempat mengaku sebagai seorang pemilik perusahaan tambang fosfat di kota Fuquan, Cina, sebelum membeli Milan. Namun setelah ditelusuri, perusahaan itu ternyata bukan milik Li, melainkan dikelola Guangdong Lion Asset Management.

New York Times kemudian menemukan fakta lain yang tak kalah mengejutkan: Li ternyata tidak sepenuhnya membeli Milan dari kocek pribadinya.

Semula, melalui Sino Europe Sports Asset Management Changxing yang ia bikin, Li ingin membeli Milan lewat uluran tangan dari pemerintah Cina, yang saat itu sedang gencar ingin berinvestasi dalam sepakbola. Apesnya, pemerintah Cina lantas menghentikan rencana investasi ke luar Cina, karena dinilai bisa menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.

Li pun kelimpungan. Ia kadung bernegoisasi untuk membeli Milan. Akhirnya, Li nekat membeli Milan lewat dana pinjaman dari Elliot Management, sebuah firma investasi asal Amerika. Tak main-main, ia meminjam dana berbunga tinggi--senilai lebih dari 300 juta dolar AS--dengan batas pelunasan Oktober 2018.

Pinjaman itu rupanya bikin Li malah membawa Milan menghantam tanah keras-keras, daripada menjadi juru selamat.

Elliot Gagal Selesaikan Pekerjaan Rumah

Pada sisi lain, Elliot Management mau terlibat dalam proses pembelian Milan ini tentu bukan tanpa sebab. Elliot, yang dianggap sebagai firma investasi paling kejam dan paling cerdik dan paling agresif di dunia, sadar bahwa utang Li akan menjadi kunci bagi mereka memiliki Milan pada masa depan. Dari sana mereka pun memberikan penawaran pinjaman yang tak masuk akal.

Menurut Financial Times, pinjaman itu bersifat “payment-in-kind”--sebuah struktur pinjaman berisiko yang memungkinkan Li membayar bunga tambahan dalam setiap pembayarannya--. Saat utang tidak dibayar, jumlah utang itu akan terus meningkat. Namun secara mengejutkan, Li ternyata menyetujuinya.

“Saya pikir ini adalah kisah science fiction. Saya belum pernah melihat hal seperti ini di dalam hidup saya. Saya tidak percaya ada orang yang mau menandatanganinya,” tutur salah seorang sumber yang terlibat dalam proses peminjaman kepada Financial Times.

Setelah mendapatkan Milan dari dana pinjaman, Li melangkah lebih nekat lagi. Pada musim panas 2017, ia berani mengeluarkan dana sekitar 200 juta untuk mendatangkan pemain baru. Dengan pemain-pemain baru, Li berharap Milan kembali berprestasi sehingga mampu meraih banyak keuntungan dari segi finansial.

Namun, kenyataan ternyata melawan kehendak Li: Milan hanya mampu finis di urutan keenam pada musim 2017-2018, kondisi keuangan klub semakin berantakan, dan Li tak punya dana untuk membayar utang.

Kondisi finansial ini lantas membuat Milan terbukti menyalahi aturan FFP, sehingga dapat sanksi seperti ditulis di atas,--tapi ditangguhkan karena banding dengan alasan peralihan kepemilikan--.

Saat pemberian sanksi ini, Li memang sedang berusaha menjual Milan. Namun kesepakatan anyar tak pernah terjadi, hingga Li gagal melunasi batas waktu pembayaran utang yang ditentukan Elliot. Per Oktober 2018, Elliot akhirnya mengambil alih kepemilikan Milan. Mereka setidaknya akan menguasai Milan sampai keadaan klub kembali stabil sehingga bisa kembali menjualnya ke pemiliki baru.

Namun lagi-lagi, keadaan Milan ternyata terlalu kronis. Di bawah bayang-bayang sanksi UEFA, Elliot juga harus mampu menaikkan daya jual Milan. Berbagai rencana diatur dari membangun stadion anyar hingga mendatangkan sejumlah baru.

Sayangnya, saat sanksi UEFA jatuh tempo, Milan ternyata belum ke mana-mana: pembangunan stadion baru terhambat agenda Olimpiade, prestasi mereka masih biasa saja, dan Milan belum punya cukup uang untuk memperbaiki kondisi finansial klub.

Baca juga artikel terkait LIGA EUROPA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih