Singkawang, Kota Seribu Kelenteng seluas 504 km persegi ini pernah mendapat penghargaan sebagai kota paling toleran se-Indonesia di tahun 2021. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, 40% atau sekitar 240 ribu penduduknya adalah warga Tionghoa diikuti etnik Melayu Singkawang 30%, Dayak 10%, Jawa 10%, Madura 5%, sisanya adalah pendatang dari etnis lain.
Menurut literasi sejarah, kedatangan para leluhur dari Tionghoa ini sudah terjadi sejak 1923 hingga terbentuklah kota Singkawang pada tahun 1740, namanya berasal dari bahasa Hakka, San Khew Jong, artinya kota di sebuah bukit yang dekat dengan laut dan muara. Pada masa itu banyak sekali orang dari Cina Selatan datang untuk bekerja sebagai penambang di Kalimantan Barat.
Rekaman sejarah dan budaya tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul Memoar Orang-Orang Singkawang. Buku setebal 448 halaman ini diterbitkan dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin oleh Yayasan Singkawang Luhur Abadi bekerjasama dengan Yayasan Riset Visual Mata Waktu. Dalam buku ini dikisahkan pula terjadinya diskriminasi identitas politik etnik dan rekaman dalam perubahan politik identitas lengkap dengan 308 foto, 102 foto arsip, 41 dokumen dan 17 ilustrasi termasuk peta.
Buku ini ditulis oleh Bina Bektiati berdasarkan riset dan hasil rangkaian wawancara pada tahun 2010-2011 dilengkapi ilustrasi foto karya John Suryaatmadja dan Sjaiful Boen yang menceritakan kisah hidup orang Singkawang beberapa dekade terakhir. Menariknya, buku ini juga melibatkan karya foto dari fotografer profesional seperti Enrico Soekarno, Jay Subiakto, Julian Sihombing, Sigi Wimala, Yori Antar, Oscar Motuloh, Octa Christi, Andreas Loka, Victor Fidelis, dan Khaw Technography.
Beberapa foto dalam buku tersebut dipamerkan pada ajang pameran foto Memoar Orang-Orang Singkawang di Bentara Budaya Yogyakarta serentak dengan pameran Keramik Singkawang koleksi Bentara Budaya Jakarta pada 10-18 September 2022. Pameran dibuka oleh Romo Gabriel Possenti Sindhunata, S.J dan Kurator foto, Oscar Motuloh dihadiri Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid dan Ketua Yayasan Singkawang Luhur Abadi, Lio Kurniawan.
Menurut literasi sejarah, kedatangan para leluhur dari Tionghoa ini sudah terjadi sejak 1923 hingga terbentuklah kota Singkawang pada tahun 1740, namanya berasal dari bahasa Hakka, San Khew Jong, artinya kota di sebuah bukit yang dekat dengan laut dan muara. Pada masa itu banyak sekali orang dari Cina Selatan datang untuk bekerja sebagai penambang di Kalimantan Barat.
Rekaman sejarah dan budaya tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul Memoar Orang-Orang Singkawang. Buku setebal 448 halaman ini diterbitkan dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin oleh Yayasan Singkawang Luhur Abadi bekerjasama dengan Yayasan Riset Visual Mata Waktu. Dalam buku ini dikisahkan pula terjadinya diskriminasi identitas politik etnik dan rekaman dalam perubahan politik identitas lengkap dengan 308 foto, 102 foto arsip, 41 dokumen dan 17 ilustrasi termasuk peta.
Buku ini ditulis oleh Bina Bektiati berdasarkan riset dan hasil rangkaian wawancara pada tahun 2010-2011 dilengkapi ilustrasi foto karya John Suryaatmadja dan Sjaiful Boen yang menceritakan kisah hidup orang Singkawang beberapa dekade terakhir. Menariknya, buku ini juga melibatkan karya foto dari fotografer profesional seperti Enrico Soekarno, Jay Subiakto, Julian Sihombing, Sigi Wimala, Yori Antar, Oscar Motuloh, Octa Christi, Andreas Loka, Victor Fidelis, dan Khaw Technography.
Beberapa foto dalam buku tersebut dipamerkan pada ajang pameran foto Memoar Orang-Orang Singkawang di Bentara Budaya Yogyakarta serentak dengan pameran Keramik Singkawang koleksi Bentara Budaya Jakarta pada 10-18 September 2022. Pameran dibuka oleh Romo Gabriel Possenti Sindhunata, S.J dan Kurator foto, Oscar Motuloh dihadiri Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid dan Ketua Yayasan Singkawang Luhur Abadi, Lio Kurniawan.