Menuju konten utama

Biang Kerok Kekalahan Juventus Atas Atletico: Konservatisme Allegri

Target Juventus untuk meraih gelar Liga Champions musim ini bisa menguap ke udara. Sang pelatih, Massimiliano Allegri, patut disalahkan.

Pelatih Juventus Massimiliano Allegri (Reuters / Max Rossi)

tirto.id - Pada pertandingan leg pertama babak 16 besar Liga Champions, Rabu (21/2/19) dini hari tadi, Juventus kalah 2-0 dari tuan rumah Atletico Madrid. Nama José Giménez dan Diego Godín tercatat di papan skor.

Cristiano Ronaldo, yang gagal menghalau tendangan Godín, pencetak gol kedua Atletico, lantas mendapatkan sorotan dari Paolo Bandini, jurnalis The Guardian.

“Kedatangan Ronaldo seharusnya membantu Juventus memenangkan Liga Champions. Sebaliknya, ia malah membelokkan bola ke gawangnya sendiri untuk membuat timnya berada di tepi jurang babak 16 besar,” cuit Bandini sesudah pertandingan.

Namun, ia kemudian menambahkan, “Ngomong-ngomong, aku tidak sedang mencemooh Ronaldo. Defleksi itu adalah nasib buruk dan bukan satu-satunya hal yang membuat Juventus kalah. Ada penyebab lain yang jauh lebih besar dari itu.”

Bandini benar. Ronaldo tidak tampil buruk dalam pertandingan itu dan ia tidak pantas dicemooh. Ia rajin bergerak, ke kanan, ke kiri, hingga ke belakang untuk menjemput bola. Saat kreativitas rekan-rekannya tumpul, pemain asal Portugal itu pun sering mengambil inisiatif: melakukan tembakan jarak jauh atau mencoba menerobos pertahanan Atletico sendirian.

Setidaknya, menurut hitung-hitungan Whoscored, Ronaldo melakukan tujuh kali percobaan tembakan ke arah gawang dan tujuh kali dribel sukses, terbanyak di antara seluruh pemain lain yang terlibat di dalam pertandingan tersebut.

Sayangnya, usaha keras Ronaldo itu berjalan beriringan dengan blunder taktik dari Massimiliano Allegri, pelatih Juventus.

Sekali lagi, setelah berkali-kali, Allegri memilih bermain hati-hati di panggung Eropa. Juventus tidak berani tampil menyerang, seakan hanya ingin bertanding untuk meraih hasil imbang. Padahal mereka sebenarnya mempunyai kualitas untuk mendominasi jalannya pertandingan.

Tanda-tanda bahwa Juventus akan bermain hati-hati bahkan sudah terlihat sebelum pertandingan dimulai. Saat line-up kedua tim diumumkan, di sektor full-back kanan, Allegri memilih memainkan Mattia De Sciglio daripada João Cancelo.

Karena Sciglio jauh lebih bertahan daripada Cancelo, Allegeri tentu mempunyai tujuan: ia tidak akan membiarkan kedua full-back-nya aktif dalam menyerang.

Pendekatan Allegri itu lantas menjadi santapan empuk Atletico yang jago bertahan. Saat kehilangan bola, anak asuh Diego Simeone itu memilih merapatkan lini tengah dengan sesekali melakukan pressing setiap kali Juventus berusaha mempercepat tempo permainan.

Karena sulit menembus pertahanan Atletico lewat area tengah, Ronaldo dan Mario Mandžukić pun sering bermain melebar. Namun, tanpa mendapatkan dukungan dari dua full-back Juventus, pergerakan mereka jadi tak bisa signifikan.

Tahu bahwa Allegri memilih untuk bermain hati-hati, Atletico mulai berani bermain lebih menyerang pada babak kedua. Setelah Atletico sempat mendapatkan pelaung emas melalui Diego Costa pada menit ke-49, Simeone kemudian melakukan tiga pergantian pemain cerdik. Ia memasukkan Thomas Lemar, Álvaro Morata, hingga Ángel Correa.

Morata menggantikan Diego Costa. Lemar, yang menggantikan Thomas Partey, dimainkan di sisi kiri, bertukar posisi dengan Saúl Ñíguez. Sedangkan Correa dimainkan sebagai penyerang depan, membuat Antoine Griezmann bermain di sisi kanan.

Dengan perubahan tersebut, melalui Lemar dan Griezmann, Atletico berani melakukan tekanan terhadap duet full-back Juventus. Alhasil, serangan Juventus makin terputus dan anak asuh Simeone itu pun berada di atas angin.

Pada akhirnya dua gol Atletico memang dicetak oleh duet bek tengah: Diego Godín serta José Giménez. Tetapi, kuncinya tetap saja perubahan taktik Simeone.

Kelemahan di Sisi Lapangan

Yang menarik, jika saja Allegri mempunyai nyali untuk menyuruh dua full-back Juventus aktif dalam menyerang, pertandingan barangkali akan berakhir dengan hasil yang berbeda.

Dortmund dan Real Madrid pernah menunjukkan bahwa kelemahan pertahanan bergerendel Atletico terletak di sisi lapangan. Kombinasi serangan dari sayap yang mereka lakukan terbukti mampu merusak organisasi pertahanan Atletico.

Saat Atletico kalah 4-0 dari Dortmund, 24 Oktober 2018, kinerja Achraf Hakimi, full-back kiri Dortmund, dan Raphaël Guerreiro, sayap kiri Dortmund, menjadi mimpi buruk pertahanan Atletico. Juanfran, full-back kanan Atletico Madrid, pontang-panting dalam bertahan. Dan Thomas, gelandang bertahan Atletico, terpaksa sering meninggalkan posisinya untuk membantu Juanfran.

Alhasil, organisasi pertahanan Atletico buyar: Hakimi mencatatkan tiga assist, dan Guerrerio berhasil mencetak satu gol.

Sementara saat Atletico kalah 1-3 dari Real Madrid, 9 Februari 2019, kombinasi Vinicius Júnior dan Sergio Reguilón di sisi kiri lini serang Madrid juga menjadi lakon kekalahan Atletico.

Dan untuk semua itu, Carlos Garganese, penulis Goal.com, langsung mengutuk pendekatan taktik Allegri sesudah pertandingan.

“Pendekatan taktik memalukan dan pengecut dari Allegri. Anda tidak akan memenangkan Liga Champions dengan memainkan sepakbola konservatif. Memulai laga dengan De Sciglio daripada Cancelo menunjukkan rasa takut [...] Juve mungkin membutuhkan pelatih baru untuk memenangi Liga Champions.”

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Rio Apinino