Menuju konten utama

Tahu Bulat dan Gurihnya Industri Game Tanah Air

Game tahu bulat laris manis. Permainannya menjadi viral seiring popularitas penjual tahu yang menggunakan mobil bak terbuka ini. Pengembangnya cerdas mengambil pangsa pasar game tanah air yang sedemikian besar.

Tahu Bulat dan Gurihnya Industri Game Tanah Air
Dua anggota palang merah remaja (PMR) menunjukkan aplikasi permainan Saifah dan Tanah saat peluncurannya di Jakarta. Antara Foto/Prasetyo Utomo

tirto.id - Eldwin Viriya tidak menyangka game Tahu Bulat karyanya booming. Dalam hitungan bulan, game besutan Own-Games itu laris manis di Play Store. Ada 1 juta hingga 5 juta orang yang mengunduh game tersebut. Pada awal kemunculannya, “Tahu Bulat” bahkan sempat bercokol di posisi 10 besar Plays Store.

Eldwin bukan developer game besar. Dia merintis perusahaannya bersama adiknya sejak tahun 2011. Sejak itu pula pundi-pundi anak muda asal Bandung yang baru berusia 27 tahun ini pun terisi. Sampai saat ini, baru sembilan game buatannya yang dipublish ke Play Store.

Awal ketertarikannya terjun ke dunia developer game karena kecintaannya terhadap game. Ia masih duduk di bangku kuliah dan mulai menyadari hobinya itu bisa mendatangkan uang. Pada 2011, dia membuat game pertamanya yang bernama Tako Jump. Sayang, game pertamanya hanya menghasilkan 3 dolar dalam satu bulan.

Kegagalan pertama tak menghentikan langkahnya. Eldwin kembali meluncurkan game. Dengan mempekerjakan enam orang, Ia membuat Super Own Squad yang sampai sekarang masih terus dikembangkannya. Lewat game Tahu Bulat, Eldwin akhirnya menukai sukses. Dalam sehari dia bisa meraup empat digit dolar.

“Saya nggak menyangka kalau jadi booming. Soalnya saya cuma iseng saja, menangkap fenomena yang lagi ramai di masyarakat, lalu saya wujudkan dalam game. Tujuannya game itu salah satunya hiburan, membuat orang fun, itulah yang saya lakukan,” kata Eldwin pada tirto.id.

Kisah developer game tanah air yang sukses bukan hanya Eldwin. Ada banyak developer game lainnya yang juga sudah menuai kesuksesan. Beberapa di antaranya Agate Studio dan Lyto Games. Sayangnya, perkembangan industri developer Game di Indonesia ini masih belum bisa maksimal.

Geliat Industri Game

Di pasar global, industri game mulai menggeliat sejak 2005. Menurut data Entertainment Software Association (ESA) dan NPD Group, pada tahun itu penjualan game sudah mencapai angka 31,6 miliar dolar. Angka itu pun semakin meningkat pada tahun berikutnya yakni 41,7 miliar dolar (2006), 54 miliar dolar (2007), 60 miliar dolar (2008), dan 73 miliar dolar (2009).

Capaian penjualan itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, mengingat pasar game memang semakin meluas. ESA dalam sebuah survei demografi gamer pada 2015 mencatat rentang usia gamer begitu luas mulai dari usia 18 ke bawah hingga 50 tahun ke atas. Sebanyak 26 persen gamer berusia 18 tahu ke bawah, sedangkan jumlah gamer berusia di atas 50 tahun lebih banyak yakni 27 persen. Rentang gamer usia 18-35 sebanyak 30 persen dan usia 36-49 tahun hanya sebanyak 17 persen.

Lalu bagaimana di Indonesia? Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang besar, bahkan lebih besar dari industri film tanah air. Agate Studio, sebuah komunitas Developer Game di Indonesia memprediksikan pada tahun 2020 pendapatan dari industri game di Indonesia bisa mencapai 3,5 miliar dolar. Angka itu bukan tidak mungkin tercapai, sebab menurut data Newzoo pada tahun 2015 saja Indonesia sudah menghasil 321 juta dolar untuk industri game. Angka itu melonjak 77,25 persen dari tahun 2014 yang hanya meraup 181,1 juta dolar. Angka itu pun mengantar Indonesia ke peringkat 24 negara dengan pendapatan dari industri game terbanyak di dunia.

Jika dibandingkan dengan negara lain di asia seperti Cina dan Korea Selatan memang masih jauh tertinggal. Cina sudah meraup laba 13 miliar dolar pada tahun 2015. Padahal pada tahun 2003 mereka hanya mendapat 320 juta dolar. Cerita lain di Korea Selatan, pada 1996 mereka tidak memiliki industri game. Namun pada 2015, mereka sudah mengantongi 8 miliar dolar dari industri tersebut.

Masalah Indonesia

Pemerintah Indonesia terlambat menyadari potensi besar industri game. Buktinya, pada tahun 2015 lalu pemerintah baru membuat Badan Ekonomi Kreatif yang fokus pada pengembangan industri kreatif, salah satunya developer game.

Ketua Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf pun mengakui jika Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah. Bahkan sampai sekarang Indonesia belum memiliki Road Map industri game. Padahal berdasarkan data Newzoo, Indonesia sudah memiliki pasar yang besar. Tahun 2015, sudah ada 66 juta orang Indonesia yang mengenal dunia online. Dari jumlah itu 42,8 juta orang adalah gamer.

Selain potensi gamer yang besar, sudah ada developer game Indonesia yang menjadi perusahaan besar, meski jumlahnya tidak banyak. Dari data Asosiasi Game Indonesia (AGI) tercatat ada 21 perusahaan game besar di tanah air yang menjadi anggota AGI. 21 perusahaan itu yakni Ranob Media Interactive, Garuda Games, Megaxus, Gudang Voucher, Agate International, Logika Interaktif, Jotter Production, Ulin Game Works, Aruline, Qeon Interactive, Game Web, Wave Game, Lyto, Digital Happiness, Altermyth, Toge Production, Faveo, Arsanesia, Night Spade, Gempon dan GameLevelOne.

Untuk mengejar ketertinggalan industri game, tahun depan pemerintah baru akan membuat inkubasi khusus untuk developer game. Pemerintah membayangkan Indonesia melakukan akselerasi dengan memberikan dukungan software dan hardware pada developer di tanah air. Tidak hanya itu, inkubasi itu nantinya akan memberikan pelatihan untuk pengembangan kualitas developer. Jika memungkinkan pemerintah juga akan memberikan dukungan modal. Sayang belum ada regulasinya.

Lagi-lagi memang para developer game tanah air tidak bisa berharap banyak pada pemerintah. Toh faktanya selama ini memang belum ada niatan serius pemerintah untuk mengembangkan industri game. Selama ini hanya sebatas janji dan rencana. Kalau sudah begitu, baiknya para developer game menentukan masa depannya sendiri.

Baca juga artikel terkait GAME atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Teknologi
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti