Menuju konten utama

Sejarah Perkembangan Batik Pekalongan & Ragam Motif Khasnya

Berikut penjelasan singkat tentang sejarah perkembangan batik Pekalongan dan beragam motif khas batik Pekalongan.

Sejarah Perkembangan Batik Pekalongan & Ragam Motif Khasnya
Pengunjung mengamati koleksi kain batik di Museum Batik Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (27/7/2020). (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/wsj)

tirto.id - Sejarah perkembangan batik Pekalongan bisa dilacak jejak awalnya sejak abad 16, atau masa saat pengaruh kerajaan Islam tumbuh di Jawa. Batik Pekolangan lantas berkembang disertai pengaruh dari keragaman budaya masyarakat di daerah tersebut. Hingga sekarang, batik menjadi ciri khas Pekalongan.

Kota ini begitu lekat dengan produksi kain batik dalam kurun yang panjang. Batik sudah menjadi bagian dari denyut utama perekonomian daerah di Jawa Tengah tersebut. Maka itu, julukan beken bagi Pekalongan adalah Kota Batik.

Berlokasi di pesisir utara Jawa, Pekalongan sejak lama merupakan kota bandar yang ramai dengan pengunjung dari luar daerah. Kota ini dikenal sebagai salah satu pelabuhan ikan utama di Jawa.

Konteks di atas memungkinkan sektor perdagangan dan industri kerajinan tumbuh di Pekalongan. Kota ini hingga sekarang menjadi pusat sejumlah koperasi besar yang melayani pengusaha kecil dan menengah, termasuk pelaku bisnis batik. Misalnya, Kospin Jasa yang berdiri sejak dasawarsa 1970-an.

Sejarah Perkembangan Batik Pekalongan

Kerajinan batik mulanya adalah bagian dari kesenian di keraton sebelum menyebar ke masyarakat pesisir utara Jawa, termasuk Pekalongan. Penyebaran kesenian batik di pesisir utara diperkirakan berlangsung sejak masa Demak, Pajang, dan Mataram Islam.

Melalui buku Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah (2006), Kusnin Asa memaparkan, kesenian batik yang berkembang di Pekalongan, Tegal, Indramayu, hingga Tasikmalaya awalnya dipengaruhi oleh Keraton Cirebon.

Khusus di Pekalongan, perkembangan motif batik terpapar pula oleh pengaruh dari kultur Cina dan Arab. Kusnin Asa (2006) mencatat, kampung Arab di Pekalongan telah menjadi sentra pengrajin batik sejak Abad 16. Pengaruh pendatang Cina turut mewarnai batik Pekalongan lewat penyerapan pola hiasan keramik Tiongkok ke dalam ragam motif, seperti bentuk burung, naga, dan kupu-kupu.

Batik Pekalongan dalam perkembangan awalnya juga mendapatkan pengaruh dari corak Mataram Islam, khas pedalaman Jawa. Selepas Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830), banyak abdi dalem dan kerabat Keraton Yogyakarta yang bermigrasi ke daerah-daerah di timur dan barat Pulau Jawa. Dari mereka, pengaruh batik Mataram Islam menyebar ke berbagai daerah, termasuk di Pekalongan.

Posisi Pekalongan sebagai kota bandar yang akrab dengan perdagangan membuat niaga batik di kota ini langgeng berkembang, termasuk di era pemerintahan kolonial. Dari segi corak dan motif, batik Pekalongan juga punya faktor pembeda dengan batik Solo atau Yogya yang lebih dominan pengaruhnya di masa lalu. Keragaman kultur yang menginspirasi pengrajin batik Pekalongan pada kenyataannya membuat variasi motif maupun warna batik dari daerah ini lebih dinamis.

Menurut Kusnin Asa (2006:138), ada tiga kelompok etnis yang menopang industri kerajinan batik Pekalongan. Ketiganya adalah warga Tionghoa, Arab, dan pribumi. Pertemuan 3 unsur budaya itu pada ujungnya membentuk ciri khas batik Pekalongan. Sebagai contohnya adalah kemunculan motif hias salur pandan, bunga persik dan bunga rose, burung pipit dan merak dengan latar pola kawung, serta lain sebagainya.

Mengutip artikel "Pekalongan Sebagai Kota Batik 1950-2007" tulisan Chusnul Hayati dalam Jurnal Lensa (Vol.2, 2012), Pekalongan sudah populer sebagai Kota Batik sejak awal Abad 20. Pada masa itu, Kontrolir Keuangan Pusat pemerintah Hindia Belanda yang bernama Raden Mas Utaryo tercatat pernah menyebut, "Pekalongan tanpa industri perbatikan bukanlah Pekalongan."

Dalam buku Batik: Fabled Cloth Of Java karya Inger McCabe Elliott, seperti dinukil oleh Chusnul Hayati (2012), tercatat batik telah menjadi komoditas dagang utama di Pekalongan pada 1840-an atau malah lebih awal lagi. Sejak masa VOC, sejumlah pengrajin batik di Pekalongan sudah kerap menerima pesanan. Sentra batik pun sejak lama tumbuh di wilayah dekat pesisir, seperti Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.

Keluwesan batik Pekalongan dalam menyerap pengaruh budaya luar kemungkinan menjadi faktor yang membuat ia menarik minat banyak konsumen. Ketika masa pendudukan Jepang sekalipun, pengrajin di Pekalongan bersedia menyerap budaya negeri Sakura. Pada kurun 1942-1945, muncul motif batik Jawa Hokokai dari Pekalongan yang mengadopsi ornamen susomoyo, mirip ragam hias kimono.

Namun, lompatan pesat perkembangan industri batik di Pekalongan sebenarnya baru terjadi pada dasawarsa 1950-an. Langkah Presiden pertama RI Soekarno membentuk program Benteng untuk menyokong pertumbuhan pengusaha nasional mendorong aktifnya GKBI.

Pada dekade 1950-an, GKBI atau Gabungan Koperasi Batik Indonesia merupakan representasi dari 8000-an usaha batik keluarga. Sekitar separuhnya berbasis di Pekalongan, mengutip catatan Yahya A. Muhaimin dalam buku Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Politik Indonesia 1950-1980 (1990).

GKBI yang waktu itu memegang lisensi impor kain mori (bakal kain batik) juga memacu kelahiran sejumlah koperasi pengrajin batik di Pekalongan yang maju, seperti Koperasi Batik Setono (KBS) serta PPIP (Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan). Hingga awal dekade 1970-an, koperasi batik Pekalongan bisa dibilang menggapai masa kejayaan.

Kehadiran teknik printing di industri batik sejak 1960-an kemudian sempat mengendurkan iklim perbatikan di Pekalongan. Banyak pengrajin batik tradisional gulung tikar. Faktor ini mendorong banyak pengusaha batik Pekalongan memproduksi batik sablon atau printing sejak akhir 1970-an. Meskipun demikian, batik tulis tetap diproduksi oleh pengrajin asal daerah ini.

Keluwesan dalam mengadopsi pengaruh budaya dan beradaptasi secara bisnis membuat industri batik Pekalongan mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Hingga tahun 2005, seturut data Paguyuban Batik Pekalongan yang dikutip oleh Chusnul Hayati (2012), masih aktif 300-an usaha batik di kota tersebut. Jumlahnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan periode 1970-an yang mencapai 1300-an. Namun, angka 300-an itu masih menjadi terbanyak di Indonesia untuk ukuran kota. Produk batik asal Pekalongan juga tidak hanya menyapa konsumen di tanah air, melainkan sudah merambah pasar luar negeri, seperti Singapura, Australia, AS, Korsel, Jepang, Cina, sampai Timur Tengah.

Macam-macam Motif Khas Batik Pekalongan

Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai budaya berbeda mewarnai dinamika motif dan corak batik di daerah itu. Beberapa motif batik hasil pengaruh interaksi tersebut kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan, demikian mengutip situs Warisan Budaya Kemdikbud.

Salah satu motif khas batik Pekalongan ialah batik jlamprang. Motif batik jlamprang menggunakan ragam hias patola yang mendapat pengaruh kultur Arab dan India.

Lalu, batik encim dan klengenan, yang dipengaruhi oleh kultur Cina. Selain itu, ada batik belanda, batik pagi-sore, dan batik hokokai (pengaruh Jepang). Pada era pascakemerdekaan juga tercatat muncul motif batik merak ngigel di Pekalongan. Ragam hias ini menggambarkan merak menari.

Batik belanda konon dikembangkan seorang pengusaha perempuan keturunan Belanda di abad 19. Batik belanda bercirikan motif buketan (rangkaian bunga), motif dongeng (semacam kisah tudung merah dan cinderella), serta gambaran peristiwa penting seperti perang.

Sementara itu, batik pagi-sore punya ciri penempatan 2 warna berbeda di sebuah kain yang sama. Motif ini muncul ketika persediaan kain di Jawa pada masa lalu sempat minim, sedangkan bahan pewarna stoknya melimpah.

Baca juga artikel terkait BATIK atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom